logo
×

Sabtu, 27 Oktober 2018

Dakwah SIPAKAINGA: Tawuran Si Otak Udang

Dakwah SIPAKAINGA: Tawuran Si Otak Udang

Oleh: Rasyid Masri

BETULKAH pelaku tawuran terutama tawuran dan tindakan anarkis di kampus mendapat lebel si otak udang? Rasanya sakit hati ini bila punya sekolah tinggi-tinggi di perguruan tinggi tapi mendapat predikat si otak udang, dalam kamus bahasa Indonesia dikiaskan dengan otak bodoh, dunggu, tolol, otak di lutut atau paling tepatnya bertindak tak pakai otak, tak pakai akal sehat.

Tindakan tawuran, anarkis apapun alasannya tetap salah, apologi seribu alasanpun tetap tidak dibenarkan. Karena sekalipun menang dalam tawuran tetap yang menang itu juga rugi.

Sebab merugikan orang lain, merugikan diri sendiri karena pelaku akan mengalami goncangan psikologis yang hebat karena telah melakukan pengeroyokan, perusakan, pembakaran dan tindak kejahatan yang semacamnya.

Berbagai hasil analis menujukan bahwa tawuran dan anarkisme dipengaruhi perubahan karakter masyarakat bangsa kita yang kurang memiliki mental daya tahan dalam menahan diri, mudah terpancing , dan terprovokasi dalam tradisi komunikasi di Sulsel di kenal istilah “Pa’bambangan na to’lo” “mudah emosi karena kebodohannya”.

Sebab kalau dia memakai otak cerdasnya, tak mungkin dia tawuran atau anarkis terhadap perusakan berbagai fasilitas negara yang nyata tak bersalah, merusak fasilitas umum, merusak taman, tempat ibadah masjid, gereja dan lainya. Pelaku tawuran dan anarkisme merasa menang tapi sesungguhnya dia kalah.

Untuk itu mari kita sipakaiga (saling mengigatkan) bahwa alasan apapun kaluu menciptakan kerusakan dan kerugian buat orang lain, tidak dapat ditolerir oleh ajaran agama manapun dan kemanusian.

Dalam perspektif sosiologi, dalam proses interaksi tidak semua akan berjalan beriringan, akan kita temukan diferensiasi sosial, diferensiasi pemikiran, kepentingan personal dan kelompok sosial politik tapi jangan dengan perbedaan yang ada lalu kita menjadikan persaingan, konflik dan permusuhan menjadi budaya baru masyarakat Indonesia, seperti lahirnya budaya kobohongan. Hoaks berpotensi jadi budaya baru bila terus menerus hadir di sekitar kita.

Kata kuncinya pikir pikir dahulu dengan otak sebelum bertindak, sebab tidak ada satupun dan sekecil apapun tindakan,perbuatan dan bahkan apa yang ada di hati kita, yang tidak mendapatkan balasan baik atau buruk dikemudian hari dan hari kemudian.

Salam “Bermartabat”


SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: