
NUSANEWS - Pemerintah diwanti-wanti untuk lebih hati-hati menumpuk utang. Sebab, saat ini pengelolaannya sudah tidak sehat. Kondisi tersebut bisa menjadi bom waktu.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai, utang negara yang saat ini mencapai Rp 4 ribu triliun, sudah cukup mengkhawatirkan. Dia mengkritik klaim pejabat negara yang selalu menganggap wajar utang tersebut.
"Jelas itu salah. Maaf Pak Darmin. Utang hanya sebagian kecil yang digunakan untuk infrastruktur. Utang banyak digunakan untuk pos lain, termasuk belanja pegawai," kata Faisal di kantor Indef, Jakarta, kemarin.
Faisal mengatakan, pembangunan infastruktur banyak dibiayai utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak masuk dalam kategori utang yang direncanakan.
Faisal mencontohkan proyek Light Rail Transit (LRT) yang hanya memakai dana APBN sebesar Rp 1,6 triliun, selebihnya dibebankan kepada PT Adhi Karya selaku kontraktor. Contoh lainnya, PT Hutama Karya diminta pemerintah berutang untuk membiayai pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera.
Pengelolaan utang negara saat ini, menurut Faisal, berbeda dengan saat era Orde Baru. Menurutnya, era Orde Baru berutang sepenuhnya untuk pembangunan. Sekarang, utang dibagikan kepada hal yang lebih umum dan generik.
Peneliti Indef lain, Ahmad Heri Firdaus membedah utang dengan membandingkan pinjaman dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Dia menyebutkan, periode 2015-2017 rata-rata utang pemerintah dalam denominasi rupiah menanjak 14,81 persen, yaitu dari Rp 3.165,13 triliun (2015), Rp 3.515,46 triliun (2016), Rp 3.938,45 triliun (2017) dan pada APBN 2018 mencapai Rp 4.772 triliun.
Namun sayang, peningkatan utang tersebut tidak dibarengi dengan pertumbuhan PDB yang memadai. PDB hanya naik sekitar 8,74 persen per tahun. Yaitu dari Rp 11.526,33 triliun (2015) ke Rp 12.406,77 triliun (2016) ke Rp 13.588,8 triliun.
"PDB hanya naik 8,74 persen. Dan, secara riil, pertumbuhan ekonomi juga terjebak di kisaran lima persen," kata Ahmad.
Ahmad mengingatkan agar utang segera dikendalikan. Dia khawatir, jika peningkatan utang yang lebih kencang dari peningkatan perekonomian, bakal semakin menggerogoti stabilitas perekonomian ke depan.
Dia menyadari, sebagian utang yang ditarik pemerintah untuk membiayai infrastruktur. Dan, manfaatnya tidak bisa terlihat dalam jangka pendek.
Namun begitu, seharusnya pembangunan infrastruktur bisa meningkatkan optimisme pertumbuhan ekonomi.
"Kenyataannya, indeks tendensi bisnis maupun ekspektasi akselerasi pertumbuhan ekonomi dari dunia usaha tidak juga menunjukkan peningkatan signifikan," kritiknya.
Direktur Eksekutif Indef Eni Sri Hartati juga mengingatkan pemerintah agar lebih cermat menggunakan utang untuk pembangunan infrastruktur, khususnya diutamakan infrastruktur yang meningkatkan produktivitas. Menurutnya, memang saat ini pemerintah masih bisa membayar utang sehingga tidak bernasib sama seperti Angola dan Zimbabwe. Tetapi, bila tidak dikelola dengan baik bisa menjadi bom waktu.
"Ini yang jadi warning . Karena secara agregat (utang-red) bukan kegiatan produktif. Kita memang tidak menakuti seperti Zimbabwe, tapi kecenderungan kalau dibiarkan tidak produktif bisa jadi bom waktu," ujar Eni.
Peneliti Indef, Rizal Taufikurrahman menyebutkan, sebenarnya total utang negara Indonesia telah mencapai lebih dari Rp 7.000 triliun. Angka tersebut gabungan dari utang pemerintah dan swasta. Utang pemerintah tersebut ditujukan untuk membiayai defisit anggaran. Sementara utang swasta berasal dari korporasi swasta dan BUMN. ***
SUMBER