
NUSANEWS - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada masyarakat untuk mengukur nilai tukar rupiah dengan negara lain, seperti ke yuan renminbi (China). Pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat saat ini tidak bisa lagi dijadikan patokan untuk mengukur ekonomi Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, menilai, permintaan Presiden Jokowi tersebut tidak ada landasannya. Pasalnya, saat ini tidak ada aturan standar tentang acuan kurs.
"Jadi, Ini soal persepsi dan nilai perdagangan bukan soal berorientasi kurs kita kemana," ujar Heri di Jakarta, Selasa (6/12) sore.
Politisi Gerindra ini berharap, permintaan Jokowi untuk mengubah persepsi ketergantungan rupiah terhadap dolar AS jangan sampai menimbulkan persepsi baru.
"Bahwa ekonomi kita sedang diarahkan untuk bergantung ke negara lain, yaitu Cina. Jangan sampai seperti itu," tutur Heri.
Dalam hal ini, Heri juga mengatakan, memang nilai ekspor Indonesia ke AS memang terbilang kecil, yaitu hanya 10-11 persen dari total ekspor Indonesia apabila dibandingkan dengan porsi ekspor ke China sebesar 15,5 persen, Eropa dengan porsi 11,4 persen, dan Jepang 10,7 persen.
"Tapi, harus dicatat bahwa tren perdagangan dengan AS cenderung surplus, sedangkan dengan Cina cenderung defisit," jelasnya.
Oleh karena itu, kata Heri, langkah yang paling efektif untuk menghindari pengaruh penguatan mata uang asing terhadap rupiah bukan bergantung pada negara luar, namun seberapa kuat dan mandiri ekonomi dalam negeri terhadap negara lain. Hal ini dikarenakan semakin Indonesia bergantung ke suatu negara, maka naik-turunnya rupiah juga akan sangat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi di negara tersebut.
"Sekali lagi, intinya adalah pelaksanaan kemandirian ekonomi nasional yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Selama itu tidak terlaksana, maka mau ke AS atau Cina atau Jepang, tetap sama saja. Persepsi tunggal yang terbentuk adalah ekonomi kita bergantung ke bangsa lain. Ini paradoks," tutup Heri. (jn)

