
NUSANEWS - Caleg Partai Amanat Nasional (PAN) Eggi Sudjana menantang Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdiskusi soal Islam.
Tantangan itu disampaikan Eggi menanggapi seruan SBY kepada seluruh kadernya untuk menjauhi politik SARA.
Pasalnya, menurut SBY, politik identitas itu sudah berlalu di Pilkada DKI 2017 lalu.
Sikap SBY yang terkesan menggunakan politik lembut dan tidak mau menggunakan politik identitas dianggap sebagai sosok yang banci.
Hal itu diutarakan oleh anggota Dewan Penasihat Persatuan Alumni (PA) 212, Eggi Sudjana kepada awak media di D’Hotel, Jakarta, Minggu (11/11).
Dalam kesempatan itu, Eggi mengakui bahwa SBY memang jauh lebih baik dari dirinya.
“Tapi kalau konteks pemahaman Islam, boleh kita berdiskusi. Sejauh mana politik Islam-nya dia?” kata Eggi.
Pria yang juga advokat itu menilai, identitas sebagai seorang muslim tidak boleh lepas dari seorang politisi yang beragama Islam.
“iIdentitas saya muslim, Anda muslim, berpolitik janji kita, Inna sholati wannasuki wamahyaya wammmati lillahirabbil alamin,” kata dia.
Sesuai dengan kutipan ayat tersebut, lanjut Eggi, dalam hidup tidak boleh lepas dari beribadah termasuk dalam berpolitik.
“Jadi, selama kita hidup nggak boleh lepas dari ibadah, sampai mati kita. Sekarang kita lagi hidup, lagi berpolitik, masa dipisahkan. Nah ini identitasnya,” jelasnya.
Menurut Eggi, sebagai seorang muslim, tetap harus membawa identitasnya dalam perjuangan politik.
Sebaliknya, anggota Dewan Penasehat Persatuan Alumni 212 ini berpendapat, kalau mengikuti saran SBY maka akan jadi banci.
“Kalau ngikutin pendapat SBY jadi banci. Nggak jelas ya, karena netral itu setan bisu dalam perspektif tauhid,” tegas Eggi.
Ia curiga pernyataan SBY itu karena takut dengan isu yang dimainkan kelompok tertentu untuk menghambat perjuangan Islam.
“Identitas itu perlu, karena dasar hukumnya ijhadubianamuslimin, tunjukkan kamu muslim. Tunjukkan, tunjukkan itu apa ya identitas,” jelasnya.
Kendati demikian, Eggi juga mengaku sama sekali tak heran dengan pernyataan SBY itu.
Sebab menurutnya, sikap SBY itu sejatinya sudah kendatara sejak Pilpres 2014 lalu.
Walaupun, lanjutnya, Partai Demokrat secara formal memberikan dukungannya kepada pasangan Prabowo-Sandi melawan pasangan Jokowi-Ma’ruf.
“Dulu, misalnya, kalau 2014 SBY tegas pilih Prabowo kan menang. Sebabnya kan enggak,” katanya.
“Sekarang juga, karena nggak terlalu jelas identitasnya, tapi ini urusan dia sama Allah lah,” pungkasnya.
Sebelumnya, SBY menilai politik Indonesia telah berubah sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dimana kompetisi yang ditonjolkan mengarah pada SARA.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono saat acara pembekalan caleg Partai Demokrat di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (10/11).
“Yang berubah makin mengemukannya politik identitas, politik SARA dan politik yang dipengaruhi oleh paham,” ujar SBY.
Kondisi tersebut, jelas SBY, sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia.
Apalagi dalam sejarahnya, Indonesia pernah terjadi adanya konflik akibat politik di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
“Oleh karena itu seiring dengan Pemilu 2019, Demokrat mengajak dan menyerukan pada saudara kami, komponen bangsa, elite poltik untuk bersama-sama mencegah politik identitas, benturan ideologi dan paham yang semakin esktrim,” katanya.
Politisi kelahiran Pacitan, Jawa Timur, ini mencontohkan adanya konflik politik telah terjadi di Timur Tengah.
Oleh sebab itu semua pihak perlu turun tangan mencegah adanya politik identitas dan SARA.
”Kita ingin Pemilu 2019 berlangsung damai dan demokratis seperti dulu di Pilpres 2004, 2009, dan 2014. Memang kompetisi keras tapi bisa tetap damai,” bebernya.
SUMBER