logo
×

Sabtu, 16 April 2016

Hotel Indonesia Natour Dilaporkan ke KPK, Nah Lho?

Hotel Indonesia Natour Dilaporkan ke KPK, Nah Lho?

NBCIndonesia.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kedatangan tamu dari Medan. Para tamu itu adalah rombongan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang dipimpin Surya Adinata. Apa tujuannya LBH Medan ke KPK?

Surya mengungkapkan, pihaknya ingin agar KPK mengusut kasus pelepasan aset PT Hotel Indonesia Natour (HIN) berupa tanah dan bangunan Hotel Inna Dharma Deli, di Medan, Sumatera Utara pada 2014. Lahan seluas 7.856 m2 dan bangunan sluas 6.672 m2 itu dijual kepada PT Waskita Karya (persero) senilai Rp 176,7 miliar.

"Ya, kami meminta KPK untuk menyelidiki dan mengusut tuntas pelepasan aset Inna Dharma Deli, Medan, karena diduga penuh praktik korupsi dalam proses pelepasannya," ujar Direktur LBH Medan Surya Adinata di Jakarta, Jumat (14/4/2016), sambil menunjukkan setumpuk dokumen yang akan diserahkan ke KPK.

Laporan Surya ke KPK berdasarkan laporan keuangan HIN pada 2014 yang elah diaudit kantor akuntan Doli, Bambang, Sulistiyant, Dadang, &Ali pada 22 Desember 2014.  Dalam laporan itu disebutkan, pelepasan aset itu dilakukan untuk membiayai pembangunan Innaya Putri, Bali. Akte jual beli dari HIN kepada Waskita, Karya, sesama BUMN, dibuat oleh notaris Ekoevidolo.

Disebutkan pula, dari hasil penjualan aset itu HIN berhasil membukukan keuntungan sebesar Rp 166,09 miliar.  "Kita percaya bahwa KPK adalah lembaga yang sangat kredibel dan dipercaya publik, sehingga laporan ke KPK ini merupakan langkah yang tepat," kata Surya.

Dia berharap, setelah menyelidiki kasus pelepasan aset ini, KPK akan mengumumkan siapa saja yang berperan dan tentunya bersalah dalam kasus ini dan akan mendapat sanksi hukum yang setimpal.

 Mengapa Surya ngotot membawa temuan dari laporan keuangan HIN ke ranah hukum? Karena menurut Surya, proses  dan prosedur pelepasan aset milik anak perusahaan BUMN PT Hotel Indonesia Natour (Persero) itu harus mendapat persetujuan dari DPR. "Penjualan aset sebesar itu mestinya harus dengan persetujuan DPR. Nyatanya, tidak,” tutur Surya.

Jadi, kata Surya, pelepasan aset yang dilakukan saat HIN dipimpin Dirut Intan Abdam Katoppo itu diduga menabrak sejumlah aturan hukum antara lain UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menurut Surya, patut diduga terjadi indikasi korupsi seperti diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (ts)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: