
NUSANEWS - Aksi Umat Islam 4 November 2016 yang dihadiri lebih kurang 500 ribu peserta aksi patut dicatat dalam sejarah bangsa ini, aksi damai yang juga mendapat sorotan serta pujian dari media barat, karena telah memberikan bukti bahwa umat Islam Indonesia mampu memberi contoh terbaik mengenai makna demokrasi sesungguhnya yaitu menyampaikan aspirasi dengan damai, jauh dari prasangka dan prediksi publik selama ini
Namun dibalik aksi umat Islam 4 November kemarin, ada fenomena yang kurang patut dicontoh dan diteladani yaitu ketika pemimpin negeri ini yaitu sang Presiden tidak mau menemui dan menerima para pemimpin aksi yang terdiri dari ulama, Kyai dan Habib para pemimpin Umat Islam
Sang Presiden lebih memilih melihat proyek infrastruktur proyek kereta di Bandara Soekarno Hatta, ketimbang menemui dan menerima para perwakilan Umat Islam yang melakukan aksi
Apa yang dicontohkan oleh sang Presiden semakin membuat dirinya tak lebih pemimpin yang jauh dari sifat seorang pemimpin negarawan, yang mampu berdiri dan mendengar semua aspirasi dari rakyatnya sendiri
Sikap Presiden yang tidak mau menemui para pelaku aksi umat Islam semakin membuat legitimasi sosial pada diri sang presiden makin memudar
Kini sang Presiden tak ubahnya hanya menjadi presiden bagi relawan dan pendukungnya sendiri, serta berpihak kepada kepentingan sesat yang ada
Ini bukan sebuah penggiringan opini, namun kini semua meyakini sang Presiden bukanlah pemimpin di negeri ini, karena legitimasi sebagai seorang pemimpin negeri telah semakin memudar dan berganti menjadi legitimasi pemimpin sesat
Pemimpin yang tersesat sehingga rakyatnya sendiri pun dianggap lawan yang harus tidak ditemui, ironi (ln)