
NUSANEWS - Sepak terjang komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menyikapi berbagai persoalan terkait persiapan Pilpres dan Pileg 2019 meresahkan kelompok swing-voters atau pemilih tak loyal.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters (PSV) Adhie M Massardi dalam keterangan persnya di Jakarta, siang ini (Selasa, 8/1).
Adhie menekankan, hingga kini belum ada kejelasan KPU dan Bawaslu menyikapi karut-marutnya daftar pemilih tetap (DPT), keamanan kotak suara dari kardus, mekanisme pelaksanaan orang sakit jiwa (gila) dalam praktek pencoblosan.
Termasuk tidak ada kejelasan sistem teknologi informasi yang dipakai untuk mengumpulkan dokumen hasil Pemilu dari tempat pemungutan suara baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Tapi paling meresahkan, menurut Adhie, karena ini menyangkut integritas penyelenggara Pemilu, adalah perkara beredarnya kabar tujuh kontainer surat suara tercoblos dan mekanisme debat capres-cawapres.
"Reaksi KPU dan Bawaslu yang berlebihan, serta kesepakatan dengan Kemendagri dan pendukung petahana (Joko Widodo-Maruf Amin) untuk mengadukan berita '7 Kontainer Surat Suara' ke Bareskrim Mabes Polri, menimbulkan persepsi publik ada ikatan batin yang kuat antara KPU, Bawaslu, pemerintah, petahana dan pendukungnya," terang Adhie.
Persepsi publik bahwa KPU-Bawaslu telah kehilangan independensinya. Hal ini diperkuat dengan kesan akomodatifnya penyelenggara Pemilu terhadap kehendak kandidat petahana terkait mekanisme debat, mulai dari dihilangkannya penyampaian visi-misi hingga kisi-kisi materi debat.
Sebagai Ketua Umum PSV yang berusaha meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pileg dan Pilpres 2019, Adhie mengaku di lapangan mendapat hambatan serius akibat sepak terjang KPU dan Bawaslu tersebut.
Alasannya, pemilih yang dalam survei-survei politik dikategorikan sebagai massa mengambang, sesungguhnya bukan swing voters yang belum menentukan pilihan. Melainkan kalangan rasional yang tidak melihat ada harapan pada para kandidat/peserta Pemilu.
"Hanya 10-15 persen saja dari total massa mengambang berkisar 25-35 persen jumlah pemilih yang akhirnya ikut mencoblos. Sisanya memilih golput," beber tokoh pergerakan yang juga koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.
Adhie menjelaskan, PSV berkampanya mengedukasi mereka (swing voters) agar ikut memilih, paling tidak dalam Pilpres, dengan pendekatan demokrasi sederhana yaitu memberi mandat baru bila petahana dianggap bagus dan memilih lawannya sebagai hukuman bila dirasakan tidak menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan benar.
Dengan konsep demokrasi yang sederhana ini, Adhie berharap PSV bisa mendinamisasikan demokrasi di Indonesia. Sehingga ke depan, bila presiden terpilih tidak sanggup memenuhi janji kampanyenya, hanya akan berkuasa satu periode saja.
"Tapi bagaimana meyakinkan mereka (swing voters) untuk berpartisipasi dalam pemilu bila kandidat dan penyelenggaranya mereka ragukan?" kritik Adhie.
Makanya, lanjut Adhie, dalam waktu yang tinggal beberapa bulan ke depan, PSV akan mengajak kekuatan civil society lainnya untuk mengembalikan trust public terhadap demokrasi, khususnya kepada KPU dan Bawaslu.
SUMBER