logo
×

Kamis, 20 September 2018

Ini Sosok dan Biografi Ustadz Yahya Waloni, Mantan Pendeta dan Rektor UKI, Mualaf Tahun 2006

Ini Sosok dan Biografi Ustadz Yahya Waloni, Mantan Pendeta dan Rektor UKI, Mualaf Tahun 2006

NUSANEWS - Nama Ustadz Yahya Waloni mendadak terkenal lantaran ceramahnya yang terang-terangan menyerang KH Ma’ruf Amin dan Muhammad Zainul Mahdi alias Tua Guru Bajang (TBG).

Dalam ceramahnya, dia mempelesetkan TGB menjadi ‘Tuan Guru Bajingan’ dan menyebut Kiai Ma’ruf sudah terlampau uzur dan akan mati.

Dalam video yang beredar, Yahya Waloni mengaku adalah seorang mantan pendeta dan mengklaim pernah menjabat Rektor UKI Papua.

Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli, Komarudin Sofa.

Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad Yahya dan nama istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah.

Begitupun ketiga anaknya. Putri tertuanya Silvana diganti dengan nama Nur Hidayah, Sarah menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria tetap menggunakan nama itu.

Seperti dikutip dari laman Izzatalislam, Yahya Waloni pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004.

Saat itu juga ia sebagai pendeta dengan status sebagai pelayan umum dan terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di Tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana.

Ia menetap di Sorong sejak tahun 1997 dan pindah ke Balikpapan pada tahun 2004 dan menjadi dosen di Universitas Balikpapan (Uniba) sampai tahun 2006.

Yahya menginjakkan kaki di kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006.

Hari pertama Yahya pindah di Jalan Bangau itu, orang-orang berdatangan sambil membawa sumbangan. Ada yang menyumbang belanga, kompor, kasur, televisi, Alquran, gorden, dan kursi.

Mereka bersimpati karena Yahya Waloni sekeluarga saat pindah dari tempat tinggal pertamanya hanya pakaian di badan.

Rumah yang mereka tempati sebelumnya di Tanah Abang, Kelurahan Panasakan adalah fasilitas yang diperoleh atas bantuan gereja.

Sehingga, barang yang bukan miliknya ia tanggalkan semuanya.

Penataan interior rumah kos Yahya tampak apik. Di dinding ruang tamu tampak terpampang kaligrafi Ayat Kursi yang dibingkai dengan warna keemasan.

Di sisi lain, kaligrafi Allah-Muhammad juga terpampang. Di meja ruang tamu terdapat dua buah Alquran lengkap terjemahannya.

Di tengah meja itu, juga masih ada tiga toples kue lebaran.

“Rumah ini saya kontrak sementara. Saya sudah bayar Rp2,5 juta,” rinci Yahya Waloni.

Pria kelahiran Manado tahun 1970 ini mengaku sudah bisa melafalkan beberapa ayat setelah beberapa kali diajarkan mengaji oleh Komarudin Sofa.

Selain Komarudin, selama ini ia juga mendapat bimbingan dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani.

“Hanya lima menit saya diajarkan, saya langsung paham. Surat Fatihah saya sudah hafal,” ujar Yahya.

Bertemu dengan Penjual Ikan Misterius

Yahya lahir dan dibesarkan di keluarga terdidik dan disiplin. Ayahnya seorang pensiunan tentara.

Ia pernah menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten baru di Sulawesi Utara.

Sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, Yahya saat bujang termasuk salah seorang generasi yang nakal.

“Saya tidak perlu cerita masa lalu saya. Yang pasti saya juga dulu pernah nakal,” tukasnya.

Lantaran kenakalannya itulah, mungkin, beberapa bagian badannya terdapat bekas tato.

Di lengannya terdapat bekas luka setrika untuk menghilangkan tatonya.

“Ini dulu bekas tato. Tapi semua sudah saya setrika,” katanya sambil menunjuk bekas-bekas tatonya itu.

Sebelum masuk Islam, beberapa hari sebelumnya Yahya mengaku sempat bertemu dengan seorang penjual ikan misterius di rumah lamanya, kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli.

Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut. Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si penjual ikan itu, tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.

“Kepada saya, si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik sekali dengan saya,” cerita Yahya.

Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, Yahya mengaku berdialog panjang soal Islam.

Tapi Yahya mengaku aneh, karena si penjual ikan yang mengaku tidak lulus Sekolah Dasar (SD) tetapi begitu mahir dalam menceritakan soal Islam.

Pertemuan ketiga kalinya, lanjut Yahya, si penjual ikan itu sudah tampak lelah.

“Karena saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa saja. Tapi si penjual ikan itu tetap ngotot tidak mau buka puasanya,” cerita Yahya.

Sampai saat ini Yahya mengaku tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari Dusun Doyan, Desa Sandana, salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli.

Meski sudah beberapa orang yang mencarinya hingga ke Doyan, dengan ciri-ciri yang dijelaskan Yahya, tapi si penjual ikan itu tetap tidak ditemukan.

Konflik dengan Keluarga Hingga Dianggap Gila

Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing.

Istrinya, Lusiana tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya.

“Malah saya dianggap sudah gila,” katanya.

Tidak lama setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita.

Saat itu, antara sadar dengan tidak, Yahya mengaku mimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi.

Sementara Yahya di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu.

“Saya dialog dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,” ujar Yahya mengisahkan.

Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya.

Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke dalam.

Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas.

“Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,” cerita Yahya.

Sekitar dua jam dari peristiwa itu, di sebelah kamar, dia mendengar suara tangisan. Orang itu menangis terus seperti layaknya anak kecil.

Yahya yang masih dalam kondisi panas-dingin, menghampiri suara tangisan itu. Ternyata, yang menangis itu adalah istrinya, Lusiana.

“Saya kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa menangis. Dia tidak menjawab, malah langsung memeluk saya,” tutur Yahya.

Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia menangis karena mimpi yang diceritakan kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan Mutmainnah.

“Tadinya saya sudah hampir cerai dengan istri, karena dia tetap bertahan pada agama yang ia anut. Tapi karena mimpi itulah, malah akhirnya istri saya yang mengajak,” tandasnya.

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: