
Nusanews.com - Penundaan proses hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menista Al Quran, apapun dasar hukumnya, merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi, UUD 1945.
Penegasan itu disampaikan pengacara senior Mahendradatta melalui akun Twitter @mahendradatta. “Penundaan proses hukum Ahok karena Pilkada, apapun dasarnya, merupakan pelanggaran Konstitusi (UUD 45) tentang kesamaan kedudukan warga negara di mata hukum,” tegas @mahendradatta.
Dewan Penasehat Tim Pembela Muslim (TPM) ini menegaskan, berdasarkan prinsip kesamaan kedudukan WNI di mata hukum, seperti tercantum dalam pasal HAM UUD 45, penundaan proses hukum Ahok bisa diterapkan pula sebagai pelanggaran HAM.
Mahendradatta membandingkan dengan proses hukum Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. “Penundaan proses hukum tidak dikenal dalam sistim hukum Indonesia, bahkan seorang Ustad yang benar-benar sakit saja, ditangkap dan diambil dari rumah sakit untuk diproses,” tulis @mahendradatta.
@mahendradatta pun menyimpulkan: “Kalau sudah ada kecenderungan pelanggaran Konstitusi (UUD 1945) tentu semua warga negara tahu bagaimana kelanjutannya.”
Sebelumnya, mantan anggota Komisi III DPR Djoko Edhi Abdurrahman menyesalkan sikap Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang meminta kasus Ahok diselesaikan memakai Peraturan Kapolri (Perkap).
“Kompolnas minta agar kasus Ahok diselesaikan sesuai Peraturan Kapolri (Perkap). Artinya, ditunda sampai dengan selesainya pilkada. Perkap mengatur penundaan itu. Dalam hal tersebut, Perkap menegasikan KUHAP. Jadi kontra antara KUHAP versus Perkap. Ini dinamakan contrario,” tegas Djoko Edhi kepada intelijen (18/10).
Menurut Djoko Edhi, jika pernyataan Kompolnas itu diikuti berarti KUHAP harus mengalah kepada Perkap. Lebih jauh, KUHAP baru berlaku setelah diresepsi (receiptie) oleh Perkap. (it)