
Tahun politik sudah di depan mata. Tak heran jika para politisi mulai melakukan aksinya. Bagi para politisi, pencitraan menjadi sesuatu yang wajib dilakukan. Mengingat dalam sistem demokrasi poling suara menjadi penentu kemenangan.
Saat ini kita hidup di era teknologi digital. Perkembangannya sangat pesat dan sudah memasuki seluruh aspek kehidupan. Tak heran jika para politisi juga mulai melirik media sosial untuk ajang pencitran.
Mulai dari mengunggah foto blusukan hingga yang teranyar, pecintraan ala Wiranto yang menjadi kuli panggul yang nampak kucel dan letih karena mengangkut barang-barang dari pasar Klewer Solo (news.moslemcommunity.net, 1/8/2018).
Dengan melakukan pencitraan melalui media sosial mereka menargetkan para pemilih baru, yang memiliki semangat berapi-api untuk ikut ambil bagian pemilihan. Mereka yang masih berusia belasan sampai 20an lebih dekat dengan media sosial dan mudah terbawa dengan suasana yang mereka lihat. Bagi mereka pemimpin yang aktif dimedia sosial adalah pemimpin yang mewakili karakteristik mereka.
Meskipun baper dengan aksi yang mereka tontonkan, kita harus jeli dan menjadi pemilih cerdas. Karena setiap apa yang kita pili kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Ada pepatah mengatakan, hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama. Pencitraan sudah menjadi lagu lama yang diulang-ulang dengan cara yang berbeda. Harus berapa kali lagi kita tertipu dengan pencitraan tokoh politik.
Janji-janji manis yang terlontar dalam visi dan misa hanya sebuah isapan jempol. Tak pernah ada realisasi. Hanya kepentingan dan ambisi memenuhi permintaan para kapital yang telah memberi modal. Karena biaya yang digunakan untuk biaya kampanye tidak murah.
Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang telah terbukti mebawa kemaslahatan dan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah.
Kunthi Mandasari
(Member Akademi Menulis Kreatif Regional Jawa Timur)
SUMBER