
NUSANEWS - Partai Solidaritas Indonesia mengejutkan banyak kalangan ketika Ketua Umumnya eksplisit menyatakan garis partai yang menolak poligami. Beberapa kalangan memuji dan mendukungnya, namun sejumlah politikus partai lain mengecamnya.
Seorang politik menyatakan bahwa sikap PSI didasarkan pada kebutuhan mereka untuk memosisikan diri menghadapi pemilihan legislatif 2019. Komnas Perempuan juga memujinya.
Namun politikus dari Partai Demokrat menyebut PSI sekadar cari sensasi, dan sesepuh Partai Keadilan Sejahtera menganggapnya sebagai sikap tidak demokratis.
Sikap PSI dinyatakan pidato Grace Natalie, ketua umum PSI, saat berbicara di acara Festival 11, di Jatim Expo International Surabaya, beberapa waktu lalu.
"PSI tidak akan pernah mendukung poligami. Tak akan ada kader, pengurus, dan anggota legislatif dari partai ini yang boleh mempraktikkan poligami," demikian sepenggal isi
Partai nomor urut 11 itu mengklaim bahwa mereka berbicara bagi banyak perempuan Indonesia yang merasa bahwa poligami adalah bentuk penindasan.
"Bagaimanapun juga perempuan yang dipoligami itu pasti dia tersakiti," ungkap Tsamara Amany, ketua DPP PSI kepada BBC Indonesia, Rabu (12/12). "Yang kedua, juga ada potensi bahwa anak-anak mereka akan terlantar, dan di situ muncul ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki, artinya ada ketidakadilan di sana."
Ambisi PSI terkait isu poligami tersebut akan bermuara dalam rencana pelarangan praktik poligami terhadap pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Itu, jika kader mereka terpilih menjadi anggota dewan.
"Dalam paradigma kami, kalau misalnya tidak bisa berlaku adil dalam keluarga, dalam rumah tangga, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan seseorang itu memiliki kepedulian terhadap perempuan, atau misalnya berlaku adil dalam konteks yang lebih tinggi lagi, dalam urusan publik," ujarnya.
![]() |
Para ibu rumah tangga berunjuk rasa damai menentang poligami di Jakarta, 22 Desember 2006 silam. |
Lebih jauh lagi, PSI juga bermaksud merevisi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 3, disebutkan bahwa "pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan."
Sikap PSI mendapat dukungan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
"Kalau itu menyakiti perempuan, ya kita harus merevisi Undang-undang, karena UU itu kan harus melindungi semua warga negara tanpa kecuali dan tidak bersifat diskriminatif terhadap perempuan," kata Nina Nurmila, komisioner Komnas Perempuan, kepada BBC, Rabu (12/12).
"Kekerasan seksual itu dirasakan misalnya dia menjadi jijik kepada suaminya, ketika mau berhubungan seksual itu dia membayangkan suaminya juga melakukan hal yang sama dengan perempuan lain," ujar Nina, yang juga merupakan guru besar kajian gender dan studi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Nina menilai bahwa sumber masalahnya terdapat pada keengganan sebagian muslim memahami secara utuh dasar praktik poligami yang tercantum dalam kitab suci umat Islam, Alquran.
"Karena persoalan cara pengutipan yang tidak komprehensif, maka kemudian Islam dijadikan agama yang seolah-olah membolehkan poligami, padahal menurut saya, hanya ajaran Islam yang memerintahkan untuk bermonogami dan meninggalkan poligami," pungkasnya.
Dikecam lawan politik
Strategi PSI melepas isu poligami jelang pemilu legislatif 2019 dipandang sebelah mata oleh berbagai lawan politiknya.
Partai Demokrat misalnya, kata politikusnya, Ferdinand Hutahean, tidak pernah membahas secara spesifik isu itu karena bagi partai yang didirikan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono itu, praktik poligami merupakan fenomena normal dalam kehidupan masyarakat.
"Sepanjang memang orang bisa berlaku adil terhadap poligaminya, ya silakan. Tapi kami tidak menyuruh dan tidak melarang, lah," kata Hutahean.
Ia malah menilai langkah PSI tersebut dilakukan lantaran partai berlambang bunga mawar itu tak mampu bersaing dalam isu-isu kebangsaan hingga ekonomi.
"PSI itu tidak punya cita-cita tentang negara ini mau ke mana dan akan dibawa seperti apa, makanya mereka hanya punya program kampanye seperti ini," ujar politisi Demokrat, Ferdinand Hutahaean, kepada BBC (12/12). "Bagi saya ini menjadi telihat sangat murahan."
Menurutnya, isu seperti poligami digunakan hanya untuk mencari sensasi.
Pandangan yang sama diutarakan Partai Keadilan Sejahtera. Meski memahami bahwa sikap PSI adalah bagian dari proses demokrasi, menurut Wakil Ketua Majelis Syuro PKS yang juga Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, seharusnya pendapat yang diutarakan adalah yang tidak bertentangan dengan apa yang sudah berlaku saat ini.
"Secara prinsip, bahkan Bung Karno saja berpoligami," ujar Hidayat kepada BBC, Kamis (13/12). "Hukum Indonesia memberi ruang yaitu melalui adanya surat izin keluarga, jadi tidak serta merta melakukan penolakan."
"Begitu banyak kekerasan terhadap perempuan yang tidak terkait dengan poligami. Yang diperkosa, yang dilecehkan, itu tidak ada urusannya dengan poligami," imbuhnya.
Hidayat menyatakan bahwa PKS sendiri tidak menganjurkan maupun melarang poligami. "Dan itu adalah demokratis. Justru yang melarang-larang itu yang menurut saya malah tidak demokratis."
Membongkar tabu
Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyatakan langkah PSI ini membongkar hal yang selama ini seakan tabu dalam politik.
"Menurut saya memang ini partai pertama yang berani masuk pada wilayah yang cukup sensitif dengan statement yang eksplisit. Bahkan partai-partai nasionalis lain kan cenderung tidak berani masuk ke wilayah isu spesifik seperti poligami ini," ungkap Yunarto kepada BBC melalui sambungan telepon, Kamis (13/12).
Di sisi lain, hal itu juga didasarkan pada kebutuhan mereka untuk memosisikan diri menghadapi pemilihan legislatif 2019. Menurutnya PSI melihat kepentingan untuk membuat diferensiasi yang ekstrem dengan partai-partai yang ada. Faktor kontroversi yang timbul dari isu poligami justru bisa memperjelas ceruk suara partai tersebut.
"Minimal itu punya segmen tersendiri di kalangan perempuan, orang-orang yang pandangan ideologisnya liberal, sebagian kalangan moderat, dan anak-anak muda yang progresif," ujarnya.
Lain halnya pengamat politik LIPI Siti Zuhro berpendapat, jika isu poligami dikeluarkan untuk meraup ceruk suara emak-emak yang sebelumnya digarap kubu Prabowo-Sandi, maka PSI salah langkah. Isu ekonomi dinilai lebih diminati kaum tersebut.
"Besaran nominal (uang) yang dikelola oleh ibu-ibu itu sangat-sangat menjadi satu isu yang sangat strategis, gitu. Jadi bukan yang abstrak-abstrak gitu, mereka lebih yang konkret, riil, yang dirasakan langsung," ujar Siti saat dihubungi BBC melalui sambungan telepon.
Meski demikian, seperti Yunarto, Siti berpendapat bahwa isu poligami akan menarik bagi kalangan berpendidikan dan perempuan milenial, baik yang masih lajang maupun sudah menikah.
"Kehidupan mereka adalah kehidupan modern. Kehidupan modern pastinya rasional. Rasional itu ya memang termasuk perempuan tidak mau diduakan," pungkasnya.
SUMBER