logo
×

Jumat, 13 Januari 2017

Jangan Pilih Kepala Daerah Karena Uang & Dinasti Politik

Jangan Pilih Kepala Daerah Karena Uang & Dinasti Politik

NUSANEWS - Perdagangan jabatan PNS di pemerintah daerah terus jadi sorotan. Praktik jual beli jabatan bisa dibendung sebelum pilkada. Rakyat harus memilih calon berintegritas, bukan berdasarkan politik uang atau dinasti politik.

Demikian Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng dalam diskusi "Jual Beli Jabatan, Modus Baru Korupsi" di Jakarta, kemarin.

Menurut Endi, kasus jual beli jabatan di Klaten dan sejumlah daerah lainnya harus dicegah se­jak pilkada digelar. Masyarakat harusdisadarkan untuk memilih calon pemimpin berintegritas dan memiliki kapasitas, bukan menjatuhkan pilihan berdasar pragma­tisme politik uang atau lantaran latar belakang dinasti politik.

"Kasus jual beli jabatan ini har­us dibendung di pilkada, bangun kesadaran politik warga. Pemilih jangan mempertimbangkan prag­matis. Tidak memilih karena idola, dan memafavoritkan keluarga pejabat tanpa melihat keluarga itu korup," papat Endi.

Endi menyatakan, kapasitas dan integritas kepala daerah menjadi kunci penting di era otonomi daerah saat ini. Dengan derasnya aliran dana dari pemerintah pusat, dan otoritas besar, kepemimpinan kepala daerah menentukan kemajuan atau ke­munduran suatu daerah.

"Saya selalu katakan, faktor kepala daerah adalah faktor sangat signifkan. Maju atau mundurnya suatu daerah ditentukan kepala daerah sebagai pemegang kuasa, pemegang uang dan koordinasi dengan aparatur di bawah­nya. Kapasitas dan integritas kepala daerah sangat krusial," ujarnya.

Tanpa kapasitas dan integri­tas kepala daerah, Endi meya­kini kasus perdagangan jabatan seperti di Klaten akan terus terjadi. Menurutnya, komersial­isasi birokrasi melalui jual beli jabatan merupakan korupsi yang sangat jahat. Korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa atau penerbitan izin akan berakhir saat pelaku dibui.

Sementara, perdagangan ja­batan akan membentuk lingkaran korupsi yang tak berujung. Untuk itu, perdagangan jabatan harus dibendung sejak pilkada.

"Komersialisasi birokrasi dalambentuk jual beli jabatan. Suap itu korupsi yang sangat jahat. Kepala daerah minta uang ke kepala dinas, lalu kepala dinas minta ke jajaran di bawahnya, dan seterusnya. Maka korupsidi level kepala daerah, itu yang harus dibendung di awal," jelasnya.

Selain komersialisasi jaba­tan, kepala daerah yang tidak memiliki kapasitas dan integritas rentan mempolitisasi birokrasi. Birokrat, kata Endi bakal di­manfaatkan kepala daerah untuk memobilisasi suara menjelang dan selama proses Pilkada ber­langsung.

"Politisasi birokrasi terjadi saat Pilkada untuk memobilisasi suara. Birokrasi tulang punggung program-program pemerintah. Ada ruang bagi kepala daerah untuk berkomunikasi dengan masyarakat dengan program-program yang dijangkau dan diarahkan ke kantong-kantong suara," paparnya.

Selain itu, dari segi politik, membendung perdagangan ja­batan juga harus dilakukan partai politik (Parpol). Dikatakan, persoalan ini tidak selesai jika parpol hanya bersikap reaktif dengan memecat kepala daerah yang terlibat perdagangan jaba­tan. Lebih dari itu, kasus jual beli jabatan di Klaten harus men­jadi pelajaran bagi parpol dalam membangun sistem rekrutmen dan kaderisisasi yang berdasar­kan kapasitas dan integritas.

"Parpol harus benar-benar sadar dari kasus Klaten, tidak hanya reaktif dengan pecat. Ambil pelajaran untuk seleksi yang selama ini tertutup. Bangun dari kompetensi dan integritas, tapi kalau partai jebol dan tidak bisa diandalkan sekarang tergantung masyarakat," harapnya.

Dari sisi pemerintah, Endi menilai, Undang-undang (UU) Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah mengatur adanya proses seleksi dan lelang jabatan.

Dengan aturan ini, setiap aparatur sipil berkompetisi menjadi calon pejabat terbaik. Namun, proses lelang ini masih terdapat celah karena kepala daerah tetap memiliki kendali menunjuk orang-orang tertentu.

"Jangan lupa, dalam proses seleksi dibentuk pansel. Kepala daerah membentuk pansel hasil seleksi kepada kepala daerah. Siapa yang bisa menjamin tidak ada ruang gelap dan kepentingan. Untuk itu, sistem seleksi harus diperkuat dengan pengawasan masyarakat setempat dan aparat pemerintahan itu sendiri. Yang juga penting adalah keberadaan KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) sebagai lembaga inde­penden dan obyektif untuk laku­kan pengawasan yang efektif," pungkasnya.

Diketahui, kasus jual beli jabatan kembali mencuat pasca dicokoknya Bupati Klaten, Sri Hartini akhir Desember 2016. Orang nomor satu ini ditangkapKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat kasus jual beli jabatan di ling­kungan Pemkab Klaten. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu, lembaga antirusuah ini mengamankan uang sebagai barang bukti sebesar Rp 2 miliar. *** (rmol)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: