logo
×

Senin, 17 September 2018

Kisruh Tanah Rorotan: Bermula di Ahok, Panas di Era Anies

Kisruh Tanah Rorotan: Bermula di Ahok, Panas di Era Anies

NUSANEWS - Buldoser sibuk mengeruk lumpur di sekitar kawasan Waduk Rawa Rorotan, Cakung, Jakarta Timur. Kerukan lumpur menggunung tak jauh dari permukiman. Sebagian warga hanya bisa menyaksikan aktivitas alat berat tersebut.

Tanah kering merekah terbentang di pinggiran waduk yang airnya kehijauan. Batang-batang pohon baru ditanam di taman setengah jadi. Sebuah papan bertuliskan larangan bermain di danau, tak lagi berdiri tegak.

Di lokasi yang sama, beberapa buruh masih mengerjakan pembangunan trotoar dan jalan di sekitar proyek waduk yang belum selesai. Sementara para petugas keamanan mengawasi lingkungan dari balik pos satpam.

Waduk Rawa Rorotan berada di jantung kawasan Jakarta Garden City (JGC), kompleks hunian yang dikembangkan PT Modernland Realty Tbk. Lokasinya hanya berjarak 30 meter dari permukiman warga di luar kompleks.

Di balik proyek pembangunan waduk, ada sengketa yang masih gelap hingga sekarang. Pemerintah dan warga saling klaim memiliki lahan di kawasan Waduk Rawa Rorotan.

Sejumlah warga melayangkan gugatan hukum hingga ke pengadilan. Sebagian lainnya menggalang kekuatan politik di lembaga legislatif.

Belakangan, Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Sub Direktorat II Harta Benda Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Teguh diduga melakukan perusakan atau memasuki pekarangan tanpa izin berdasarkan pasal 170 KUHP, di kawasan yang kini menjadi Waduk Rawa Rorotan seluas 25 hektare.

Penetapan tersebut dilakukan setelah gelar perkara pada 20 Agustus 2018. Meski demikian, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Nico Afinta menyatakan penyelidikan kasus yang menjerat Teguh belum selesai.

Nico enggan membeberkan kasus tersebut. Menurutnya, penjelasan sengketa di Rawa Rorotan akan terang setelah Teguh diperiksa penyidik pada 12 September lalu, meskipun kemudian batal.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono pun enggan menjelaskan perkara itu. Namun menurutnya, penyidik telah mengantongi bukti permulaan yang cukup untuk menjerat Teguh sebagai tersangka.

Bukti tersebut, kata Argo, berupa keterangan saksi, ahli, dan petunjuk. Dia tak tahu apakah Teguh sudah diperiksa pihak kepolisian.

"Saya belum dapat informasi lengkap dari penyidik. Kalau diperiksa, itu haknya penyidik," kata Argo saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jumat (14/9).

Teguh sebelumnya pernah dipanggil Polda untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada 27 Agustus lalu. Agenda tersebut ditunda karena yang bersangkutan sibuk dengan pekerjaannya.

Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan. (CNN Indonesia/Mesha Mediani)

Anak buah Gubernur Anies Baswedan ini heran dengan penetapan status tersebut. Teguh merasa tindakannya benar karena sesuai tugasnya sebagai kepala dinas, yaitu mengamankan aset pemerintah daerah.

Kepala Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta Achmad Firdaus pun menegaskan lahan di Waduk Rawa Rorotan merupakan aset Pemprov DKI dan sudah tercatat dalam Kartu Inventaris Barang BPAD.

"Iya, itu terdaftar di asetnya Dinas Sumber Daya Air," kata Firdaus akhir Agustus lalu.

Namun dia mengakui pemerintah belum memiliki sertifikat atas aset tersebut. Meski demikian, Firdaus mengatakan Dinas SDA selaku pemilik berkewajiban mengamankan aset dan berhak menggunakan lahan itu.

Adalah Felix Tirtawidjaja, pihak yang melaporkan Teguh ke Polda Metro Jaya hingga berujung penetapan status tersangka. Dia mengklaim lahannya telah diserobot Dinas SDA DKI Jakarta di bawah pimpinan Teguh.

Bukan hanya Felix yang mengklaim kepemilikan lahan di rawa yang kini telah 'disulap' jadi sebuah waduk. Banyak orang lainnya juga mengaku berhak atas lahan tersebut.

Salah satu warga menunjukkan bukti yang menjadi pegangan untuk menuntut hak mereka. (CNN Indonesia/Dhio Faiz)

Ramai-ramai Klaim Tanah 

Teguh menjelaskan tanah di Rawa Rorotan pada awalnya masuk wilayah Bekasi, Jawa Barat. Situasi berubah setelah ada pemekaran wilayah Provinsi DKI Jakarta medio 1970-an.

Pada 1975, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan hak milik kepada warga setempat, yaitu Mana bin Main dan 241 orang, atas bidang tanah yang dikuasai negara. Namun mereka diwajibkan membayar uang pemasukan negara kepada bendahara Sub Direktorat Agraria Kabupaten Bekasi.

Lewat batas waktu yang ditentukan yakni satu tahun, Mana bin Main dan ratusan petani penggarap ternyata tak juga memenuhi kewajiban itu. Tanah tersebut akhirnya menjadi milik negara.

Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 353 Tahun 1977 menyatakan semua bukti tanda garapan tanah negara di wilayah Jakarta tak berlaku lagi.

Mana bin Main telah meninggal dunia. Namun Saumuh, keponakan Mana, tak bisa terima begitu saja. Kepada CNNIndonesia.com, dia menunjukkan beberapa lembar berkas sebagai bukti tanda garapan tanah negara di Rawa Rorotan.

Keruh Sengketa Lahan Rorotan di Balik Kasus Anak Buah AniesDokumen milik warga Rawa Rorotan, Cakung, Jakarta Timur terkait sengketa tanah. (CNN Indonesia/Dhio Faiz)

Salah satunya kopian surat hasil verifikasi tanah garapan seluas 24,8 hektare. Dalam surat itu, 124 nama tercatat dengan tulisan tangan sebagai penggarap lahan. Surat garapan itu ditandatangani pada 12 Agustus 1977 oleh petugas verifikasi dan Lurah Cakung serta dibubuhi stempel kelurahan.

Menurut Saumuh, surat verifikasi yang telah lusuh itu jadi bukti untuk menuntut gant rugi sesuai hak garapan lahan yang kini diklaim sebagai aset Pemprov DKI Jakarta.

"Jadi jumlah tanah garapan ini ada datanya. Kalau dia [Pemprov DKI] bilang tanah garapan enggak ada suratnya, itu bohong. Cuma di samping itu juga, ada girik garapan, girik merah. Di atasnya distempel tanah pemerintah, tapi yang mengurus masyarakat," kata Saumuh di Cakung, Jakarta Timur, Kamis (30/8).

Mana bin Main diklaim sebagai pimpinan petani penggarap yang biasa mengurus legalitas lahan. Menurut Saumuh, saat itu warga enggan membayar kepada negara karena kondisi lahan masih berupa rawa.

Pada 23 Mei 1983, terbit Keputusan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan status tanah di Rawa Rorotan kembali dikuasai negara. Keputusan tersebut menimbang bahwa Mana bin Main dan kawan-kawan tak bisa memenuhi syarat pemberian hak milik.

Ada lagi, Sutiman. Pria yang kini tinggal di Cakung Barat itu mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 60 hektare lahan di area Waduk Rawa Rorotan. Dia mengaku sebagai ahli waris Ayub, ayahnya.

Sutiman menunjukkan kepada CNNIndonesia.com beberapa bundel surat kepemilikan lahan Ayub di Rawa itu. Salah satunya, surat tertanggal 9 September 1994, Badan Pertanahan Nasional telah mengukur 58 hektare tanah milik Ayub dengan biaya Rp127,6 juta.

"Saya punya datanya semua inventarisasi, tadinya 119 hektare dari SK Jawa Barat oper alih ke DKI Jakarta tahun 1975-1976. Di SK tersebut enggak berlaku lagi, tapi bisa diperbarui. Saya pernah ngajuin juga ke BPN Jakarta Timur, dibilang dipersilakan membuat sertifikat," ucap Sutiman.

Seorang warga Rawa Rorotan, Cakung, mengklaim berhak atas ganti rugi tanah yang dijadikan waduk. (CNN Indonesia/Dhio Faiz)

Sama seperti Saumuh cs, Sutiman tidak memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas lahan yang ia klaim. Namun Sutiman menyebut Saumuh sebagai mantan anak buah ayahnya. "Mafia semua itu. Saya berani terang-terangan," kata Sutiman. 

Sutiman juga bercerita, Bakti Tedja Surya yang pernah memimpin PT Taman Gapura Indah Jaya, sempat berniat memborong tanah Ayub seluas 85 hektare pada 1980-an. Namun rencana itu gagal. 

Ayub merasa tak sanggup mengelola puluhan hektare lahan sendirian. Dia kemudian bekerja sama dengan Bakti mengelola lahan. 

Namun setelah Ayub meninggal pada 1998, status lahan mulai jadi rebutan. Sutiman menyebut Bakti terus berupaya mengambil alih lahan. 

"Dia minggu-minggu ini minta ketemu, tadi telepon, 'Man kamu harus ketemu saya, jangan sampai kamu jadi tersangka.' Ancam lapor polisi. Saya tersangka karena apa? Orang yang nyerobot tanah saya, saya yang mau dijadiin tersangka," ucapnya. 

Bakti belum memberi klarifikasi terkait pernyataan Sutiman. CNNIndonesia.com berusaha menelepon dan mengirim pesan kepada Bakti, namun tak mendapat jawaban. 

Perebutan hak atas tanah di Rawa Rorotan bukan hanya melibatkan Sutiman, Saumuh dan pemerintah. Felix Tirtawidjaja juga mengklaim memiliki lahan di kawasan tersebut. 

Felix pernah membeli sebagian lahan dari Ayub, ayah Sutiman. Lahan itu sekarang telah menjadi waduk aset Pemprov DKI Jakarta. Kini, Felix sedang beperkara dengan Teguh, Kadis SDA DKI Jakarta. 

Berdasarkan penelusuran, Felix merupakan Direktur Utama PT Taman Gapura Indah Jaya. Hingga saat ini yang bersangkutan belum bisa dikonfirmasi terkait kasus ini. 

CNNIndonesia.com juga berusaha menelusuri alamat PT Taman Gapura Indah Jaya di Jalan Hasyim Ashari, Jakarta Pusat. Namun tak ada tanda-tanda kantor Taman Gapura, melainkan Rumah Makan Masakan Padang. 

Suasana pengerjaan proyek Waduk Rawa Rorotan di dekat permukiman warga. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: