DEMOKRASI.CO.ID - Isu kekerasan dan ketidakadilan yang dialami Muslim Uighur oleh pemerintah China kembali mencuat di tanah air lantaran dipicu dengan sebuah artikel dari The Wall Street Journal dengan judul “How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps”.
Dalam artikel yang ditulis oleh koresponden WSJ yang berbasis di Hong Kong, Jon Emont yang dirilis pada Rabu (11/12) tersebut dijelaskan pemerintah China berusaha untuk membungkam ormas-ormas Islam di Indonesia dengan cara memberikan bantuan dan donasi.
Menanggapi hal ini, NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia menyanggah dengan keras tudingan tersebut.
Namun, sebelum artikel tersebut muncul, sebenarnya dunia telah kembali dihebohkan oleh kasus muslim Uighur dengan disahkannya UU Uighur oleh parlemen Amerika Serikat.
Dalam UU yang telah disetujui parlemen AS pada awal Desember tersebut, pemerintahan Presiden AS Donald Trump akan mendeklarasikan kecamannya terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap etnis Uighur. Lebih lanjut, AS juga akan memberikan sanksi kepada para pejabat yang terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut.
Etnis Uighur sendiri adalah etnis minoritas yang tinggal di Xinjiang, China. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 10 juta jiwa dengan mayoritas beragama Islam Sunni. Isu pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur muncul sekitar tahun 2017.
Pada saat itu, isu yang mencengangkan adalah satu hingga dua juta muslim Uighur ditempatkan di kamp-kamp untuk dicuci otak dan menerima tindakan kekerasan. Selain itu, muncul juga berbagai isu mengenai kekerasan yang dialami oleh muslim Uighur, di antaranya seperti:
1. Melarang pemberian nama yang berkaitan dengan Islam untuk bayi muslim Uighur
"Muhammad", "Arafat", "Jihad", "Medina", dan nama-nama yang berkaitan dengan Islam lainnya dilarang untuk diberikan kepada bayi muslim Uighur yang baru lahir. Nama-nama itu sendiri masuk ke dalam “List of Banned Ethnic Minority Names” yang ditulis oleh aktivis Uihur di The New York Times pada 2017 lalu.
2. Menyita Al-Quran dan Sajadah
Isu lain yang muncul adalah pemerintah China menyita Al Quran, sajadah, dan simbol keagamaan lainnya milik minoritas Muslim Uighur. Dimuat Radio Free Asia pada 27 September 2017, dijelaskan apabila suatu saat barang-barang tersebut ditemukan, mereka akan mendapatkan hukuman kekerasan.
3. Melarang belajar agama dan Al-Quran
Dilansir dari laporan Al Jazeera, yang dirilis pada 17 Januari 2018, pemerintah China melarang anak-anak muslim Uighur untuk mendatangi masjid atau menghadiri kegiatan keagamaan selama musim dingin, termasuk melarang mereka membaca Al-Quran.
4. Melarang puasa dan membuat masjid menjadi tempat propaganda
Kembali dimuat Radio Free Asia pada 3 Agustus 2017, dalam kunjungan Ketua Partai Komunis Xinjiang Chen Quangquo pada Agustus 2016 ke Xinjiang, ia melarang Muslim Uighur untuk berpuasa Ramadhan untuk tahun 2017.
5. Mengganti tulisan syahadat dengan slogan Partai Komunis
Dalam kunjungan itu pula, Chen memerintahkan untuk mengganti tulisan di Masjid Jama yang terletak di Kashgar, Kargilik dari "Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah" menjadi "Cintai Partai Komunis, Cintai Negara".
6. Memasang kamera pendeteksi wajah di Xinjiang
Ketakutan China akan terorisme dan mengaitkannya dengan Islam membuat pemerintah China, seperti yang dimuat The Guardian pada 18 Januari 2018 memasang sejumlah kamera pengawas pendeteksi wajah di Xinjiang. Kamera tersebut digunakan pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol Muslim Uighur.
7. Dipaksa menerima anggota Partai Komunis untuk tinggal bersama
Seperti yang dilansir dari CNN pada 14 Mei 2018, keluarga Muslim Uighur di Xinjiang selatan diharuskan untuk menerima tamu dari Partai Komunis China yang akan tinggal selama sepekan. Tujuannya adalah untuk "mengedukasi politik" yang dianggap sebagian pihak adalah cuci otak.
8. Pernikahan beda ras
Pemerintah China dalam South China Morning Post yang dirilis pada 28 Mei 2015 juga mendorong Muslim Uighur untuk menikah dengan etnis lain dengan alasan untuk melawan intoleransi dan persatuan etnis. Namun, beberapa pihak mengartikan ini sebagai usaha China untuk mendorong kepunahan Muslim Uighur.
9. Kamp-kamp "vokasi"
Sekitar satu hingga dua juta orang Muslim Uighur dinyatakan berada dalam sebuah kamp yang dinamakan kamp vokasi. Pemerintah China mengatakan kamp tersebut bertujuan untuk mengedukasi dan meningkatkan skill mereka, namun dari beberapa laporan media menyatakan kamp-kamp tersebut digunakan untuk mengkurasi pengetahuan agama Muslim Uighur dan menggantinya dengan pengetahuan komunisme.(rmol)