
Oleh: Asyari Usman*
Rabu malam (10/10), media online berlomba-lomba menceritakan “kronologi” penaikan harga BBM yang disusul dengan pembatalaannya. Kronologi itu menyajikan urut-urutan jam dan menit tentang manuver para pejabat pemerintah terkait penaikan harga “politically most sensitive commodity” (komoditas yang paling sensitif secara politis).
Sudah capek rasanya kita membaca kronologi plin-plan itu. Diumumkan kenaikan, kemudian dibatalkan dalam waktu tak sampai satu jam. Dengan alasan, Pertamina tidak siap melakukan penaikan harga dua kali dalam sehari.
Anda percaya? Silakan. Kalau saya, tidak.
Sebab itu, lebih baik kita sekarang bercerita tentang “karenalogi” pembatalan kenaikan harga BBM tsb. Karena apa dinaikkan, karena apa dibatalkan dalam waktu singkat. Karena apa Presiden Jokowi membatalkan penaikan itu, dan karena apa beliau menjadi galau.
Kita lihat “karena-logi”-nya.
Karena apa dinaikkan? Karena pemerintah perlu uang. Para pakar ekonomi melihat keuangan negara sedang “bleeding”. Sudah berdarah-darah.
Kemudian, karena apa dibatalkan?
Satu-satunya logi pembatalan itu adalah pertimbangan politik. Penaikan bisa berbuntut merugikan elektabilitas Jokowi. Gamang. Terbayang arus balik yang keras dan tuntas dari rakyat.
Penaikan harga premium dan pertamax dipastikan akan menyemburkan endapan minyak mentah ke wajah Presiden. Akibatnya? Elektabilitas Jokowi akan segera berubah menjadi hitam pekat. Sepekat “crude oil”. Sehitam minyak mentah.
Inilah plin-plan yang sangat memalukan. Tak bisa disembunyikan “incapability” (ketidakmampuan) Presiden Jokowi dalam mengelola pemerintahan. Pemerintah perlu duit banyak dan cepat. Penaikan harga BBM adalah salah satu mesin duit bim-salabim. Hari ini dinaikkan, besok terima uang tunai.
Memang enak. Easy money. Tapi, Jokowi “kasihan” melihat rakyatnya. Dia terlanjur dibranding prorakyat. Kalau dinaikkan, pasti rakyat kesakitan. Kalau rakyat sakit, jangan-jangan nanti tak bisa datang ke TPS untuk pilpres. Amblas!
Para penasihat bergelar doktor di Kantor Staf Presiden (KSP) mungkin mendapat “pangsit pedas” (bukan wangsit) di restoran hotel Bali. Kebetulan di sanalah Menteri ESDM mengumumkan kenaikan harga BBM. Saya menduga para penasihat hebat itu mendatangi Jokowi dan kasih masukan agar dibatalkan detik itu juga.
Kelihatannya, mereka itu tersentak. Membayangkan tsunami politik kalau penaikan harga tidak diaborsi. Saya reka nasihat mereka kira-kira seperti ini: “Kalau Bapak teruskan kenaikan harga BBM, berarti Bapak setuju dengan Mardani Ali Sera dan Neno Warisman.”
*Penulis adalah wartawan senior
SUMBER