DEMOKRASI.CO.ID - Kondisi ketenagakerjaan Indonesia sepanjang 2019 ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Salah satu catatan yang cukup memprihatinkan adalah terkait kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
"PHK massal terjadi hampir di seluruh sektor yang ada dan saya yakin semua organisasi serikat pekerja juga mengalami hal yang sama," ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta Pusat, Sabtu (28/12/2019)..
Di sektor retail, ada Giant Supermarket yang belakangan kedapatan menutup banyak gerainya di beberapa wilayah.
"Dari 15 ribuan pekerja itu sekarang tinggal 5 ribu orang karena banyak gerai Giant yang tutup," imbuhnya.
Kemudian, di sektor perbankan juga mengalami kasus PHK Massal di mana sekitar 20 ribuan orang mau tidak mau terkena dampaknya.
Lalu di sektor media, logistik, dan juga di banyak sektor lainnya seperti telekomunikasi, tercatat melakukan PHK massal kepada hampir 5 ribu orang karena berbagai banyak alasan.
Serta, PHK massal akibat implementasi otomatisasi gardu tol. Berdasarkan catatan Aspek Indonesia hingga 2019, penerapan otomatisasi gardu tol ini menyebabkan pemutusan kerja terhadap belasan ribu pekerja.
"Belasan ribu orang di jalan tol sudah tidak lagi mendapatkan pekerjaan, jadi mereka diberikan pesangon sangat minim, 1 kali PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja/pesangon) saja, dan sekarang mereka tidak lagi mendapatkan pekerjaan yang laik, karena kebanyakan pada menjadi pekerja online, driver online dan juga ngewarung kecil-kecilan," imbuhnya.
Union Busting dan Tenaga Kerja Asing
Selanjutnya adalah terkait kasus union busting atau yang bisa dikenal sebagai praktik menghentikan aktivitas serikat pekerja/serikat buruh di sebuah perusahaan.
"Union busting ini banyak sekali terjadi di sektor-sektor perusahaan dan juga serikat pekerja yang baru berdiri, sehari langsung diberanguskan dengan dibungkus, mereka habis kontrak, kemudian mereka dimutasi dan lain sebagainya," terang Mirah.
Selain itu, kasus upah murah pun turut mewarnai keprihatinan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.
"Saat itu pemerintahan telah mengeluarkan dan menerbitkan upah berdasarkan PP 78/2015 yang diterapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, pada akibatnya justru malah melemahkan daya beli masyarakat," sambungnya.
Terakhir terkait tenaga kerja asing (TKA) yang terus membanjiri lapangan kerja di Indonesia.
"Masalah TKA ini sudah mencuat sejak 2015. Pada saat itu jumlahnya masih 20 ribuan orang, kemudian mulai 2016, 2017 sampai 2019 ini jumlahnya sudah hampir menembus angka 1 juta orang TKA yang bekerja di Indonesia," ucapnya.
Paling disayangkan lagi, sebab TKA yang dipekerjakan kebanyakan adalah un-skill labors yang sebenarnya jenis pekerjaan itu bisa dikerjakan oleh penduduk dalam negeri sendiri.
"Persoalannya tenaga kerja asing yang bekerja di sini, bukan tenaga kerja asing yang punya high skills, atau keahlian yang tinggi atau keahlian khusus, tapi kebanyakan adalah buruh kasar yang sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan itu bisa dikerjakan oleh masyarakat Indonesia sendiri," jelas Mirah.
Ditambah lagi, janji pemerintah untuk menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan dianggap juga tidak pernah terwujud.
"Apalagi nanti, yang terjadi malah PHK massal di mana-mana, kemudian TKA masuk membanjiri Indonesia, dan saya yakin ini akan terus bertambah seiring semakin bernafsunya pemerintah untuk menggenjot investasi," pungkasnya.(dtk)