
Nusanews.com - Sepi dari sorotan media karena sepi nangkap koruptor, Ketua KPK Agus Rahardjo muncul dengan sebuah kalimat bernada teror bagi para koruptor.
"Banyak kasus besar yang akan kita umumkan segera tersangkanya," kata Agus dalam seminar di kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta, kemarin.
Apa kasus yang dimaksud? Siapa juga tersangkanya? Dia tak merinci. Tinggalah omongannya jadi bahan teka-teki.
"Dikuliti" wartawan usai seminar terkait hal itu, dia tetap bungkam. Namun, Agus menyatakan pihaknya sedang menggodok aturan tata cara pemidanaan korporasi.
"Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah ada yang kami jadikan tersangka korporasi itu," ujar Agus.
Agus bilang, korporasi harus bertanggung jawab jika ada uang hasil korupsi yang mengalir ke perusahaannya. Korporasi juga harus bertanggung jawab terkait orang-orang yang terlibat kasus korupsi. Dia berharap, pemidanaan korporasi bisa memberi efek jera bagi para pelaku korupsi.
Korporasi mana yang akan dijadikan tersangka? Lagi-lagi Agus tidak menjelaskan. "Ini sedang kita pelajari, mudah-mudahan dalam watu dekat (ada korporasi) akan dijadikan tersangka korupsi," ujar Agus.
Terpisah, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, KPK merancang jerat hukum untuk perusahaan karena makin maraknya pihak swasta yang terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Hampir 90 persen kasus korupsi terjadi karena kolaborasi pengusaha dengan penguasa. Yang terbaru adalah dugaan suap dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja kepada anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi.
Alexander menjelaskan, terjadinya korupsi yang melibatkan pengusaha, disebabkan antara lain karena buruknya birokrasi. Akibatnya, pengusaha mengambil jalan pintas dengan menyuap penyelenggara negara agar bisnisnya lancar.
Untuk memuluskan hal tersebut, lanjut dia, KPK sudah berkoordinasi dengan Mahkamah Agung (MA) terkait prosedur dan tata cara pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Dia beralasan, saat ini belum ada ketentuan mengenai tata cara pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi di pengadilan. Padahal, kata dia, UU Tipikor sejatinya bisa menjadi dasar menjerat perusahaan.
"Mungkin enggak lama lagi ada Surat Edaran dari MA yang mengatur pidana korupsi sebagai pelaku korupsi," ungkapnya, kemarin.
Selama berdiri, meski ada undang-undangnya, KPK belum pernah menjerat korporasi dalam suatu perkara korupsi. KPK hanya menjerat pengurus korporasi itu.
Dia sepakat dengan Agus, pidana bagi korporasi dilakukan untuk memberi efek jera. Selain itu, agar kerugian negara bisa dikembalikan dari sektor korporasi.
Soal pidana bagi korporasi, Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar menduga minimnya korporasi yang diseret ke pengadilan karena perbedaan pandangan antara aparat penegak hukum soal bagaimana pertanggungjawaban kejahatan korporasi. Penuntut umum kesulitan merumuskan dakwaan. Sehingga enggan melimpahkan perkara ke pengadilan. Penuntut umum juga belum memiliki standar surat dakwaan dalam perkara kejahatan korporasi.
"KUHAP sendiri belum menentukan petunjuk penyusunan surat dakwaan ketika subjek hukum pelakunya korporasi," kata Artidjo.
Pakar Hukum Pidana dari UII Prof Muzakir mengatakan, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya sudah menjelaskan bahwa korporasi bisa juga dipidanakan. Dalam Pasal 2 dan 3 misalnya, disebutkan bahwa ada tiga pihak yang disebut perbuatan korupsi, yakni melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
"Yang memperkaya diri sendiri dihukum, orang lain dihukum, cuma korporasi yang gak pernah diproses hukum. Telat sekali, padahal undang-undang sudah memberikan dasar pemidanaan," kata Muzakir, saat dikontak tadi malam.
Dia bilang, ada dua hal yang harus diperhatikan KPK dalam pemidanaan korporasi. Pemidanaan korporasi ini biasa dikenal dengan delik fungsional. Jadi ada kewajiban-kewajiban yang dilanggar korporasi, misalnya tidak membayar pajak, mencegah pencemaran lingkungan hidup, dll.
Agar pemidanaan ini tidak melebar ke mana-mama, harus dijelaskan dulu tindak pidana apa saja yang bisa dilakukan korporasi. "Itu harus ada dulu, karena tidak semua tindak pidana dapat dilakukan korporasi," ucapnya.
Kedua, jika itu korporasi, harus dibedakan kapan pimpinan, atau pengurus menyalahgunakan wewenang, kapan penyalahgunaan untuk dan atas nama korporasi.
"Ini yang harus dibedakan dulu. Karena hukuman kepada korporasi tidak ada hukuman penjara. Yang ada denda, memberi ganti rugi, bidang keuangan dan hukum administrasi. Tidak ada penjara," pungkasnya. (rmol)