logo
×

Minggu, 17 November 2019

Dilirik Pimpin BUMN, Ahok Terjegal Reputasi dan Status Eks-Napi

Dilirik Pimpin BUMN, Ahok Terjegal Reputasi dan Status Eks-Napi

DEMOKRASI.CO.ID - Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama diketahui telah dipanggil Menteri BUMN Erick Thohir. Desas-desus merapatnya Ahok ke salah satu perusahaan plat merah Indonesia menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Jajaran politisi, kelompok Islam, hingga para pakar menyatakan keberatan mereka terhadap penunjukan BTP sebagai bakal pimpinan BUMN.

Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dilaporkan telah mendatangi kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Rabu (13/11) pagi. Ahok datang ke Kementerian pukul 9 pagi dan bertemu langsung dengan Menteri BUMN Erick Thohir.

Saat diwawancarai awak media, Ahok menjawab kedatangannya ialah terkait dirinya diminta sebagai salah satu orang yang bertugas di BUMN. “Intinya kita bicara soal BUMN dan saya mau dilibatkan menjadi salah satu BUMN, gitu aja. Jabatannya apa? BUMN mana? Saya tidak tahu, mesti tanya ke Pak Menteri.”

Ahok sendiri tidak menjawab pasti kapan dirinya akan dilantik atau di BUMN mana dirinya akan ditempatkan. “Saya gak tahu, mungkin Desember atau November saya gak tahu. Tanya ke Pak Menteri, saya cuma diajak untuk masuk ke dalam salah satu BUMN.”

Ahok dikabarkan akan mengisi salah satu jabatan Direktur Utama BUMN yang kosong. Hingga saat ini, terdapat 4 kursi BUMN yang kosong, yakni PT PLN (Persero), PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

WASPADA REKAM JEJAK KEPEMIMPINAN AHOK

Perwakilan Komisi VI DPR yang mengawasi bidang industri, investasi, dan persaingan usaha mengaku  tidak masalah dengan penunjukan Ahok sebagai pimpinan salah satu BUMN.

“Saya hormati rencana Menteri BUMN untuk mengangkat beliau (Ahok),” tegas Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (13/11).

“Sekali lagi itu haknya Menteri BUMN untuk menentukan siapa pun yang akan menjadi pimpinan BUMN, apakah direksi atau komisaris. Apalagi sekarang punya kebijakan TPA (Tim Penilai Akhir). Berarti melibatkan presiden dalam memilih direksi BUMN,” tutur Andre kepada RMOL.

Andre lantas mengingatkan Erick Thohir untuk berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK). Dilansir dari Media Indonesia, dalam cuitan di Twitter yang kini telah dihapus, DPP Partai Gerindra menyoroti dugaan kasus korupsi yang terjadi selama Ahok menjabat sebagai Gubernur Jakarta dan belum ditangani hingga kini.

“Partai Gerindra meminta @KemenBUMN untuk berkordinasi dengan @KPK_RI dan @bpkri terlebih dahulu perihal penunjukan Ahok sebagai pimpinan BUMN,” cuit admin akun Twitter Partai Gerindra @gerindra, Rabu (13/11). “Kita semua mengetahui bahwa Mantan Gubernur DKI Jakarta (Ahok) tersebut memiliki rekam jejak dua kasus yang belum jelas penyelesaiannya, yaitu kasus Sumber Waras dan pembelian tanah di Cengkareng, Jakarta Barat. #SuaraGerindra @KemenBUMN @erickthohir”


Wakil Sekjen Partai Gerindra itu juga menambahkan, pengangkatan BTP semoga bukan karena ada kedekatan khusus dengan Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo. Ahok diketahui pernah menjadi wakil Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. “Jangan sampai ada yang mentang-mentang gitu loh, menjadi Pimpinan BUMN karena dekat dengan Presiden,” tandas Andre kepada RMOL.

Ahok diharapkan taat peraturan saat menjabat sebagai bos BUMN nanti. Andre berharap agar siapa pun yang diangkat menjadi pimpinan BUMN kelak dapat mengikuti prosedur yang berlaku.

“Direksi atau pimpinan BUMN itu harus mengikuti peraturan yang ada. Peraturan UU BUMN dan UU Perseroan, itu yang harus dipahami. Jangan sampai ada yang mentang-mentang jadi pimpinan BUMN karena dekat dengan presiden, nanti jadi mentang-mentang dalam memimpin BUMN,” keluhnya saat dihubungi IDN Times pada Rabu (13/11).

Ketika ditanya BUMN mana yang sekiranya cocok dipimpin Ahok, Andre enggan berkomentar dan menyerahkan sepenuhnya kepada Erick Thohir.

“Tapi yang jelas kepada Pak Ahok, tolong ikuti UU BUMN dan UU Perseroan. Jangan sampai nanti diulang lagi petentang-petenteng (seperti) waktu jadi Gubernur DKI. Itu harapan kita. Jadi direksi BUMN diharapkan membawa terobosan untuk perbaikan BUMN, bukan cari rebut,” pungkasnya.

AHOK TAK COCOK JADI DIRUT BANK BUMN

Beberapa pihak menduga Ahok akan diminta mengisi salah satu jabatan Dirut Bank BUMN yang memang sedang kosong. Kartika Wirjoatmodjo mengundurkan diri sebagai Dirut Bank Mandiri setelah ditunjuk sebagai Wakil Menteri BUMN, sementara kursi Dirut BTN kosong setelah Suprajarto menolak dipindahkan dari jabatan Dirut BRI.

Ahok diprediksi akan mengalami kesulitan untuk memimpin direksi Bank BUMN. Seorang direksi Bank BUMN terlebih dahulu harus lulus fit and proper test yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan aturan seleksi direksi dan komisaris bank yang diatur dalam Surat Edaran OJK Nomor 39/SEOJK.03/2016 tentang tes bagi calon pemegang saham pengendali, calon anggota direksi, dan calon anggota dewan komisaris bank.

Dalam aturan tersebut, anggota direksi bank umum konvensional dinyatakan harus memiliki pengalaman dan keahlian di bidang perbankan atau jasa keuangan, antara lain dalam bidang operasional, pemasaran, akuntansi, audit, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, hukum, atau pengalaman keahlian di bidang pengawasan lembaga jasa keuangan.

Pemegang saham juga harus mempertimbangkan komposisi direksi, di mana mayoritas direksi harus memiliki pengalaman dalam operasional bank umum paling sedikit selama 5 tahun sebagai pejabat eksekutif. Calon direksi juga harus lulus uji kompetensi dari Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP) hingga level lima.

Kepada CNBC, Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu mengungkapkan, Ahok akan lebih bermanfaat apabila ditugaskan ke BUMN yang bobot pemerintahnya tinggi, bukan bobot korporasi. “Tapi dengan persyaratan dia harus memahami betul Good Governance (tata kelola). Dia harus betul-betul menjadi orang yang mampu dan mau membersihkan mafia-mafia,” ujarnya.

“Kontroversi lainnya adalah ia kerap menganggap dirinya paling benar, sementara nanti BUMN akan menghadapi banyak pihak,” kata Said Didu, Rabu (13/11).

Said Didu juga menanggapi kontroversi mengenai reputasi Ahok yang dinilai sebagian pihak bisa membersihkan pemerintah korup. Sementara itu, sebagian pihak lainnya di masyarakat menilai Ahok cenderung memaklumi dan membiarkan kekotoran di pemerintah.

Said Didu menekankan jika pemerintah ingin menempatkan Ahok di BUMN, harus dipastikan bukan di BUMN yang terikat regulasi yang ketat bahkan regulasi internasional. “Juga yang terkait dengan korporasi, komunikasi, itu tidak bisa, karena dari sisi korporasi dia tidak menonjol.”

Ahok, menurut Said Didu, lebih cocok ditempatkan di BUMN yang menjalankan tugas negara. Begitu dilantik kelak, harus dipastikan agar Ahok bisa mawas diri dan benar-benar membersihkan mafia. “Bukan cuma sekadar menerobos dan melanggar aturan. Juga harus berubah, soal arogansinya. Ini perlu didengar.”

AHOK TAK MUMPUNI PIMPIN BUMN ENERGI

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai penempatan Ahok di BUMN strategis, terutama BUMN energi, cukup berisiko. “Ahok sama sekali tidak punya latar belakang di bidang energi. Menurut saya terlalu riskan. Tapi kalau dipasang di BUMN lain yang bukan strategis tidak masalah,” ujarnya saat diwawancarai Katadata pada Rabu (13/11).

Di PLN, menurut Fahmy, sosok yang cocok memimpin adalah yang mengerti tentang proyek 35.000 Megawatt dan memiliki kemampuan untuk merampungkan proyek tersebut. Ia lantas mengajukan nama mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral periode 2016-2019 Ignanius Jonan. Baginya, Jonan berpengalaman di sektor energi. Kepemimpinannya juga telah teruji saat menjadi Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia.

Mengenai kursi nomor satu Pertamina, Fahmy menilai mantan dirut yang kini menjabat sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Dwi Soetjipto jauh lebih cocok memimpin. Fahmy beralasan, Dwi memiliki pengalaman dan telah sukses memimpin di Pertamina. “Saya kira lebih tepat Dwi Soetjipto ke PLN atau Pertamina. Kalau hanya di SKK Migas saja sayang,” tambahnya.

Fahmy juga mengusulkan, induk BUMN tambang sekiranya lebih layak dipegang oleh direksi dari anak usaha.

Pendapat senada disampaikan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra P.G. Talattov dilansir dari Katadata, yang menilai Ahok tidak cocok menjadi direksi BUMN. “Menjadi seorang CEO harus memiliki background korporasi. Ditambah background bidang usaha BUMN itu sendiri.”

Pandangan netral disampaikan oleh Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, yang menilai pemilihan Dirut BUMN adalah hak prerogatif Menteri BUMN. Ia tidak mempermasalahkan bila Ahok dipilih memimpin BUMN strategis, bahkan BUMN energi.

Komaidi meyakini Erick Thohir pasti sudah mengetahui kelebihan dan kekurangan kandidat direksi BUMN. Jika kandidat yang dipilih tidak menunjukkan performa sesuai harapan, hal itu merupakan tanggung jawab pihak yang memilih. “Mau ditempatkan di mana pun silakan, asal memberikan kontribusi yang terbaik. Silakan saja saya kira,” tegasnya menurut Katadata.
Riwayat eks-napi

RIWAYAT EKS-NAPI

Disadur dari CNN Indonesia, Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) mempertanyakan kebijakan pemerintahan Jokowi yang berencana merekrut Ahok untuk memimpin salah satu BUMN.

Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif menyayangkan kebijakan tersebut, menyinggung rekam jejak Ahok yang pernah dipenjara akibat kasus penistaan agama pada 2017 silam. “Apa di Indonesia enggak ada lagi orang yang track record-nya baik, sopan, tidak kasar, tidak terindikasi korupsi?” singgung Slamet kepada CNN Indonesia lewat pesan singkat pada Kamis (14/11).

Slamet mengaku pihaknya tidak berencana menolak melalui aksi unjuk rasa. Namun, dia mempersilakan para karyawan BUMN yang menolak, jika memang tak sepakat dengan rencana pemerintah. “Kan kita (PA-212) bukan karyawan BUMN, biarkan saja nanti karyawannya yang menolak,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) itu.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan turut menyinggung status mantan narapidana Ahok. Syarief mengaitkannya dengan rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon kepala daerah pada Pilkada 2020. Syarief menegaskan perlunya bersikap selektif dalam menunjuk pejabat tinggi negara.

“Saya pikir, kalau sekarang ini saja pilkada sudah ada pandangan dari KPU bahwa eks-narapidana tak boleh, dan itu kan sudah pernah dilakukan, jadi saya memberikan contoh bahwa pejabat-pejabat negara itu betul-betul harus selektif,” katanya kepada CNN Indonesia di Kompleks DPR/MPR, Jakarta pada Kamis (14/11).

Syarief menyampaikan, pemerintah harus menilai dengan saksama rekam jejak para kandidat yang akan diangkat untuk mengisi jabatan publik, termasuk pimpinan BUMN.

Faktor integritas dan perilaku para kandidat, menurut Syarief, harus menjadi pertimbangan penting karena menyangkut persoalan bangsa dan negara. “Sekalipun ini wewenang eksekutif, tentunya banyak hal yang harus dipertimbangkan.”

POLEMIK KEANGGOTAAN AHOK DI PDI-P

Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga mengaku pihaknya masih mengkaji aturan mengenai apakah kader parpol harus mengundurkan diri bila menjabat sebagai pimpinan BUMN.

Eriko menilai ada beberapa tafsir mengenai regulasi tokoh yang bisa menjadi pimpinan BUMN. Salah satunya, kata dia, bila seseorang hanya berstatus sebagai kader parpol tak perlu mengundurkan diri. “Yang memang wajib mundur itu kan pengurus, contohnya saya kalau dicontohkan jadi eksekutif ya saya mundur dari kepengurusan partai. Tapi kalau jadi bagian dari anggota kan boleh saja,” tegasnya kepada CNN Indonesia.

Senada dengan pernyataan itu, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menyatakan Ahok hanya anggota biasa di PDIP dan tidak tercatat sebagai pengurus, sehingga tidak wajib mundur dari parpol. “Kalau tidak salah, aturannya yang tidak boleh pengurus partai politik,” kata Djarot kepada Liputan 6, Kamis (14/11).

Polemik keanggotaan Ahok sebagai kader PDI-P muncul dalam pernyataan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, yang menegaskan Ahok harus mundur dari parpol bila masuk BUMN.

“Tidak ikut dalam partai politik, tidak boleh berkecimpung dalam partai politik. Kalau pun beliau mau masuk ke BUMN harus mengundurkan diri. Karena BUMN itu ada surat semacam pakta integritas gitu, tidak boleh ikut dalam partai politik atau aktif dalam kegiatan politik,” ujarnya pada Tempo, di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (13/11). [mmp]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: