
“HUKUM TABUR – TUAI”
AHOK MENABUR – AHOK MENUAI
(Bagian 2)
Oleh : Nicholay Aprilindo
“Barang siapa menabur kebaikan, dia akan menuai kebaikan; namun barang siapa menabur kejahatan, dia akan menuai kejahatan”.
OBSESI KEKUASAAN POLITIK SEORANG BTP alias AHOK TANPA DILANDASI OLEH NORMA DAN ETIKA BERPOLITIK :
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilahirkan di desa Gantung Belitung Timur pada tanggal 29 Juni 1966, dari ayahnya yang bernama Indra Tjahaja Purnama dan Ibu yang bernama Buniarti Ningsing. Setelah menamatkan SMAnya di Belitung, Ahok melanjutkan studynya ke Fakultas Tehnik Mineral Universitas Trisakti Jakarta dan lulus pada tahun 1989 dengan gelar kesarjanaanya Insinyur Geologi.
Kemudian Ahok kembali ke Belitung dan mendirikan CV Panda yang bergerak dibidang usaha pertambangan timah. Sekitar tahun 1991-1992 Ahok melanjutkan study Strata 2 Magister Managemen di Sekolah Tinggi Managemen Prasetya Mulya Jakarta dan mendapat gelar kesarjanaan Magister Managemen (MM). Ahokkemudia bergabung dengan PT. Simaxindo Primadaya sebagai staf Direksi bidang analisa biaya dan keuangan proyek, setelah itu Ahok mendirikan PT. Nurindra Ekapersada yang membangun pabrik Gravel Pack Sand (GPS) pada tahun 1995 yang berlokasi di Dusun burung mandi, Desa Mengkubang, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Tidak cukup disitu kemudian Ahok yang mempunyai obsesi bisnis raksasa mendirikan pabrik pengolahan pasir kwarsa di Belitung.
Pada tahun 2004, Ahok menggandeng seorang Pengusaha Korea untuk membangun Tin Smelter atau peleburan bijih timah di KIAK (Kawasan Industri Air Kelik).
Obsesi kekuasaan adalah sesuatu keniscayaan yang selalu ingin diraih oleh setiap orang yang aktif dalam perpolitikan untuk menuju pada puncak karier politiknya.
Tidak terkecuali seorang Ahok yang mempunyai keinginan, cita-cita dan obsesi kekuasaan yang begitu tinggi, terbukti Ahok yang mengawali karier politiknya di Belitung pada tahun 2004 dengan bergabung didalam Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) pimpinan DR. Sjahrir, dan kemudian Ahok memulai perjalanan politiknya sebagai ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPIB Belitung dan menjadi anggota DPRD Kab. Belitung Timur untuk periode 2004-2009, namun Ahok tidak puas hanya sebagai anggota DPRD Kab. Belitung Timur, Ahok kemudian mengembangkan obsesi politikya untuk memenuhi hasrat syahwat politiknya menjadi Bupati Belitung Timur, dan Ahok berhasil menjadi Bupati Belitung Timur untuk periode 2005-2010, dengan perolehan suara sebanyak 37 %. Setelah menjadi Bupati Belitung Timur, Ahok terobsesi untuk menjadi Gubernur Bangka Belitung, sehingga pada tanggal 22 Desember 2006, Ahok mengundurkan diri dari Bupati Belitung Timur dan menyerahkan jabatan Bupati kepada wakilnya yang pada saat itu dijabat oleh Khairul Effendi, kemudian pada tahun 2007 Ahok kembali ingin memenuhi hasrat syahwat politiknya dengan mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Bangka Belitung periode 2007-2011, dengan dukungan dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mantan Presiden RI ke-4, namun Ahok gagal karena dikalahkan oleh Eko Maulana Ali, setelah mengalami kegagalan menjadi Gubernur Bangka Belitung, Ahok ingin mewujudkan obsesinya menjadi Gubernur Sumatera Utara, namun lagi-lagi Ahok mengalami kegagalan. Berbekal dengan kegagalannya untuk menjadi Gubernur Bangka Belitung Ahok tidak menerima begitu saja kegagalannya, Ahok membuat “pencitraan diri sebagai orang yang di dzolimi”, Ahok mengembangkan Issu bernuansa SARA dengan menuding lawan politiknya pada saat Pilgub Bangka Belitung menggunakan “Qur’an Surat Amaidah 51” untuk menjegal dirinya, issu tersebut dihembuskan sendiri oleh Ahok untuk mencari simpati masyarakat guna mendukung obsesi kekuasaan politiknya. Pada tahun 2008 rasa kecewa dan kemarahan Ahok atas gagalnya obsesi kekuasaan politik sebagai Gubernur Bangka Belitung di curahkan menjadi sebuah buku dengan judul “Merubah Indonesia” dan pada sub judul “Berlindung dibalik ayat suci” apada halaman 40, Ahok menumpahkan kekecewaan serta kemarahannya dengan menuliskan dan menafsirkan dengan pengertiannya sendiri “QS Almaidah 51” yang dikatakannya dipakai oleh lawan-lawan politiknya untuk menjegal hak politik dan obsesi politiknya.
Pada tahun 2009 untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi, Ahok akhirnya “lompat pagar” masuk Partai Golkar dan mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar daerah pemilihan Bangka Belitung dan berhasil berhasil menjadianggota DPR RI periode 2009-2014.
Tidak berhenti disitu saja, syahwat politik kekuasaan yang menjadi obsesi kekuasaan politik Ahok mulai timbul lagi pada saat pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012, dan untuk mendapatkan tiket mengikuti pilkada DKI Jakarta, maka Ahok “lompat pagar” masuk Partai Gerindra besutan Prabowo Subianto, padahal ketika itu Ahok sudah menjadi Kader Partai Golkar dan sudah menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar, namun dengan menggunakan kelihaiannya melobby secara politik terhadap Partai Gerindra yang pada saat itu sedang menjaring calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta bagaikan “gayung bersambut” dan bagaikan “pungguk merindukan bulan”, obsesi kekuasaan politik Ahok diakomodir oleh Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra, yang kemudian menempatkan Ahok sebagai Calon Wakil Gubernur dari Partai Gerindra berpasangan dengan Joko Widodo yang di calonkan oleh PDIP menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.
Bahwa pada tahun 2009, Partai Gerindra dan PDIP sedang “mesra-mesranya” dalam obsesi politik partai mendukung Megawati Soekarno Putri bersama Prabowo Subianto menjadi Calon Presiden RI dan calon Wakil Presiden RI untuk periode 2009-2014, namun gagal karena dikalahkan oleh pasangan Presiden petahana ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bahwa dua kekuatan besar Partai Politik yang sedang bekerjasama secara harmonis dan mesranya yaitu PDIP dan Gerindra menjadi modal bagi Ahok, namun factor yang sangat berpengaruh pada saat pilkada DKI 2012 adalah masuknya Joko Widodo didalam bursa pencalonan Gubernur DKI Jakarta, dimana factor nama Joko Widodo mempunyai peran yang signifikan karena factor “cipta kondisi” Prabowo Subianto (Partai Gerindra) bersama Megawati Soekarno Putri (PDIP), pada akhirnya dapat memenangkan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta dan BTP alias Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017.
Berbekal obsesi kekuasaan yang lebih tinggi untuk kepentingan politiknya, maka ketika pada tahun 2014 Joko Widodo mencalonkan diri menjadi Presiden RI yang diusung dan didukung oleh PDIP bersama partai lainnya, maka Ahok tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada didepan matanya untuk dalam waktu singkat dapat menjadi Gubernur DKI Jakarta, dengan cara mendukung Joko Widodo menjadi Calon Presiden RI ketika itu, walaupun Ahok menjadi Wakil Gubernur dari Partai Gerindra namun ketika pada saat yang sama tahun 2014 Prabowo Subianto juga dicalonkan sebagai calon Presiden RI dari Partai Gerindra bersama beberapa partai lainnya, Ahok sama sekali tidak mendukung Prabowo subianto bahkan menolak menjadi tim sukses pemenangan Prabowo Subianto.
Dari perilaku politik yang dimainkan oleh Ahok pada saat pilpres 2014 tersebut sebenarnya mulai terlihat bahwa seorang BTP alias Ahok tidak mempunyai komitmen politik dan etika politik, sehingga seorang Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra yang menginisiasi dan mengusung serta mendukung Ahok sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Joko Widodo, baik secara politik, secara materiil dan secara moril, sedemikian rupa tidak dihargai bahkan di khianati oleh seorang Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang baru 1 (satu) tahun menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta ketika itu, terlebih ketika pada tanggal 10 Spetember 2014 Ahok menyatakan diri keluar dari Partai Gerindra dengan alasan perbedaan pandangan ttg adanya wacana “Pilkada tidak langsung melalui DPRD”, Ahok tidak menemui langsung Prabowo Subianto untuk menyampaikan pengunduran dirinya dari Partai Gerindra namun hanya mengumumkannya lewat media massa.
Bahwa dari uraian tersebut diatas tentang obsesi kekuasaan politik dari BTP alias Ahok, dapat kita cermati secara periodik yaitu :
1. Pada tahun 2004, Ketika Ahok sudah terpilih dan menjadi anggota DPRD dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) di Kabupaten Belitung Timur periode 2004-2009, Ahok berkhianat terhadap sura konstituennya dan meninggalkan amanah konstituennya sebagai anggota DPRD Kab. Belitung Timur di tengah jalan, Ahok mencalonkan diri menjadi Bupati Belitung Timur.
2. Pada tahun 2005 dalam masa jabatannya sebagai anggota DPRD Belitung Timur (2004-2009), Ahok mencalonkan diri menjadi Bupati Belitung Timur dan terpilih untuk masa jabatan 2005-2010.
3. Pada bulan Desember 2006, Ahok lagi-lagi mengkhianati suara konstituennya dan meninggalkan konstituennya yang telah memberikan suara dan amanah padanya sebagai Bupati Belitung Timur, Ahok meninggalkan jabatan Bupati Belitung Timur dan mencalonkan diri sebagai Gubernur Bangka Belitung untuk periode 2007-2011.
4. Pada tahun 2007 Ahok mengikuti Pilkada Gubernur Bangka Belitung, namun kandas dan gagal karena rakyat BangkaBelitung sudah tidak mau memilih calon pemimpin yang suka melompat kesana kemari meninggalkan amanah serta mengkhianati suara rakyat.
5. Setelah Ahok gagal menjadi Gubernur Bangka Belitung, Ahok ingin mencoba untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara, namun lagi-lagi Ahok gagal.
6. Pada tahun 2009, Ahok “Lompat Pagar” masuk Partai Golkar untuk mendapat tiket ke Senayan menjadi anggota DPR RI; dan Ahok berhasil menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar untuk periode 2009-2014.
7. Pada tahun 2012 Ahok mulai tergiur kembali untuk memenuhi syahwat kekuasaannya guna tercapai obsesi politik kekuasaannya, maka dalam masa jabatannya sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014, Ahok mundur dari anggota DPR RI dan keluar dari Partai Golkar, kemudian masuk ke Partai Gerindra untuk mendapatkan tiket dicalonkan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
8. Pada tahun 2012 Ahok dengan diusung dan didukung Partai Gerindra, terpilih menjadi Wakil Gubernur mendampingi Joko Widodo yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta yang diusung dan didukung PDIP. Untuk masa jabatan 2012-2017. Perlu dicatat bahwa pada tahun 2012 ketika Pilgub DKI Jakarta Ahoktidak mempunyai nilai jual, dan terpilihnya Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta bukanlah karena dipilih oleh rakyat, namun adanya factor penentu dan berpengaruh secara nasional baik secara figure maupun secara Partai Politik, yaitu Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Megawati Soekarno Putri (PDIP), Hashim S. Djojohadikusumo (Gerindra), Joko Widodo (PDIP).
9. Pada tahun 2014 Joko Widodo menjadi calon Presiden RI, dengan demikian maka jabatan Gubernur diserahkan kepada wakil Gubernur Ahok selaku PLT Gubernur.
10. Setelah Joko Widodo terpilih sebagai Presiden RI ke-7, maka Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo.
11. Setelah Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, pada bulan September 2014 Ahok menyatakan diri keluar dari Partai Gerindra.
12. Ketika Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo, bukanlah melalui mekanisme pemilihan langsung (pemilu/pilkada), namun melalui mekanisme sesuai diamanatkan undang-undang, dengan demikian rakyat tidak pernah memilih Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo.
13. Setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta sejak tahun 2014, Ahok ingin mewujudkan obsesi politik kekuasaannya untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta periode ke-2 (2017-2021) secara Independen dengan tidak menggunakan kendaraan Partai Politik, namun upaya untuk mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Independen gagal, sehingga dengan bantuan “invisible hand” serta oknum-oknum cukong dan konglomerat, maka Ahok diakomodir oleh Partai Politik, namun untuk Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta periode ke-2 tersebut hanya sebagai sasaran antara dan sebagai batu loncatan untuk memenuhi syahwat politiknya yaitu sasaran utama guna meraih obsesi politik kekuasaan tertinggi di Republik ini yaitu menjadi Presiden RI atau paling tidak Wakil Presiden RI pada tahun 2019.
Dari beberapa catatan tersebut diatas, kita bisa menarik suatu benang merah bahwa :
1. BTP alias Ahok telah berhasil memposisikan dirinya sebagai pemimpin politik kekuasaan yang lahir dari syahwat politik dan keinginan besar atas obsesi politik kekuasaannya dengan tidak mempedulikan lagi Norma dan Etika dalam berberpolitik.
2. BTP alias Ahok, dengan mudah meyakinkan orang/masyarakat untuk mempercayainya serta memilihnya, namun dengan mudah pula “berkhianat” serta “mengkhianati” orang/masyarakat yang telah mempercayai serta memilihnya.
3. BTP alias Ahok sebagai sosok yang mempunyai masalah psychis, psyco-sosial, psy-politik, dan sosok yang tidak mempunyai “Sense of Behaviar Political”, sehingga Ahok menempatkan dirinya sebagai seorang “minoritas” agama maupun suku yang terdzolimi oleh kaum “mayoritas”, agar Ahok mendapat dukungan public baik secara nasional maupun internasional, karena bagi Ahok bermain opini dan pencitraan melalui unsure SARA (Suku, Agama,Ras, Antar golongan) adalah hal sensitive yang paling sexi untuk cepat mempengaruhi public dan mendapat dukungan public.
4. BTP alias Ahok bukanlah sosok yang berdiri sendiri, namun sosok yang dipasang sebagai modal dan model serta pion dan sekaligus pelaksana dari kekuatan politik, kekuatan ekonomi dan kekuatan ideology kelompok dan golongan elite politik tertentu, cukong dan konglomerat tertentu yang berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan asing dan aseng untuk menguasai republik ini atau paling tidak mengendalikan kekuasan politik di Republik ini.
5. Bahwa sesungguhnya BTP alias Ahok dibalik keberanian, kegarangan, serta kebrutalan perilaku, tutur kata kasar, sikap dan karakter kepribadian serta perilaku politiknya, Ahok adalah seorang yang lemah dan menggunakan kelemahan orang lain untuk menyerang lawan-lawannya baik secara pribadi, kelompok maupun secara politik, karena Ahok berlindung dan dilindungi oleh kekuatan kekuasaan politik, kekuatan financial (keuangan) bahkan oknum-oknum yang mempunyai kekuatan bersenjata baik secara legal maupun illegal dan terutama dilindungi oleh rekayasa pencitraan media-media tertentu, dan itu sudah menjadi Rahasia Umum.
(Bersambung…………..)