logo
×

Selasa, 25 September 2018

Seperti Ini Potret Ekonomi Indonesia di Bawah Jokowi

Seperti Ini Potret Ekonomi Indonesia di Bawah Jokowi

NUSANEWS - Masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2019 sudah dimulai. Kedua kubu yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sudah merilis visi dan misi yang akan dieksekusi jika diberi mandate nantinya oleh masyarakat untuk memimpin Indonesia pada periode 2019-2024.

Salah satu visi dan misi dari kubu petahana adalah menciptakan struktur ekonomi yang positif, mandiri, dan berdaya saing.

Berikut penjabaran dari kubu Jokowi terkait visi dan misi yang dimaksud

"Percepatan pembangunan infrastruktur dan reformasi struktural telah membuka jalan bagi terbangunnya fondasi struktur perekonomian yang lebih kuat dan berdaya saing. Dengan fondasi tersebut, pada periode kedua pemerintahan, kita akan teruskan dengan upaya membuat perekonomian menjadi lebih kokoh, produktif, mandiri, dan berdaya saing sehingga mampu membuka lebih banyak lagi lapangan kerja, menekan tingkat pengangguran terbuka, menurunkan tingkat kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Untuk itu, ada enam program aksi yang ditawarkan."

Lantas, bagaimana sesungguhnya struktur ekonomi Indonesia selama dipimpin Jokowi?

Tak Proporsional

Struktur ekonomi Indonesia memang merupakan salah satu hal krusial yang harus dibenahi. Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable. Sektor tradable berisi industri-industri yang outputnya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk kedalam sektor ini.

Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya. Sementara itu, sektor non-tradable terdiri dari sektor-sektor jasa yang outputnya tidak diperdagangkan secara internasional, seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas.

Pada tahun 2015, sektor non-tradable tercatat berkontribusi sebesar 53,7% terhadap ekonomi Indonesia. Nilainya lantas naik menjadi 54% dan 54,4% pada dua tahun berikutnya.

Di sisi lain, porsi sektor tradable terus turun dari yang awalnya 43,1% (2015) menjadi hanya 42,4% dan 41,8% pada 2 tahun berikutnya.

Kenaikan porsi sektor non-tradable ini tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable. Pada tahun 2016 dan 2017 secara berturut-turut, sektor non-tradable tumbuh sebesar 5,6% dan 5,8%, sementara sektor tradable tercatat hanya tumbuh sebesar 3,3% dan 3,4%.

Memasuki tahun 2018, situasinya tak berubah banyak. Sepanjang 6 bulan pertama tahun ini, sektor non-tradable membentuk 41,9% perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebanyak 54,5%. Sektor non-tradable tumbuh sebesar 6,1% YoY, sementara sektor tradable hanya tumbuh sebesar 3,6% YoY.

Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan bahwa sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat. Padahal, lapangan kerja di sektor inilah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah. Mengutip data dari World Bank, rasio penerimaan kotor untuk pendidikan tersier (universitas) di Indonesia hanyalah sebesar 27,9% (per 2016).

Akibatnya, kemiskinan menjadi sulit diberantas. Sejak beberapa tahun terakhir, usaha pengentasan kemiskinan terlihat berjalan lamban. Data kemiskinan terakhir sebelum Jokowi menjabat (September 2014) adalah di level 10,96%. Sepanjang Jokowi menjabat, angkanya terus berkisar di level 10%, bahkan sempat naik ke level 11,22% pada Maret 2015. Barulah pada Maret 2018 tingkat kemiskinan turun ke level satu-digit yakni sebesar 9,82%. Namun, pertanyaannya adalah satu: layakkah standar kemiskinan yang ditetapkan oleh negara?

Melansir publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan Indonesia periode Maret 2018 dipatok di angka Rp 401.220/bulan. Jika dibagi dengan 30 hari, maka masyarakat yang hidup setidaknya dengan uang Rp 13.374/hari dikategorikan tidak miskin oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, bank dunia menetapkan garis kemiskinan di angka US$ 1,9 per hari. Dengan kurs Rp 10.000/dolar AS saja, angkanya adalah Rp 19.000/hari. Jadi, layakkah standar yang ditetapkan pemerintah? Rasanya kita semua sudah tahu jawabannya.

Tantangan Besar

Jadi, alokasi dana ribuan triliun rupiah untuk membangun infrastruktur di era pemerintahan Jokowi terbukti belum ampuh untuk membenahi masalah struktural ekonomi tanah air.

Memang, infrastruktur yang sudah terbangun merupakan pondasi yang luar biasa kuat guna mengembangkan sektor tradable. Namun jangan lupa, perekonomian dunia sedang dihadapkan pada downside risk yang luar biasa besar. Perang dagang AS-China misalnya, bisa berlangsung lama dan menghantam laju perekonomian dan investasi dunia. Kemudian, ada juga Brexit yang bisa membuat ekspansi sektor tradable di tanah air menjadi terhambat.

Sudah lambat pertumbuhannya, ada risiko yang siap menghantam pula. Jika risiko yang disebutkan di atas benar-benar terjadi, pemerintah harus benar-benar memutar otak untuk mampu mendorong ekspansi sektor tradable.

Pariwisata Bisa Jadi Alternatif

Dalam visi & misi kubu Jokowi, sektor pariwisata dijadikan salah satu cara guna menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. “Mempercepat pengembangan sektor pariwisata yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian daerah dan masyarakat sekitarnya. Fokus pada melanjutkan pembangunan 10 destinasi wisata baru (“Bali Baru”),” demikian paparan dari kubu Jokowi dalam rilis visi dan misinya. Indonesia memang menyimpan potensi yang besar dari sektor pariwisata, seiring dengan banyaknya objek wisata yang menarik.

Budaya yang begitu banyak tersebar di tanah air juga menjadi daya tarik tersendiri bagi turis asing.

Di satu sisi, kunjungan turis asing akan meggairahkan perekonomian wilayah sekitar, seperti yang terjadi di bali misalnya. Di sisi lain, dolar AS akan mengalir deras ke dalam negeri dan membantu menstabilkan atau bahkan mendorong mata uang Garuda menguat. Stabilitas rupiah merupakan salah satu kunci utama jika pemerintah ingin mengembangkan sektor tradable.

Sayangnya, potensi sektor pariwisata di Indonesia masih kelewat kecil pemanfaatannya. BPS mencatat bahwa sepanjang 2017, terdapat 14,04 juta turis asing yang mengunjungi Indonesia. Bandingkan dengan negara tetangga. Sepanjang 2017, turis asing yang mengunjungi Thailand mencapai 35 juta, seperti dikutip dari Kompas. Di Malaysia, tak kurang dari 25,9 juta turis asing berkunjung sepanjang tahun lalu, seperti dikutip dari halaman resmi Malaysia Tourism Promotion Board (MTPB). Lebih lanjut, Singapura berhasil membuat 17,4 juta turis asing berkunjung pada tahun lalu, dikutip dari Singapore Tourism Board.

Peningkatan anggaran promosi mungkin bisa dilakukan guna mengundang lebih banyak turis ke tanah air, sembari pemerintah menyiapkan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan. Menjelang akhir tahun lalu, Menteri Pariwisata Arief Yahya menyebut bahwa untuk tahun 2018, anggaran promosi pariwisata dipatok di angka Rp 2,5 triliun. Sebanyak Rp 1,5 triliun akan dialokasikan untuk pemasaran di luar negeri dan Rp 1 triliun untuk di dalam negeri. Melihat total belanja pemerintah pusat setiap tahunnya yang mencapai ribuan triliun, rasanya uang senilai Rp 2,5 triliun untuk sesuatu yang bisa bermanfaat besar bagi perekonomian Indonesia adalah kelewat kecil.

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: