logo
×

Rabu, 16 Oktober 2019

KH. Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Ponpes Gontor: Kita Dijebak dengan Istilah Radikalisme

KH. Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Ponpes Gontor: Kita Dijebak dengan Istilah Radikalisme

DEMOKRASI.CO.ID - Menjelang pertemuan para pimpinan pondok pesantren alumni Gontor di Pondok Pesantren Darul Qolam, Gintung, 19-21 Januari 2018, Majalah Gontor menerima informasi mengejutkan bahwa anggota Forum Pesantren Alumni (FPA) Gontor mencapai seribu pesantren. Angka ini menyuratkan saran dari Syeikh al-Azhar, Mahmud Syaltout, agar Pondok Modern Gontor membangun seribu Gontor di Indonesia seakan terealisasi.

Meski ada upaya-upaya dari kalangan tertentu untuk mengerdilkan peran pesantren dalam pembangunan di Indonesia, tapi nyatanya pesantren terus tumbuh dan berkembang. Bahkan pondok pesantren telah menjadi pilihan utama masyarakat untuk mendidik anak-anaknya.

Untuk mengetahui apa peran dan tantangan pondok pesantren, wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan mewawancarai salah satu Pimpinan Pondok Modern Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Anda melihat perkembangan pesantren saat ini?

Perkembangan pesantren sangat rekat dengan perkembangan pendidikan, perkembangan pembinaan umat, perkembangan perjuangan umat dan juga perkembangan menegakkan kebenaran. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang khas Indonesia. Pesantren harus terus dipertahankan dan harus tetap ada. Karena di pesantren, santri-santri dididik, dibina, diasuh, diarahkan dan diisi dengan pendidikan kehidupan. Kalau orang ingin hidup dengan baik, ia harus belajar ke pondok. Karena di pondok, kehidupan seseorang terdidik dan hidup dalam kegiatan yang juga terdidik.

Apa tantangan dan masalah pesantren dewasa ini?

Masalah yang dihadapi pesantren sebenarnya tidak ada. Kalaupun ada, masalah itu bernama kemauan. Kemauan seseorang itu berbeda-beda, bertingkat-tingkat dan bervariasi. Terkadang, bakat dan perwatakan kiai di satu pesantren tidak sama atau memiliki sedikit perbedaan dengaan kiai di pesantren lain. Meski demikian, pesantren selamanya akan bersatu dalam hal membina kehidupan yang islami tanpa intervensi, tanpa menyalahkan model pendidikan satu pesantren dan pesantren lainnya karena hal itu masuk perkara ijtihadnya kiai. Maka menjadi hal tidak etis, jika satu pesantren mendidik atau menggurui pesantren yang lain.

Ada dua jenis pesantren di Indonesia, tradisional dan modern. Apakah saat ini masih relevan membedakan kedua jenis pesantren itu?

Saya contohkan. Ada kiai mengajarkan kitab Ihya ‘Ulῡmuddīn dan ada kiai lain yang mengajarkan Shahih Muslim atau Shahih Bukhāri. Lantas ada santri yang bertanya, mengapa kiai mengajar Ihyā ‘Ulῡmuddin tidak mengajarkan kitab Shahih Bukhari atau Shahih Muslim? Kiai pengajar Ihya akan berkata, “Kowe iki la opo, la wong santriku njaluk Shahih Bukhārī. Isoku iki” (Kamu itu mengapa, santri saya meminta agar saya mengajarkan kitab Shahih Bukhari. Saya hanya bisa ini). Atau kitab Ihyā ‘Ulῡmuddin tidak benar hadisnya. Saya yakin kiainya akan marah. Seharusnya, kita mengatakan, kiai pengajar Ihyā Ulῡmuddin mengajarkan kehidupan islami ala Ihya ‘Ulῡmuddin sedangkan kiai pengajar kitab Shahih Bukhari atau Shahih Muslim sedang mengajarkan kehidupan islami ala Shahih Bukhari atau Shahih Muslim. Meski berbeda, keduanya tetap berusaha untuk mendidik kehidupan masyarakat secara islami.

Anggota FPA harus mempunya niat, jiwa, watak, isi, dan sistem yang mendidik kehidupan. Kehidupan santri. Kiai tidak bisa hanya menjadi ibu kos atau bapak kos. Di setiap pesantren harus ada kiai, ada santri, ada pelajaran, syukur-syukur ada kitab. Keempat komponen ini harus ada.

Masjid tidak ada, tidak apa-apa. Kamar tidak ada, tidak apa-apa. Tapi ada guru, ada murid, ada pelajaran, ada buku atau ada isi. Itulah pesantren. Untuk tempat bisa di mana saja, bisa di masjid, bisa di kamar, bisa di kos, yang kesemuanya itu dilakukan untuk membina kehidupan.

Misi apa yang harus tertanam di pondok pesantren?

Jiwa, watak, dan misi pondok pesantren adalah antipenjajah dan penjajahan. Manusia itu tidak boleh dijajah. Manusia itu mempunyai hak yang sama. Anak raja, anak prajurit dan anak rakyat mempunyai hak yang sama. Manusia selamanya tidak boleh dijajah. Yang besar menyayangi yang kecil, yang kecil menghormati yang besar. Bapak menyayangi anak, anak juga harus menghormati bapak. Bukannya menjajah. Yang kaya menyayangi yang miskin, yang miskin menghormati yang kaya, bukan bersikap iri, dengki atau licik. Licik-licikan itu namanya manusia memangsa manusia. Yang seperti itu, bukan kiai, bukan pesantren.

Saya berharap FPA jangan melupakan misi itu. FPA harus mendidik kehidupan yang islami sesuai dengan ijtihadnya masing-masing, antipenjajah dan penjajahan. Ciri Gontor: Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa al-Qur’an dan ada pengetahuan umum yang berguna untuk masyarakat. Kalau tidak itu, bukan Gontory. Keislaman, keilmuan, kemasyarakatan, antipenjajah dan penjajahan. Kalau sudah begitu, sampai kiamat, aman. Itu perjuangan.

Ada stigmatisasi pesantren sarang radikalisme, bagaimana pendapat Anda?

Di dunia ini tidak ada orang yang tidak radikal. Orang lahir sudah radikal. Orang mempunyai maksud berarti radikal. Radikal jangan ditutup karena semua orang itu radikal. Sekarang, bagaimana orang menyikapi radikalismenya masing-masing. Koperasi dan kebersamaan itu radikal karena anti-investor. Investor itu kapitalis, licik, menzalimi orang. Reklamasi, sawah-sawah diganti gudang-gudang, pertanian dijadikan pabrik demi investasi. Ini radikal. Lupa petani, lupa nelayan, lupa pedagang, dan lain-lain yang semuanya harus diatur oleh investor. Ini namanya investor radikal.

Orang yang harus bertani ini saja, itu juga radikal. Hati mereka radikal semua. Muslim radikal, kafir radikal. Tidak ada setengah kafir, setengah Muslim. Orang yang menuduh Islam itu radikal, dia itu orang radikal. Islam bukan agama radikal, yang mengatakan Islam radikal, itu radikal. Menyuruh tidak usah beragama, tidak usah bersyariah, tidak usah shalat, tidak usah cari halal-haram, itu radikal. Anda kalau makan tidak usah mencari yang halal. Suruhan itu namanya radikal. Saya tidak makan kecuali halal, ini juga radikal. Artinya orang mempunyai kepribadian yang memiliki kekuatan yang mengakar. Sekarang bagaimana orang kafir dan Muslim berkumpul? Harus pakai toleransi. Letakkan radikalisme ini. Kita dijebak.

Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanbali harus pakai qunut, ini radikal. Tidak qunut, bid’ah dan lain sebagainya itu, juga radikal. Yang benar apa? Islam itu bukan qunut, qunut itu Islam. Bung Karno itu Indonesia, tapi Indonesia bukan Soekarno. Jadi yang dituduh Bung Karno itu Indonesia tapi Indonesia bukan Soekarno itu radikal, makar itu, tangkap! Padahal yang mengatakan itu juga radikal. Memaksakan Indonesia itu Soekarno, lha Hatta di mana? Kasman di mana? Natsir di mana? Tengku Umar di mana? Diponegoro di mana? Hasan di mana?

Nahwu itu bahasa Arab, tapi bahasa Arab bukan nahwu. Yang penting adalah bagaimana menyikapi radikalisme masing-masing. Yang kita didik adalah bagaimana menyikapi radikalismenya masing-masing. Demi bisa hidup bersama-sama, karena mereka tidak bisa hidup sendiri, mereka tidak bisa dipaksa hidup diradikali pihak lain.

Ada juga yang menuduh pesantren sarang teroris. Bagaimana pendapat Anda?

Perbuatan ini, pemaksaan-pemaksaan ini, ancam-mengancam ini namanya teror. Kita mengajarkan memakai jilbab, tutup aurat, anak-anak kita didik, tiba-tiba ada orang datang membawa barisan telanjang, pakai rok mini, buka-bukaan. Ini teror. Siapa yang diteror? Nurani! Iman kita yang diteror!
Gambar-gambar, iklan-iklan yang merusak, yang erotis itu meneror iman, teroris itu! Bagi orang Islam, hukum wajib, syariat wajib. Tapi membunuh orang kafir, tidak memakai jilbab, itu teror. Islam tidak menyuruh orang kafir itu dibunuh. Orang kafir dibunuh karena membunuh dakwah, dakwah harus berjalan. Yang menghalangi dakwah yang dibunuh. Ada orang kafir berdagang, rusak itu dagangannya, ya tidak boleh. Teror itu di mana-mana, kita ditipu. Jangan cari yang halal, haram, kalau makan, ya makan saja. Itu teror. Masalahnya yang diteror itu siapa?

Apakah stigmatisasi terorisme mempengaruhi pesantren?

Tidak. Pesantren tidak akan berhenti, jadi jalan terus. Kita harus bangga dengan keislaman. Harus bangga dengan kehalalan. Ada makanan enak tapi haram, kita tidak mau makan, itu jaminan surga. Ada wanita cantik menawarkan diri, tapi karena tidak halal, dia menolak. Itu surganya tinggi. Tantangan selamanya tetap ada. Sampai kiamat ada. Kalau tidak begitu, suargo ora enek isine. Kalau di dunia tidak ada orang kafir, surga tidak ada isinya.

Pondok pesantren alumni Gontor mencapai 1000 pesantren, bagaimana tanggapan Anda?

Seluruh Indonesia seribu? Kalau seribu pesantren, setiap pesantren santrinya seribu, kan baru satu juta (yang dididik). Padahal Indonesia 250 juta. Manusia harus dibina, bukan diajar saja. Jadi seribu Gontor masih belum (mencukupi). Karenanya harus ada sejuta Gontor. Kalau setiap pesantren mendidik 250 orang, kan sudah selesai. Jadi yang penting, alumni Gontor membina umat dengan pondoknya masing-masing, mendidik kehidupan yang islami. Jadi nanti seluruh umat Islam di Indonesia tidak ada yang makan kecuali yang halal, tidak berpakaian kecuali yang menutup aurat, tidak ada yang main bola dengan menyuap atau menyogok. Mendidik pemain bola yang baik, mendidik penyanyi yang baik, dan profesi lainnya.

Tapi ada juga alumni pesantren yang liberal, mengapa ini terjadi? 

Orang itu pada dasarnya memang lemah. Melihat barang baru, variasi, lalu ingin keluar dari yang ada. Kasihan orang-orang liberal. Dia terjebak, terpeleset. Dia sudah menapakkan satu kakinya di neraka. Orang mencuri itu tidak kafir, tapi yang tidak mengharamkan mencuri, itu kafir. Orang berzina tidak kafir, tapi yang mengatakan zina tidak haram, itu kafir.

Orang kafir di dunia ini tetap ada. Kalau tidak begitu, umat Islam nganggur. Orang maksiat tetap ada di dunia. Zina tetap ada, narkoba tetap ada, minuman keras tetap ada. Kalau tidak ada maksiat, tidak ada dakwah. Celakanya, orang coba-coba narkoba.

Kalau anakmu nakal, sayangi, selamatkan. Kasihan mereka. Cara saya menyelamatkan mereka dengan membimbing, membombong, ‘membanting’. Kalau ngengkel, dibanting. Unsur akhāka dzāliman aw madzlῡman. Saudaramu yang zalim supaya diselamatkan, yang zalim diselamatkan dengan cara jangan meneruskan kezaliman, yang mazlum diselamatkan, jangan mau kamu dizalimi.

Jadi, apa tantangan yang paling berat?

Tantangan yang paling sulit itu kemauan. Kemauannya tipis. Atau karena tidak ada kemauan. Jadilah kiai atau santri yang tulus ikhlas. Masuk pesantren itu fardu kifayah. Kalau anak dan orangtua tidak kompak, tidak usah ke pesantren, nanti sakit dan menyakitkan, kecewa dan mengecewakan. Dalam Qur’an tidak ada perintah untuk masuk pesantren. Gara-gara sakit jarban saja berhenti, itu tidak kompak. Orangtuanya kompak, pondoknya kompak, santrinya kompak, mati masuk surga. [gon]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: