
NUSANEWS - Banjir tenaga kerja asing asal China membuat pekerja lokal dan tokoh buruh geram. Pasalnya keberadaan mereka selain menimbulkan kecumburan dan mengancam kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal, juga diperlakukan sangat istimewa. Para TKA China tersebut menerima gaji sangat besar antara Rp15-40 juta/bulan.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, Mirah Sumirat mengatakan, memang benar ada tenaga kerja asing (TKA), khususnya dari China yang bergaji diatas UMP pekerja lokal. Para TKA China tersebut ada yang bergaji Rp15-40 juta/bulan untuk posisi bukan tenaga ahli (unskill) seperti supir, juru masak atau mandor, dan di tambang emas.
Menurutnya, TKA China yang bergaji fantastis tersebut tersebar di sejumlah kawasan industri atau pertambangan baik di pulau Jawa atau luar seperti Kalimantan atau Sulawesi.
"Berdasarkan catatan kami TKA unskill yang bergaji fantastis itu ada yang di Lebak-Banten, Sukabumi - Jabar, Balikpapan-Kaltim, Bali, Batam, Konawe, Ketapang dan Jawa Timur. Itu belum termasuk TKA yang tidak terdaftar seperti di Cilacap, Papua dan Pulo Gadung," ujar Mirah Sumirat kepada Harian Terbit, Senin (2/7/2018).
Mirah menilai, TKA China bergaji besar tersebut memang sudah standar dan aturan yang berlaku di negaranya. Apalagi dalam investasi yang ditanamkan ke Indonesia harus membawa modal, material, dan tenaga kerja dari China sehingga mengikuti aturan dari China termasuk dalam hal penggajian. Pihaknya tidak mempermasalahkan jika TKA bekerja di posisi yang berisiko tinggi atau di bagian mesin atau peralatan yang tidak bisa dikerjakan pekerja lokal.
Namun faktanya, TKA China tersebut menduduki posisi yang bisa dikerjakan pekerja lokal. Atas temuan tersebut, sambung Mirah, pihaknya sudah melaporkan ke pihak terkait Dirjen Pengawasan Tenaga Kerja Asing. Namun pihak terkait tersebut hanya berucap terima kasih karena telah diberikan informasi tanpa melakukan tindakan yang nyata. Harusnya permudah masyarakat lokal untuk bekerja di negara sendiri sebelum untuk orang asing.
"Sudah bergaji besar, TKA juga mendapat fasilitas lainnya dari pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja. Karena Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 16 Tahun 2015, kewajiban berbahasa Indonesia dihapus," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) Timbul Siregar mengatakan, kehadiran TKA di Indonesia adalah untuk jenis pekerjaan yang high skill bukan untuk pekerja kasar. Apalagi jika resiko yang didapatnya juga besar.
"Memang biasanya TKA yang punya high skill mendapat upah yang besar. Tapi kalau dibandingkan dengan pekerja kasar ya tidak tepat juga.
Kalau TKA itu melakukan pekerjaan kasar maka itu sudah menyalahi Pasal 42 dan 43 UU No.13 tahun 2003. TKA tersebut harus dideportasi," ujarnya.
Timbul menuturkan, jika ada pekerja lokal yang ahli dan memiliki pekerjaan dengan kewenangan dan tanggungjawab yang sama dengan TKA namun mendapat upah dibawah upah TKA maka perlakuan tersebut melanggar Pasal 6 UU No.13 tahun 2003. Karena pekerja lokal tersebut didiskriminasi oleh manajemen perusahaan yang memperkerjakannya.
Sedangkan terkait banyaknya informasi yang beredar TKA bekerja untuk posisi unskill tapi bergaji besar, Timbul meminta agar ada tindakan tegas untuk perusahaan tersebut. Timbul mengakui ada diskriminasi pekerja lokal dan TKA karena lemahnya pengawas ketenagakerjaan sehingga TKA unskill berkeliaran di Indonesia. "Saya menilai penegakan hukum yang rendah sehingga TKA unskill masih berkeliaran," paparnya.
Tambang Rakyat
Sebelumnya Jajaran Kantor Imigrasi Kelas II Tembagapura, Timika Papua, menangkap TKA Ilegal asal China di tambang emas rakyat di Kabupaten Nabire, Papua. Dari hasil interogasi dan investigasi yang dilakukan terhadap TKA tersebut, mereka mengungkap temuan mencengangkan menyangkut gaji.
Kepala Kantor Imigrasi Tembagapura Jesaja Samuel Enock seperti dilansir CNN Indonesia menyatakan bahwa berdasarkan keterangan yang didapat dari para TKA tersebut, gaji mereka rata-rata 7.000-8.000 yuan China atau setara Rp14 juta-Rp15 juta.
Bahkan, ada juga TKA yang mengaku bergaji Rp40 juta per bulan. TKA tersebut bekerja di tambang emas rakyat di Kampung Bifasik, Kampung Lagari, dan sepanjang aliran Sungai Musaigo, Distrik Makime, Kabupaten Nabire.
Empat lokasi tambang emas rakyat itu dieksploitasi oleh sebuah perusahaan bernama Pacific Maning Jaya yang berkedudukan di Nabire.
Tiga Kali Lipat
Ombudsman RI merilis temuan bahwa para tenaga kerja asing (TKA) dibayar dengan gaji tiga kali lipat daripada gaji tenaga kerja lokal. Ombudsman pun meminta Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) agar ke depannya lebih memperketat syarat masuknya TKA ke Indonesia.
"Informasi di lapangan tenaga lokal hanya digaji sepertiga dari gaji TKA," ujar anggota Ombudsman RI Bidang Pengawasan Sumber Daya Alam, Tenaga Kerja, dan Kepegawaian, Laode Ida, di gedung Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (26/4).
Beberapa saran yang disampaikannya kepada Kemenaker adalah agar dibuat sistem teknologi informasi mengenai integrasi data penempatan dan pengawasan TKA. Kemenaker juga memastikan lokasi kerja TKA dalam izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA) sesuai dengan fakta lokasi kerja sebenarnya dan memberikan sanksi terhadap perusahaan pemberi pekerjaan kepada TKA, yang melanggar aturan.
"Harus ada pelatihan alih teknologi dari TKA ke tenaga kerja lokal sehingga tenaga lokal sudah terampil maka TKA dipulangkan ke negara asal," tuturnya.
Ia menambahkan, harus ada transparansi dalam membayar upah TKA melalui bank nasional . Pasalnya, derasnya arus TKA ke Tanah Air menyebabkan kerugian negara. Hal itu disebabkan upah para pekerja asing langsung dibayarkan ke negara asal.
"Pembayaran gaji mereka langsung dibayarkan ke negara asal oleh perusahaan perekrut," katanya.
Ombudsman memetakan adanya 10 daerah yang menjadi wilayah dengan jumlah TKA terbanyak di Indonesia. Sepuluh daerah tersebut adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Papua Barat.