
Aksi unjuk rasa buruh yang dipicu oleh disahkannya Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2015 tentang Pengupahan, membuktikan dialog yang macet antara buruh bersama wakil serikat buruh dengan pihak pemerintah yang dirasa memaksakan kehendaknya bersama pengusaha. Jika saja dialog bisa dilakukan -- pemaksaan kehendak -- yang dirasakan oleh kaum buruh dan aktivis buruh tidak perlu terjadi.
Akibat unjuk rasa yang dilakukan kaum buruh dan aktivis buruh memang bisa berdampak lebih besar, tidak hanya sebatas kemacetan di jalan raya dan terganggunya aktivitas warga masyarakat maupun pihak swsata serta pemerintah sendiri, tetapi juga mematikan budaya musyawarah sebagai ruh dari konstitusi kita yang menegaskan bahwa musyawarah mufakat harus dan mutlak digunakan sebagai cara mengambil atau melakukan suatu keputusan.
Aksi dan unjuk rasa kaum buruh bisa dipahami sebagai ekspresi dari ketidak-puasan terhadap pemerintah yang membuat dan mensahkan peraturan yang dirasa sangat merugikan kaum buruh termasuk serikat buruh. Karena dampak dari kesejahteraan buruh yang tidak mampu diperbaiki secara signifikan sangat mempengaruhi cara kerja serikat buruh dalam melakukan pengorganisasian hingga pada giliran semakin sulit melakukan penyadaran untuk memberdayakan kaum buruh agar kualitasnya dalam berbagai aspek pekerjaan bisa semakin baik dan meningkatnya keluaran produktivitas kerja dalam bentuk apapun.
Macetnya dialog antara buruh dan organisasi buruh dengan pihak pemerintah bersama pengusaha jelas sangat disadari juga oleh buruh maupun serikat buruh mempunyai dampak yang cukup besar menimbulkan kerugian, baik di pihak buruh maupun pada pihak lainnya, termasuk pemerintah. Artinya, jangan pernah dikira bahwa aksi dan unjuk rasa yang dilakukan oleh kaum buruh itu tidak disadari sebagai suatu kerugian yang tidak terkira besarnya juga bagi kaum buruh. Jadi, aksi dan unjuk rasa bagi kaum buruh itu sesungguhnya suatu keterpaksaan belaka, lantaran aspirasi kaum buruh tidak pernah mau didengar dan diindahkan oleh pihak penguasa maupun pengusaha.
Masalah upah yang menjadi pemicu kaum buruh melakukan aksi dan unjuk rasa selama ini jelas dapat dipahami lantaran keculasan pemerintah yang secera terang-terangan berpihak pada penguasa. Jadi persekongkolan antara penguasa dan pengusaha tidak pernah mau memahami dan menenggang apa yang akan segera dirasakan oleh kaum buruh akibat kebijakannya yang culas, seperti menentukan cara menentukan upah, misalnya. Padahal, masalah akan menjadi lain manakala pihak pemerintah sendiri misalnya mau bersikap netral, tidak berpihak kepada pengusaha, baik secara sembunyi-sembunyi apalagi secara terang-terangan.
Logikanya -- berapa pun tingkat kenaikan upah -- sungguhkah pemerintah akan sikut dirugikan oleh kenakian tingkat upah seperti yang diidealkan oleh kaum buru itu ? Karena yang terjadi hanyalah keluhan semata dari pihak pengusaha -- yang terkadang terlalu didramatisir -- bila kenaikan tingkat upah sebesar itu maka perusahaan miliknya akan bangkrut atau gulung tikar. Jadi, keluh kesah pengusaha pada umumnya atas segala bentuk permintaan atau bahkan tuntutan yang dilakukan kaum buruh sungguh tidak rasional. Sama halmya dengan tingkat kenaikan upah untuk DKI Jakarta, seperti yang telah ditentukan pemerintah sebesar Rp 3.1 juta per bulan. Semengtara tuntutan kaum buruh hanya sebesar Rp 3,2 juta per bulan.
Lalu mengapa selisih nilai upah sebesar Rp 100 ribu itu manjadi demikian seru dan ngotot dipertahankan oleh pihak pengusaha ? Maka logika sederhananya yang bida dipahami oleh kaum buruh bahwa selisih uang sebesar Rp 100 ribu itu menjadi tidak sederhana ketika dikalikan dengan jumlah buruh sebanyak 1,2 juta orang setiap bulan, makan nilainya bisa triliunan rupiah yang bisa di-tangguk setiap bulan. Akumulasi nilai upah yang bisa dtekan pihak pengusaha -- meski hanya sebesar Rp 100 ribu saja nilainya -- sama dengan akumulasi nilai dari ongkos yang harus kawan-kawan buruh keluarkan setipa kali melakukan aksi dan unjuk rasa. Atau bahkan, bisa lebih dari itu ongkos yang harus kawan-kawan buruh kerluarkan biaya. Namun, aksi dan unjuk rasa tetap terus hendak dilakukan, sampai kebijakan pemerintah yang culas itu ditinjau ulang.
Artinya, nilai-nilai yang diperjuangkan kaum buruh bersama serikat buruh melalui aksi dan unjuk rasanya selama ini jelas bukan cuma sekenar bernilai duit, tetapi lebih dari itu, bahkan mungkin juga termasuk harga diri; tatkala nasib dengan semena-mena ditentukan oleh penguasa dan pengusaha, tanpa pernah mengajak berunding, apalagi untuk menghirmati azs musyawarah mufakat, seperti yang tercatat dan senantiasa mengingatkan setiap warga bangsa Indonesia, adanya UUD 1945 dan Pancasila. (En Jacob Ereste)