
NUSANEWS - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah buka suara terkait banyaknya nama-nama calon yang masuk dalam bursa di Pilpres 2019 mendatang.
Diinformasikan TribunWow.com, hal itu ia ungkapkan melalui akun Twitternya yang dicuitkan pada Minggu (10/6/2018).
Awalnya, Fahri Hamzah mengatakan jika setelah Mahathir Mohamad maju dan menang dalam Pemilu Malaysia, dirinya mendorong sejumlah nama senior untuk maju dalam Pilpres 2019 mendatang.
Nama-nama tersebut diantaranya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan mantan Presiden RI BJ Habibie.
Menurut Fahri Hamzah, nama-nama tersebutbisa bertambah dengan nama lain yang masih memenuhi syarat sah pemilihan presiden.
@Fahrihamzah: Terus terang, setekah Mahathir naik kembali, saya mendorong para senior untuk maju kembali; ibu mega, pak JK, bahkan Pak Habibie, dan yang masih memenuhi syarat sah-nya. Sebab syarat kapasitas dari mereka ada. #CalonBaru
Postingan itu kemudian ditanggapi oleh akun @fajarrahmat11_yang mengungkapkan jika semakin banyak calon maka akan semakin bagus.
Lantaran rakyat memiliki banyak pilihan.
@fajarrahmat11_: Semakin banyak calon semakin bagus karena rakyat punya banyak pilihan. Bukan begitu bang ?
Fahri Hamzah pun lantas memberikan balasan atas pernyataan tersebut, dengan menyinggung kebijakan presidential threshold.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyuruh DPR untuk membuat syarat 20 persen lantaran takut banyak lawan.
@Fahrihamzah: Tapi om joko suruh dpr bikin syarat 20% . Gak paham apa maunya…takut lawan kebanyakan nanti ngos2an..
![]() |
Postingan Fahri Hamzah (Capture/Twitter) |
Diberitakan sebelumnya, rapat paripurna secara aklamasi memutuskan penetapan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.
Keputusan tersebut berarti paratai politik dapat mengajukan calon presiden dan wakilnya apabila memperoleh 20 persen kursi di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2014 lalu.
Keputusan itu kemudian menuai polemik dan ketidaksetujuan dari berbagai pihak.
Termasuk dari sejumlah fraksi DPR yang memilih untuk walk out saat sidang.
Seperti yang dilakukan oleh Fraksi Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS.
Menurut Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, keputusan tersebut dianggap melanggar konstitusi.
“Bahwa ketentuan ambang batas yang menjadi salah satu isu utama dalam pembahasan Rancangan UU Pemilu dipandang sebagai bentuk pengingkaran putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh sebab itu kami, Fraksi Partai Demokrat, tak ingin jadi partai politik yang secara jelas dan nyata-nyata melanggar konstitusi.
Atas dasar pertimbangan tersebut, kami fraksi Partai Demokrat memutuskan untuk tidak ikut ambil bagian dan tidak ikut bertanggung jawab atas keputusan yang diambil melalui voting,” kata Benny, dikutip BBC, 21 Juli 2017.
Berbeda dengan hal tersebut, Fraksi PDIP Diah Pitaloka justru mengatakan apabila penetapan tersebut sesuai dengan konstitusi.
“Presiden itu didukung atau diusung oleh parpol atau gabungan partai politik, secara eksplisit disebutkan bahwa- diharapkan pembuat UUD – presiden merupakan suatu konstruksi jabatan politik dari hasil dari konsolodasi politik yang terorganisir dalam partai politik.
Itu yang kami asumsikan pasal itu yang mendukung adanya presidential threshold,” ucap Diah.
Di sisi lain, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengungkapkan jika presidential threshold seharusnya dibatalkan karena Pemilu 2019 dilakukan secara serentak.
“Menurut saya beralasan jika PT itu dari sisi konstitusi seharusnya ketentuan ini dibatalkan dengan adanya pemilu serentak,” kata Pakar Hukum Tata Negara Refly, Minggu (22/10/2017), dikutip Tribunnews.
Refly mengatakan jika dengan adanya Pemilu serentak maka sesungguhnya tidak ada lagi basis untuk membuat perhitungan Presidential Threshold tetapi kemudian ketika UU Nomor 7 Tahun 2017 kemudian masih menetapkan basis threshold pada pemilu 2014 yang menurutnya sangat tidak logis.
Tak hanya itu, Refly juga menuturkan jika keputusan ini bisa menjadi diskriminasi terhadap partai-partai baru.