logo
×

Rabu, 10 Agustus 2016

Aliansi Mahasiswa Papua, Gerakan yang Kian Garang

Aliansi Mahasiswa Papua, Gerakan yang Kian Garang

Nusanews.com - Alun-alun Utara Yogyakarta mewujud lautan manusia kala hujan deras mengguyur. Saat itu 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan dimulainya operasi militer Tri Komando Rakyat untuk menggabungkan Papua ke dalam wilayah Indonesia. Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai panglimanya.

“Dengarkan saudara-saudara! Komando saya tegas, hai seluruh rakyat Indonesia. Gagalkan pendirian negara Papua! Kibarkan sang Saka Merah Putih di Irian Barat! Siap sedialah! Akan datang mobilisasi umum untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman imperialisme Belanda. Jalankan komando saya ini!”

Papua ketika itu menjadi rebutan Indonesia dan Belanda. Keduanya saling klaim. Indonesia mengerahkan segala upaya agar Papua tak jatuh ke tangan Belanda. Operasi intelijen hingga diplomasi tingkat tinggi dilancarkan, armada jet tempur dan pesawat pengebom diborong dari Uni Soviet.

Perserikatan Bangsa-Bangsa akhirnya menyerahkan Papua kepada Indonesia tahun 1963, dan referendum bernama Penentuan Pendapat Rakyat digelar pada 1969 untuk menentukan apakah rakyat Papua memilih bergabung dengan Indonesia atau merdeka.

Pepera menghasilkan keputusan Papua bergabung dengan Indonesia. Namun itu bukan akhir masalah. Sebab metode Pepera lewat perwakilan alias satu suara merepresentasikan banyak orang, ditentang rakyat Papua yang menginginkan sistem one man one vote. Hal ini sampai sekarang terus dipertanyakan generasi muda Papua.

Presiden Sukarno berdiri di podium Alun-alun Utara Yogyakarta saat mengumumkan dimulainya operasi militer Trikora untuk merebut Papua dari Belanda. (Dok. tni-au.mil.id) Setengah abad lebih berlalu sejak suara Sukarno menggema di Alun-alun Utara Yogya, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X menegaskan tak boleh ada separatis di Yogya yang pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia.

Maka wajah-wajah dongkol sejumlah pemuda Papua terlihat ketika mereka keluar dari ruang pertemuan dengan Sultan di Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Para pemuda itu tak puas karena Sultan tak mau memberikan jaminan tertulis hitam di atas putih atas keamanan orang Papua di Yogya, pun tak mau mencabut ucapan soal “separatis jangan tinggal di Yogya.”

“Jika tuntutan kami tidak dipenuhi, mahasiswa Papua di Yogya dan seluruh tanah Jawa, serta Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, siap eksodus kembali ke Papua,” kata Roy Karoba, pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua.

“Kami sudah bangun koordinasi se-Jawa Bali, Makassar, Manado, Jakarta, Bogor, Semarang, Surabaya, Malang, untuk semua pulang ke Papua. Beberapa kampus di Papua sudah buat posko dan siap terima kami. Supaya kuota cukup, bisa eksodus barter. Kami pulang, mahasiswa luar Papua yang di sana balik ke sini,” ujar Aris Yeimo, Presiden Mahasiswa Papua di DIY.

Lontaran ancaman itu imbas dari pengepungan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, 15 Juli. Kala itu Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat –termasuk Aliansi Mahasiswa Papua di dalamnya– hendak menggelar long march dari depan asrama ke Titik Nol KM untuk menyuarakan aspirasi referendum Papua dan dukungan bagi Gerakan Pembebasan Papua untuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group.

Aksi itu batal karena polisi mengepung asrama dengan alasan mencegah bentrok antara massa Papua dan organisasi kemasyarakatan antiseparatis.

Empat hari kemudian, 19 Juli, Sultan meminta separatis untuk tak tinggal di Yogya. Pada 21 Juli, Aliansi Mahasiswa Papua di Yogya menggelar rapat koordinasi dengan keputusan bersiap meninggalkan Yogya untuk kembali ke Papua.

Tanggal 24 Juli, Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua mengeluarkan surat terbuka kepada Sultan. Surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum AMP Jefry Wenda itu menyatakan mahasiswa Papua tak akan diam membiarkan penderitaan rakyat Papua.

“Rakyat Papua selalu dihadapkan dengan moncong senjata dan intimidasi. Eksploitasi sumber daya alam Papua tidak pernah berhenti, mengakibatkan ribuan hektare tanah rakyat hilang dirampas,” demikian kutipan surat terbuka itu.

“Kami tidak hanya ada di Yogyakarta. Kami ada di Solo, Semarang, Surabaya, Bali, Bandung, Bogor, pusat pemerintahan Jakarta, dan jumlah kami berlipat ganda. Selama kami berstatus mahasiswa, di manapun kami berada, kami akan terus memperjuangkan hak-hak demokratis rakyat Papua,” kata Jefry.

Jefry Wenda, Roy Karoba, dan Aris Yeimo, pun Aliansi Mahasiswa Papua, bukan nama dan organisasi baru dalam isu Papua. Nama Jefry, Roy, dan Aris tercatat dalam dokumen yang disebut milik Badan Intelijen Negara. Dokumen itu berjudul Gelar Opsgal (Operasi Penggalangan) Papua, bocor ke media Australia. Pada laman sampul dokumen itu tertulis “Jayapura, November 2014.”

Dokumen itu beredar di dunia maya, sama seperti dokumen sebelumnya berjudul Rencana Aksi Gelar Opsgal Papua yang pada laman sampulnya tertulis “Jakarta, Maret 2014.” Dokumen Maret 2014 itu oleh Kepala BIN Sutiyoso disebut palsu.

Pada dokumen Gelar Opsgal Papua November 2014, Jefry, Roy, dan Aris disebut sebagai “tokoh pergerakan.” Mereka diklasifikasikan sebagai “tokoh mahasiswa Papua di DIY Pro M.” Pro-M artinya mendukung Papua Merdeka.

Dokumen itu juga memetakan jaringan mahasiswa Papua di DIY secara umum. Pada 2013, berdasarkan dokumen tersebut, warga Papua di DIY berjumlah 7.000 orang. Mereka ialah pelajar, mahasiswa S1, S2, S3, serta warga umum dengan berbagai profesi.

Mahasiswa Papua dikategorikan ke dalam tiga bagian, yakni kuliah dengan ikatan dinas, dibiayai yayasan, dan biaya mandiri atau dari individu. Sementara wadah orang Papua di DIY tercatat ada 17, antara lain satu organisasi induk, empat organisasi pergerakan, satu lembaga kajian, dan paguyuban daerah atau suku.


Riwayat gerakan

Aliansi Mahasiswa Papua disoroti khusus dalam dokumen Gelar Opsgal Papua. AMP disebut terbentuk pada kongres yang digelar di Yogyakarta pada 2008. Organisasi yang semula gerakan taktis Ikatan Mahasiswa Papua itu berubah menjadi wadah perjuangan politik pendukung Papua Merdeka sayap mahasiswa.

Hampir serupa, laman AMP Komite Kota Malang menyebutkan AMP pertama kali dibentuk oleh mahasiswa asal Papua yang kuliah di Yogyakarta, dan merupakan bagian integral dari Gerakan Pembebasan Papua.

Dua tahun kemudian, 2010, Kongres AMP Komite Kota Yogyakarta menghasilkan terpilihnya Roy Karoba dan Andi Gobay sebagai Ketua dan Sekretaris AMP KK Yogya. Keduanya diberi tugas memperluas pengaruh AMP ke organisasi-organisasi Papua lain.

Setahun berikutnya, 2011, akibat kebekuan AMP Komite Kota Jakarta dan Bandung, Ketua Komite Pusat AMP Rinto Kogoya pindah ke DIY untuk memperkuat barisan AMP Komite Kota Yogyakarta. Di Yogya, seperti Roy dan Aris, Rinto berkuliah di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

Menurut dokumen Gelar Opsgal Papua, kepindahan Rinto ke Yogya itu menjadi titik penting AMP. Rinto lantas disebut menguasai Asrama Mahasiswa Papua Kamasan.

Selanjutnya pada 2013, Pleno Kongres AMP memilih Jefry Wenda sebagai Ketua AMP Komite Kota DIY periode 2013-2015. Ia diberi tugas menempatkan kader-kader AMP di Ikatan Mahasiswa Papua dan organ-organ paguyuban Papua di DIY.

Terpilihnya Jefry sebagai Ketua AMP KK DIY disebut dalam dokumen Gelar Opsgal Papua sebagai “bentuk supremasi kelompok pegunungan dan klan Benny Wenda yang pro Papua Merdeka.”

Tahun 2014, Pleno AMP menugaskan Aris Yeimo sebagai Ketua Ikatan Mahasiswa Papua periode 2014-2016 untuk “menginfiltrasi” kepengurusan Ikmapa guna mendukung kemerdekaan Papua.

Jefry Wenda yang kini menjabat Ketua Umum AMP telah mengetahui dan membaca dokumen itu. Ia berkata, tak pernah berkoordinasi dengan Benny Wenda selaku Juru Bicara Gerakan Pembebasan Papua.

