logo
×

Senin, 27 Agustus 2018

Pembengkakan Utang dan ‘Bom Pencitraan’ Diakhir Pemerintahan

Pembengkakan Utang dan ‘Bom Pencitraan’ Diakhir Pemerintahan

NUSANEWS - Kementerian Keuangan telah merilis Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2019. Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, perencanaan anggaran itu disusun dengan memperhatikan kondisi terkini serta prospek perekonomian global maupun domestik.

Pada lingkungan ekonomi global urainya, pergerakan ekonomi mengalami perubahan yang sangat dinamis. Diantaranya beberapa faktor penyebab adalah kebijakan perang dagang, normalisasi moneter Amerika Serikat, serta resiko geopolitik. Hal ini diperkirakan masih akan menjadi tantangan perekonomian Indonesia di tahun 2019. Sementara dari sisi domestik, diakui oleh Sri Mulyani bahwa yang menjadi tantangan bagi Pemerintah, Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan adalah mengendalikan nilai tukar rupiah.

“Pemerintah bersama BI akan terus memperkuat kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro, dengan menjaga inflasi tetap rendah dan nilai tukar yang terkendali, serta mendorong pertumbuhan ekonomi baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang,” kata Srimulyani.

Oleh karenanya, dengan segala tantangan yang ada, Kementerian Keuangan menetapkan asumsi dasar ekonomi makro dalam RAPBN 2019 yakni target Pertumbuhan ekonomi 5,3 persen; Inflasi 3,5 persen; dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan berada pada Rp14.400 per dolar Amerika Serikat.

Kemudian untuk tingkat suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,3 persen, Indonesia Crude Price (ICP) diperkirakan rata-rata mencapai USD70 per barel, Lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 750 ribu barel per hari dan 1250 ribu barel setara minyak per hari.

#Pokok-pokok Kebijakan RAPBN Tahun 2019 dan Penambahan Utang

Belanja negara tahun 2019 direncanakan sebesar Rp2.439,7 triliun, yang meliputi Belanja Pemerintah Pusat Rp1.607,3 Triliun dan Transfer ke Daerah serta Dana Desa Rp832,3 Triliun. Dijelaskan bahwa untuk belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.607,3 triliun akan diarahkan untuk mendorong peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), penguatan program perlindungan sosial, percepatan pembangunan infrastruktur serta reformasi birokrasi.

Untuk Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dikatakan akan difokuskan pada investasi dibidang pendidikan berupa Program Indonesia Pintar dengan 20,1 juta siswa penerima KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kemudian terdapat juga program penguatan pendidikan vokasi, Program beasiswa bidik misi dengan 471,8 ribu mahasiswa penerima, serta program beasiswa melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.

Sementara terkait penguatan program perlindungan sosial, akan dikucurkan melalui Jaminan Kesehatan bagi 96,8 juta jiwa (PBI JKN); pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM), Bansos pangan (15,6 juta KPM), serta Kredit pembiayaan ultra mikro (1,4 juta debitur (akumulasi).

Berikutnya terkait percepatan pembangunan infrastruktur, pada tahun 2019 Pemerintah menegaskan akan melanjutkan target pembangunan di berbagai daerah berupa jalan nasional baru, jalan tol, bendungan, serta jaringan irigasi antara lainnya: Pembangunan/rekonstruksi/pelebaran jalan 2.007 km, irigasi 162 ribu Ha, pembangunan 7.512 unit rumah susun, 4 bandar udara baru, dan 415,2 km’sp. Target tentunya selain melalui belanja kementerian negara/lembaga, dipenuhi pendanaan juga melalui KPBU dan PMN.

Sementara itu, untuk reformasi birokrasi dilakukan melaui peningkatan sarana dan prasarana layanan. Tak kalah penting menurut pemerintah, perlu menjaga tingkat kesejahteraan aparatur negara melalui pemberian gaji 13 dan THR untuk aparatur dan pensiunan, kenaikan gaji pokok dan pensiun pokok rata-rata sebesar 5 persen, dan kenaikan tunjangan veteran sebesar 25 persen.

Jika diperhatikan rencana belanja negara pada tahun 2019 Rp2.439 Triliun sedangkan perkiraan pendapatan negara hanya Rp 2.142 Triliun yang terdiri dari Pajak Rp1.781 Triliun dan bukan pajak Rp.361 Triliun, maka akan terjadi defisit anggaran Rp.297 Triliun.

“Berdasarkan perkiraan pendapatan negara, rencana belanja negara, dan investasi, penerimaan pembiayaan ditargetkan mencapai Rp374,3 triliun utamanya bersumber dari utang. Defisit anggaran pada RAPBN tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp.297,2 triliun (1,84 persen PDB),” pungkas Sri Mulyani.

Evaluasi RAPBN 2019 Oleh FITRA

Benarkah pemerintah telah bekerja maksimal dan mengambil kebijakan yang tepat serta melakukan belanja yang efektif untuk pembangunan nasional. Karenanya, dirasa perlu untuk mengevaluasi sekaligus menganalisa perencanaan fiskal yang telah dirancang oleh pemerintah melalui RAPBN 2019.

Terlebih kata Deputi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, dalam suasana ketidakpastian global akibat perang dagang, pemerintah harus membelanjakan anggaran secara efektif dan produktif. Apalagi mengingat situasi nasional pada 2019 sebagai tahun politik, hal ini kerap terjadi penyalahgunaan kebijakan dan anggaran sehinggga dikhawatirkan kajian RAPBN tidak sesuai dengan tantangan ekonomi nasional.

Ditinjau dari aspek penerimaan negara, harus diakui kontribusi Pajak terhadap Pendapatan Negara dan Hibah pada era Kabinet Kerja rata-rata mencapai 82 persen, jauh melampaui penerimaan pajak pada era Kabinet Indonesia Bersatu I (KIB I) yang rata-rata hanya mencapai 69 persen dan KIB II mencapai 74 persen.

Pada RAPBN 2019, Pedapatan Negara dan Hibah diproyeksi mencapai Rp 2.142 Triliun, dimana 83 persennya disumbang dari sektor perpajakan. Menurut Misbah, tingginya penerimaan pajak tersebut tidak terlepas dari program tax amnesty dan tax holiday dari Pemerintahan saat ini.

Namun sayangnya ujar Misbah, Tax Amnesty belum mampu menyasar tujuan sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, antara lain mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta yang akan berdampak pada memperkuat nilai tukar rupiah. Namun faktanya, kendati penerimaan meningkat dari Tax Amnesty, realisasinya nilai tukar rupiah semakin melemah.

Tak hanya itu, Tax Amnesty juga dinilai belum mampu secara maksimal meningkatkan partisipasi Wajib Pajak. Diketahui total peserta tax amnesty sebanyak 965.983 Wajib Pajak (WP) atau hanya 2,95 persen dari WP terdaftar di tahun 2016. Artinya secara jangka pendek, Tax Amnesty masih belum mampu menjadi solusi penerimaan negara namun secara jangka panjang melalui deklarasi harta kekayaan senilai Rp 4.800 Triliun dapat menjadi modal awal yang baik.

“Pemerintah harus konsisten dengan tujuan awal diberlakukannya Tax Amnesty, jangan hanya puas dengan penerimaan pajak dalam negeri,” tutur Misbah.

Selanjunya untuk Belanja Pegawai, pada RAPBN tahun 2019 ditetapkan mencapai Rp 368,6 Triliun atau naik sekitar Rp 26,1 Triliun dibanding tahun 2018. Secara rata-rata, Belanja Pegawai di era Kabinet Kerja mencapai 24 persen dari Total APBN. Meski Jokowi baru dua kali menaikkan Gaji Pegawai selama periode pemerintahannya, persentase Belanja Pegawai-nya jauh di atas era Kabinet Indonesia Bersatu I (KIB I) dan KIB II yang rata-rata mencapai 17 persen dan 20 persen.

“Kenaikan Gaji Pegawai pada akhir periode terkesan sebagai upaya pencitraan di tahun politik. Perlu evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Reformasi Birokrasi di Indonesia,” pinta Misbah

Berikutnya, diketahui kebijakan pemerintahan Jokowi-JK melakukan pemangkasan subsidi untuk melonggarkan fiskal. Rata-rata Belanja Subsidi di era Jokowi hanya 15 persen dari Belanja Negara. Penggunaan anggaran penghematan subsidi pada awalnya memang untuk pelayanan dasar, tetapi belakangan, menurut Misbah penggunaan anggaran dari pengalihan subsidi mulai tidak jelas.

Pada Tahun 2015 pemerintah mendapat tambahan dana Rp.186 Triiun dari Pengalihan dana subisidi BBM. Alokasi pengalihan dana digunakan untuk mendukung program-program pemerintah seperti pembangunan infrastruktur dan ketahanan pangan. Pengalihan dana subsidi terbesar dialokasikan untuk anggaran proyek infrastruktur (Rp 33,2 triliun) dan sektor pertanian (Rp 16,9 triliun). Namun belakangan peruntukan dari pengalihan subsidi tersebut tidak memiliki kejelasan lagi.

“Pemerintah saat ini harus terbuka terkait penggunaan anggaran penghematan subsidi yang mulai 2016 sudah tidak jelas,” kata dia.

Kemudian yang memprihatinkan bagi FITRA, kendati pemerintah sudah banyak memangkas subsidi,namun kondisi keuangan semakin bergantung pada utang. Pada tahun 2019 diperkirakan pembiyaan negara yang bersumber dari utang sebesar 15 persen dari total Belanja Negara. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Belanja untuk Fungsi Pendidikan yang rata-rata hanya 11 persen dan Kesehatan yang hanya 4 persen dalam 5 tahun terakhir.

“Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui Utang Luar Negeri,” pungkas dia.

‘Bom Bantuan Sosial’ Untuk Kepentingan Politik

Kekhawatiran FITRA akan penyimpangan kebijakan dan anggaran di tahun politik dapat terindikasi dari adanya pernyataan Menteri Sosial, Idrus Marham yang meminta masyarakat penerima manfaat Bantuan Sosial (Bansos) agar memilih Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2019, lantaran anggaran Bansos meningkat menjadi Rp.34,4 Triliun dari tahun 2018 yang hanya Rp.17 Triliun.

Namun belum bisa disimpulkan apakah kenaikan anggaran Bansos mencapai 100 persen itu berpengaruh pada ketimpangan belanja dalam APBN ataukah berdampak positif bagi petumbuhan ekonomi, yang pasti pos anggaran Bansos memungkinkan ditunggangi untuk kepentingan politik pihak penguasa. Atau istilahnya sambil berenang minum air, sambil menjalankan program juga digunakan sebagai alat kampanye untuk melambungkan citra Jokowi.

Menaggapi hal ini, pada dasarnya Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, Arief Poyuono, mengapresiasi kenaikan anggaran Bansos untuk mensejahterakan masyarakat. Tetapi yang perlu diperhatikan ujar Arief, kenaikan anggaran Bansos itu bukan semata inisiatif dari pemerintah namun juga hasil kerja politik bersama DPR. Sehingga tidak bisa diklaim bahwa itu hanya keberhasilan eksekutif semata.

Kemudian lanjut Arief, dalam peyaluran Bansos terdapat embel-embel kampanye menyeru untuk memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada pemilu mendatang, itu artinya sebagai bentuk tindakan suap dan penyalahgunaan anggaran Bansos

“Artinya masyarakat harus tahu akan adanya upaya penyelewengan dana Bansos 2019 yang akan digunakan untuk kepentingan Pemilu 2019. KPK harus bisa mengawasi dengan ketat pengunaan dana Bansos 2019 untuk kepentingan kampanye pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin,” tutur Arief.

Hal senada juga disampaikan politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, dia menyayangkan niat pemerintah menaikan anggaran Bansos hingga 100 persen hanya untuk kepentingan kanpanye politik. Menurut Ferdinand, tindakan itu sebagai wujud pelanggaran hukum dan kecurangan dalam pemilu.

“Tahap kampanye saja belum, tapi Menteri dan pejabat negara sudah kampanye pilih Jokowi, bahkan memperalat Bantuan Sosial. Netralitas yang hilang dalam demokrasi ini sangat berbahaya,” pungkas dia.

Ketika Aktual.com mengkonfirmasi kepada Kepala Bagian Publikasi dan Pemberitaan, Biro Humas Kementerian Sosial, Salahuddin Yahya prihal pernyataan Menteri Idrus Marham yang dimuat di beberapa media sosial terkait ajakan memilih Jokowi bagi penerima manfaat Bansos, sayangnya Salahuddin Yahya tidak bersedia memberi komentar banyak, hal ini atas pertimbangan etis lantaran Idrus Marham belakangan telah mengundurkan diri dari jabatannya selaku Mensos akibat kasus hukum suap PLTU Riau-1 yang menyeret namanya.

“Beliau sudah mudur dari Mensos,” kata Salahuddin.

Pada sektor Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) juga mengggunakan motif yang sama dengan mengiming-ngimingkan masyrakat akan kenaikan anggaran supaya tetap memilih Jokowi pada Pemilu mendatang.

Mendes, Eko Putro Sandjojo mengatakan, dalam RAPBN Tahun 2019 pemerintah menaikkan anggaran hingga Rp73 Triliun, atau naik Rp13 Triliun dibanding tahun 2018 yang hanya Rp60 Triliun. Karenanya kata Eko, jika Jokowi terpilih lagi menjadi Presiden, pemerintah akan menaikkan lagi anggaran Dana Desa.

“Kalau Presidennya Pak Jokowi pasti akan dinaikkan lagi (Dana Desa). Bukan politik, tapi beliau memang semangatnya mau membangun desa,” tutur Eko di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (24/8).

Melihat motif yang ada, Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi mengaku telah melihat potensi akan penyalahgunaan aggaran di akhir masa kekuasaan. Secara umum jelas Uchok, bisa dilihat dari struktur RAPBN 2019 terjadi pembengkakan pada pos belanja yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat.

Oleh sebab itu, CBA menyerukan kepada unsur terkait, utamanya pihak penyelenggara Pemilu untuk melakukan pengawasan yang ketat akan kecurangan pemilu dengan menjadikan APBN sebagai alat politik untuk mendulang suara pihak tertentu.

“Tidak boleh kampanye dengan menggunakan dana negara. Atau hukumnya haram ketika dana negara digunakan untuk menyuap rakyat agar dapat mendulang suara. Dari struktur RAPBN 2019 memang harus diwaspadai adanya kenaikan dana Sosial. Ini sangat kelihatan, naiknya di tahun politik, sedangkan dari tahun 2015 hingga 2018 alokasi dana sosial sangat minim sekali bahkan cenderung mau dihilangkan, indikasinya subsidi BBM dan Listrik dikurangi,” Pungkas Uchok.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: