DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo berencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pembatalan UU KPK hasil revisi. Hingga kini produk pemerintah itu belum juga dikeluarkan.
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Perppu bisa diterbitkan "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa." Penilaian adanya unsur kegentingan bergantung pada subjektif presiden. Artinya, Presiden Joko Widodo bisa mengeluarkan Perppu berdasarkan keputusannya.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengatakan, selama lima tahun pemerintahan Joko Widodo, hampir tidak ada desakan sebesar ini dari masyarakat.
"Kampus-kampus turun ke jalan, ribuan dosen membuat pernyataan. Ini menandakan ada sebuah desakan yang luar biasa, kegentingan rasa. Kegentingan dan kegeraman yang ada di masyarakat menambah desakan (penerbitan Perppu)," ucap Isnur, di kantor YLBHI, Minggu (6/10/2019).
Jika presiden tidak percaya dengan tokoh-tokoh yang selama ini sebagian besar mendukung dia, maka Joko Widodo bisa lakukan dengan sistemnya sendiri yang dia percaya.
"Jangan sampai dia dibohongi anak buahnya, (seolah) asal bapak senang," tutur Isnur.
Presiden, lanjut Isnur, membuat sistem yang dia percaya untuk membuktikan apakah benar dalam rangkaian aksi menolak UU KPK terdapat mahasiswa meninggal, luka-luka, ditangkap, dipukuli, ribuan tanda tangan dosen bahkan tokoh-tokoh datang dengan menggunakan kursi roda.
"Apakah itu belum cukup bagi Presiden untuk merasakan suasana kebatinan rakyat? Ini penting bagi Jokowi sebagai simbol yang dipilih masyarakat," kata Isnur.
Begitu juga media yang memberitakan soal UU KPK. Isnur mengatakan, hampir disetiap media sudah menjadi headline tentang opini masyarakat itu.
"Bagi saya itu lebih dari cukup. Selaiknya itu kalau istilah 'kepala sudah merah'. Kalau sampai dia tidak merasa, berarti ada yang salah dengan hati dan kepalanya," tandas Isnur. [akt]