Nico Gere dalam bukunya Merawat Kedaulatan Indonesia di Papua menuliskan, AMP memiliki orientasi perjuangan serupa Komite Nasional Papua Barat, yakni memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui referendum guna membentuk tatanan masyarakat Papua yang demokratis, adil, sejahtera, dan partisipatif.

Kegiatan AMP yang paling mencolok di muka publik ialah unjuk rasa. Demonstrasi di Asrama Kamasan yang berbuntut panjang bukan yang pertama. Sejak 2013, AMP makin aktif berdemonstrasi di berbagai kota.

Aliansi Mahasiswa Papua saat menggelar demonstrasi di Bundaran HI, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia/Safir Makki) “Kami bagian dari masyarakat Papua dan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua, Gerakan Pembebasan Papua), sebab ULMWP wadah representatif yang dibentuk untuk mengusung isu-isu Papua di tingkat internasional,” kata Roy ketika ditemui CNNIndonesia.com, Kamis (28/7).

AMP memiliki biro internasional, termasuk Komite Australia, yang bertugas membangun komunikasi dengan kawan-kawan Papua di luar negeri.

Belum lama ini, 27 Juli, AMP memperingati 18 tahun hari lahirnya. Dalam refleksinya, Komite Pusat AMP menyatakan organisasi mereka kian dewasa dan mantap dari segi ideologi maupun politik. AMP pun menyerukan anggotanya terus menjaga soliditas.

Peduli kaum marginal

Aliansi Mahasiswa Papua dekat dengan gerakan prodemokrasi di Yogya. Mereka sama-sama tak senang dengan kelompok garis keras yang makin dominan di kota itu, yang membubarkan berbagai acara –terutama yang digelar kaum minoritas– dengan alasan tak nasionalis atau tak islami.

Oleh karena itu AMP kerap ambil bagian dalam aksi-aksi prodemokrasi di Yogya. Orang Papua, dalam kacamata aktivis prodemokrasi, hanya menjadi bidak dan bahan permainan dari skema politik yang lebih besar.

“Papua ini persoalan internasional. Orang Papua yang merasa ditindas ingin merdeka. Tapi kalau Papua merdeka, ada yang senang karena bisa lebih mudah menjarah sumber daya alam Papua,” kata Ernawati dari gerakan prodemokrasi.

Soal kepedulian AMP terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan juga disinggung Nico Gere. Dalam bukunya ia menulis, AMP sangat peduli dengan isu kesejahteraan warga, korupsi, pendidikan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Hal itu tercermin dari ucapan Roy Karoba. “Masyarakat Yogya sama seperti kami di Papua, banyak yang tertindas. Pemerintah lebih mementingkan perusahaan ketimbang rakyatnya sendiri. Kasus seperti itu terlihat pada petani di Kulon Progo dan Parangkusumo.”

Mahasiswa Papua selama ini mendukung Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo menolak tambang pasir besi dan rencana pembangunan bandara di daerah itu. Kedua megaproyek itu disebut merampas tanah warga setempat.

Sementara di Parangkusumo, terjadi penggusuran permukiman warga di sepanjang bantaran sungai dan pesisir pantai yang dihuni sekitar 5.000 jiwa. Penggusuran dimulai tahun 2007 dengan alasan untuk membersihkan aktivitas prostitusi. Namun warga melawan penggusuran dan merintis usaha pertanian dan tambak udang di wilayah yang disebut hendak dijadikan destinasi wisata itu.

“Yogya akan jadi pusat pariwisata. Pengusaha dan kelas menengah didatangkan ke sini. Pinggiran sungai akan ditata ulang secantik Venesia. Warga yang tergusur mungkin mendapat ganti rugi, tapi mata pencarian mereka hilang. Gelandangan, pengemis, pengamen, akan disingkirkan supaya tak jadi kotoran,” kata Ernawati.

“Penindasan” dan “ketidakadilan” kerap menjadi kata kunci yang memicu AMP bergerak. Mereka merasa senasib dengan warga terpinggirkan, dan secara otomatis membandingkan nasib kaum marginal itu dengan rakyat Papua.

Itu sebabnya AMP tak terima ketika pengepungan Asrama Kamasan sekadar dilihat dari sisi aspirasi separatisme tanpa melihat konteks lebih luas.

“Tindakan kami tidak mengancam secara fisik. Kami melakukan aksi damai, bukan angkat senjata. Yang harus dicermati adalah isu yang kami bawa: kebebasan bagi rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Kami menuntut solusi negara Indonesia yang mengaku demokratis ini untuk berbagai problem di Papua,” kata Roy.

Masa kini berpintal erat dengan masa lalu. Meski pemerintahan berganti, Papua tetap menjadi persoalan bagi Indonesia. (cnn)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: