logo
×

Rabu, 12 Oktober 2016

Bantahan Telak Dr. Miftah el-Banjari Terkait Statement Nusron Wahid di ILC

Bantahan Telak Dr. Miftah el-Banjari Terkait Statement Nusron Wahid di ILC

Bukti Kebodohan Nusron Ngomong Sastra & Ilmu Tafsir di ILC

Nusanews.com - Statement Nusron Wahid di ILC TV One (11/12/16) tadi malam mengaku bahwa dia seorang yang pernah belajar sastra dan tafsir di salah satu perguruan tinggi Islam, namun pada kenyataannya teori yang dikemukakannya berdasarkan analisa teks bertolak belakang dengan teori sesungguhnya.

Dia katakan bahwa sebuah teks hanya diketahui oleh pemilik teks dan hanya pembuatnya yang berhak menafsirkannya. Jika demikian teks al-Qur’an hanya benar-benar diketahui oleh Allah semata dan hanya Allah yang mutlak menafsirkan, lantas apa gunanya al-Qur’an diturunkan jika tidak bisa dipahami?!!

Hal ini paradoks dengan kaidah yang biasa dipegang oleh para pentakwil liberal. Di dalam ilmu Nash [textologi] para pentakwil liberal biasanya mengandalkan kaidah نصك ليس ملكك “Teks Anda bukanlah milik Anda secara mutlak” artinya sebuah teks entah itu ayat suci atau teks puisi dan lain sebagainya bukanlah milik si penulisnya sepenuhnya yang memungkinkan setiap pembaca untuk menafsirkannya. Teori diatas adalah senjata para kaum liberal untuk menafsirkan al-Qur’an sekehendak mereka. Seharusnya Nusron Wahid tetap berpegang pada kaidah ini sebagai orang yang memiliki haluan liberal dalam pemikiran.

Lucunya, dia malah membantah dan menggunakan pembenaran lainnya demi membela kepentingan syahwat politiknya. Dari sini statement tadi malam, publik semakin melihat tampak “kebodohanya” ketika berbicara dalam konteks sastra maupun ilmu tafsir. Apalagi syahwat politiknya yang memuncak dan cenderung menghalalkan segala cara.

Begitu pula saat Nusron berbicara bahwa tidak ada para penafsir yang menafsirkan bahwa kata “Aulia” di dalam surah al-Maidah 51 itu bermakna “Pemimpin”, pernyataan ini paradoks dengan faktanya. Dalam Mu’jam al-Wasith kata Aulia merupakan plural/jamak dari kata Wali. Salah satu makna wali adalah wali al-amr yang berarti pemimpin.

Ketika menafisrkan surah al-Maidah 51, para mufasir sepakat bahwa kata Aulia di sana bermakna pemimpin. Di dalam Tafsir Jalalain, Imam Suyuthi menjelaskan kata aulia di sana adalah pemimpin dalam segala aspek. Imam Baghawi dalam tafsir Baghawi pun menafsirkan hal yang sama. Demikian pula tafsir kontemporer semisal Imam as-Sa’adi juga menafsirkan bahwa kata Aulia di sana adalah mengangkat pemimpin dalam pengertian yang umum dan luas.

Hampir semua tafsir, baik klasik maupun kontemporer sepakat bahwa kata “Aulia” bermakna pemimpin. Lucunya “Nusron Wahid” tadi malam mengatakan tidak ada para penafsir yang mengatakan demikian. Pertanyaan dimanakah Nusron Wahid saat gurunya menjelaskan ayat ini, jadi sampai membaca atau jangan-jangan dia telah melakukan pembohongan publik dengan mengatakan pernah belajar, tapi justru bertentangan dengan teori yang ada.

Seharusnya Nusron Wahid yang tidak memilki kapasitas berbicara ilmu sastra Arab dan ilmu tafsir tidak usah berbicara tentang teori, karena kalau teorinya salah khan semakin kelihatan betapa bodohnya saudara berbicara tidak sesuai dengan teori sebenarnya.

Tak jauh berbeda, ketika Nusron berargumen bahwa di Pemerintah Daulah Islamiyyah Utsmaniyyah di Turki pernah ada seorang Gubernur Kristen yang diangkat oleh Khalifah. Argumen ini seakan menjadi pembenaran mutlak bahwa Islam tidak melarang mengangkat seorang pemimpin muslim di tengah mayoritas muslim. Padahal jika dia mau membaca lebih teliti lagi, memang diantara para pendapat Imam Mazhab seperti Imam Syafi’e, Imam Hanbali dan Hanafi pada dasarnya memperbolehkan dengan syarat.

Pertama: Selama di satu wilayah muslim tidak ada yang mampu mengemban tugas sebagao seorang teknorat atau birokrat yang mengerti sistem pemerintahan. Kedua: Selama orang kafir yang dimaksudkan adalah kafir dzimmi yang tidak memusuhi Islam. Nah kedua persyarat ini tidak terdapat dalam diri Ahok. Saat ini masih banyak pemimpin muslim yang bisa setara, bahkan menandingi Ahok. Sebut saja, Ridwan Kamil walikota Bandung atau Ibu Risma walikota Surabaya. Sedangkan Ahok dengan statementnya beberapa hari yang dinilai telah melecehkan al-Qur’an dan umat Islam jelas menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam.

Jadi sekali lagi, jelaslah bahwa statement Nusron sangat mudah terbantahkan dan menunjukkan dia bukanlah orang yang tepat berbicara tentang kepemimpinan Islam.

Apa makna tafsir “AULIA” di surah al-Maidah 51? Benarkah harus pemimpin muslim?

Menjelang PILKADA DKI yang salah satunya mengusung Ahok sebagai calon Gubernur non-muslim di tengah-tengah masyarakat mayoritas Islam di Jakarta, maka bermunculan lah sikap protes dan anti-Ahok yang didasarkan pada beberapa teks ayat suci al-Qur’an yang melarang memilih pemimpin non-muslim di wilayah notabene orang-orang Islam. Diantara polemik yang saat ini berkembang adalah tafsir dari surah al-Maidah 51 yang bunyinya:

«يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء»

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai aulia…”

Sebelum lebih jauh kita membahas tentang makna tafsir kata “Aulia” secara konteks ayat, ada baiknya kita berangkat dari pembahasan akar katanya dahulu. Kata Aulia merupakan plural (jamak) yang terambil dari kata dasarnya “Wali”. Di dalam Mu’jam al-Wasith yang merupakan salah referensi utama dalam bahasa Arab disebutkan makna “Wali” bisa berarti penolong, pemelihara atau bahkan pemimpin.

Apa Asbabun Nuzul surah al-Miadah 51?
Jika kita merujuk pada kronologis (asbabun nuzul) yang mendasari turunnya ayat tersebut. Menurut riwayat dari Ikrimah, ayat tersebut turun terhadap dua orang dari kalangan sahabat yang mengatakan, “Aku akan berangkat meminta bantuan (bantuan militer) kepada Nasrani dan seorang lagi mengatakan aku akan meminta bantuan kepada Yahudi.” Lantas turunlah ayat berikut ini.
Ada pula yang meriwayatkan ayat ini turun kepada Abdullah bin Ubay bin Salul; pemimpin golongan munafik yang berpihak pada kelompok yang memusuhi Islam, sebagai bentuk peringatan keras untuk tidak bekerjasama dalam hal kepentingan mempolitisi agama.

Diriwayatkan pula dari Aisyah ra bahwa pada perang Badr ada seorang kafir musyrikin yang menawarkan bantuannya kepada Rasulullah Saw untuk ikut berperang membantu kaum muslimin disebabkan keberaniannya, namun Rasulullah Saw menolak dan mengatakan, “Kembalilah, aku tidak membutuhkan bantuan orang yang masih musyrik.”

Apa makna Aulia di surah al-Maidah?

Di dalam kitab al-Mu’jam al-Wasith yang merupakan salah satu rujukan referensi bahasa Arab disebutkan makna kata “aulia” bisa berarti meminta pertolongan atau bantuan kepada seseorang yang mampu, bisa juga berarti wali-amr; pemimpin suatu wilayah teritorial yang pemimpin disebut “Maula” atau “Maulaya”.

Kata “Aulia” berarti meminta pertolongan atau perlindungan dalam konteks menyerahkan hak wilayah pada seseorang untuk mengatur dan mengurusnya. Sebagai contoh, ketika tidak ada seorang pun yang mampu untuk mengatur sebuah wilayah Anda, maka Anda datang dan mengatakan pada seseorang, “Sebaiknya Anda saja yang memimpin kami atau mengatur wilayah kami!” Hal ini masuk dalam kategori  “Aulia”.

Mengapa para wali disebut “Aulia”? Mereka dinamakan Aulia disebabkan Allah memberikan pangkat wilayah kepada mereka untuk mengatur wilayah bumi Allah. Bahkan ada yang ditugaskan mengatur alam semesta, dengan pangkat dan jabatan mereka masing-masing. Jadi jelaslah dalam ilmu semantik kata “Aulia” merujuk pada meminta bantuan dalam konteks wilayah. Dalam pengertian sederhana, meminta seseorang menjadi seorang pemimpin sebuah wilayah atau teritorial tertentu.
Apakah kata “Aulia” di surah al-Maidah 51 menyangkut konteks kewajiban memilih atau mengangkat pemimpin Muslim?

Untuk memperkuat dalil bahwa kata “Aulia” itu merujuk pada makna Pemimpin, ada baiknya kita kembali pada beberapa rujukan tafsir. Diantaranya: Imam Sa’di di dalam tafsirnya Sa’di berkomentar ketika menafsirkan surah al-Maidah ayat 51:

فأنتم لا تتخذوهم أولياء، فإنهم الأعداء على الحقيقة ولا يبالون بضركم، بل لا يدخرون من مجهودهم شيئا على إضلالكم، فلا يتولاهم إلا من هو مثلهم، ولهذا قال: ( وَمَن يَتَوَلَّهُم مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ) لأن التولي التام يوجب الانتقال إلى دينهم. والتولي القليل يدعو إلى الكثير، ثم يتدرج شيئا فشيئا، حتى يكون العبد منهم.

“Janganlah kalian menjadikan mereka (Yahudi dan Nasrani) sebagai pemimpin kalian, karena sesungguhnya mereka musuh yang sesungguhnya dan mereka tidak akan pernah peduli dengan kesusahan kalian, bahkan mereka tidak berusaha untuk mencegah dari hal-hal yang akan menjerumuskan kalian. Allah Swt berfirman: “Barangsiapa yang mengangkat mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk dari golongan mereka”, karena mengangkat mereka sama halnya dengan berpindah ke agama mereka. Paling tidak, dengan kekuasaan mereka akan mengajak pada keyakinan mereka sedikit demi sedikit, sampai akhirnya kalian bagian dari mereka.”
Sedangkan Imam al-Baghawi menafsirkan fragmen dari ayat al-Maidah ayat 51:

 بعضهم أولياء بعض ) في العون والنصرة ويدهم واحدة على المسلمين)

“Sebagian penolong dari mereka (meminta bantuan dan pertolongan semata-mata berharap kepada mereka untuk memimpin kaum muslimin)”

Bahkan Imam Suyuthi di dalam kitab Jalalain menjelaskan secara jelas dan gamblang ketika menafsirkan al-Maidah ayat 51:

«يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء» توالونهم وتوادونهم «بعضهم أولياء بعض» لا تحادهم في الكفر «ومن يتولَّهم منكم فإنه منهم» من جملتهم «إن الله لا يهدى القوم الظالمين» بموالاتهم الكفار.

“(Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai sebagai aulia), yaitu mengangkat mereka sebagai pemimpin dan mengharapkan mereka memimpin (sebagian dari mereka) lantaran kekufuran mereka (barangsiapa yang mengangkat mereka sebagai pemimpin maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka) secara keseluruhan (sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk terhadap orang-orang yang zhalim) dengan diberikan azab mati dalam keadaan tidak beriman.”
Kesimpulan

Dari hasil kajian kitab-kitab tafsir para ulama dahulu seeprti tafsir Ibnu Katsir, al-Maraghi, al-Qurthubi dan masih banyak tafsir al-Qur’an lainnya, baik karya ulama tafsir klasik hingga kontemporer memiliki kesamaan penafsiran bahwa yang dimaksud dengan makna tafsir “aulia” merujuk pada pemimpin wilayah. Sedangkan peringatan pada surah al-Maidah 51 jelas larangan untuk memilih pemimpin non-muslim di wilayah mayoritas pemeluk agama Islam.
Jadi sangat ironis sekali, jika ada ulama tafsir belakangan yang memiliki pandangan yang berbeda dengan ulama-ulama tafsir pendahulunya. Terlebih lagi, jika ada kepentingan politik tertentu dengan cara mempolitisi tafsir-tafsir ayat untuk menjauhkan dari makna tafsir sesungguhnya. (Juft/Kbr-1)

____________________________________

Oleh Ust. Dr. Miftah el-Banjary, MA
*Dosen pascasarjana Qawaid Tafsir & S.3 Sastra Arab di Arab League Institute Cairo* (kft)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: