logo
×

Jumat, 07 Oktober 2016

Heboh Al-Maidah 51, Pendukung Garis Keras Petahana Akhirnya Tersadar

Heboh Al-Maidah 51, Pendukung Garis Keras Petahana Akhirnya Tersadar

Nusanews.com - "Akhirnya aku memutuskan akan abstain" ujar seorang kawan yang sebelumnya tergolong "pendukung garis keras" calon petahana.

"Kenapa?" aku tersentak "bukankah baru kemarin kulihat kau masih mati-matian di group Whatsapp membela pendapatmu? Bahwa katamu, memilih pemimpin daerah itu beda dengan memilih pemimpin agama? Bahkan kau nyaris baku hantam dengan sahabat-sahabatmu sendiri?"

Ia terdiam lama sebelum menjawab.

"Akhirnya aku sadar... mengapa harus mati-matian mencari pembenaran hanya sekedar untuk berseberangan dengan firman Tuhan? Bagaimana kelak aku mempertanggung jawabkannya?"

"Jadi kau meyakini bahwa kelak engkau harus mempertanggung jawabkan pilihanmu? Bahwa itu bukan semata-mata urusan dunia?" tanyaku.

"Begini" ia mengingsarkan letak duduknya, "akhirnya aku berfikir seperti ini: bahwa kelak sesudah kematian, setiap orang akan dimintai pertanggungan jawaban... itu final! Aku percaya itu. Lalu soal memilih pemimpin..." ia berhenti sesaat.

"Yaa... gimana sikapmu? Tentang Al Maidah ayat 51, misalnya?"

"Katakanlah misalnya, misalnya... ada dua pendapat soal pertanggungjawaban pelaksanaan Al Maidah itu kelak. Pendapat yang satu bilang: "Kamu akan dimintai pertanggungjawaban", lalu pendapat kedua mengatakan: "Tuhan tidak akan memintai pertanggungjawaban soal pilihan itu. Karena itu hanya soal keduniaan...".

Aku terdiam mencerna kata demi kata yang ia lontarkan. Ia melanjutkan.

"Artinya, pertanggungjawaban itu bisa ada... bisa juga tidak ada..."

"Trus?" aku benar2 penasaran dengan konklusi dari kegelisahannya. Dengan yakin ia melanjutkan.

"Kau... kau aman!" tiba-tiba ia menepuk pundakku sambil tersenyum. Aku terkejut.

"Aman?" sergahku "Aku? Kenapa aman?"

"Karena dari awal engkau meyakini kebenaran Al Maidah 51. Ada atau tidak ada pertanggungjawaban itu kelak di akhirat... gak ada persoalan bagimu. Sedang aku...???".

"Maksudmu, posisimu kelak berbeda dengan mereka yang meyakini?" tanyaku "Begitukah?".

"Ya! Aku berbeda," ia bergetar... "Jika ternyata pertanggungjawaban itu tidak ada. Amanlah aku. Tapi jika ada?!"

Ia menggeleng sambil tersenyum getir.

"Usiaku sudah 58...Hanya tinggal menunggu giliran saja untuk mempertanggungjawabkan semuanya. Kematian sudah menunggu," suaranya bergetar... "haruskah kututup perjalanan panjang umurku dengan sesuatu yang beresiko? Mengapa aku bukannya malah mengurangi resiko?".

Aku mengangguk, mulai memahami apa yang ia rasakan.

"Apapun sikap yang kau ambil... aku menghormati" ujarku pelan "itu sebabnya aku tak pernah memprotes pendirianmu soal Pilkada. Aku yakin... orang secerdas engkau pasti akan berpikir sendiri. Termasuk lebih baik mana antara "abstain" dibanding dengan memilih yang "tidak beresiko..."

Ia menoleh cepat ke arahku. Tapi aku harus pamit pergi karena harini ada jadwal kuliah. Aku tahu ia masih ingin diskusi. Ia pasti menatapku sampai mobilku hilang di belokan. Aku yakin ia bisa berdiskusi dengan dirinya sendiri...

*dari fb Joko Santoso HP (Jumat, 7-10-2016)

Link: https://www.facebook.com/jokosantosohp/posts/10207229142598641 (pp)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: