logo
×

Minggu, 29 Desember 2019

Kisah Getir PSK di Bisnis Esek-esek Cipanas Cianjur

Kisah Getir PSK di Bisnis Esek-esek Cipanas Cianjur

DEMOKRASI.CO.ID - Bisnis esek-esek di kawasan Cipanas Cianjur pada momen libur Natal dan tahun baru (Nataru) makin menggeliat. Namun di balik itu ada kisah getir dari para perempuan yang bekerja di kawasan prostitusi.

Para perempuan pekerja seks komersil (PSK) ini harus melayani banyak pria hidung belang dalam semalam. Bahkan saat tengah menstruasi ataupun sakit.

Seperti yang dialami Melati (bukan nama sebenarnya). Perempuan asal Bogor yang bertubuh sintal tersebut menjadi PSK sejak dua tahun lalu.

Awalnya dia sempat bekerja di sebuah perusahaan konveksi di Jakarta. Namun temannya mengajak untuk bekerja di Cianjur dengan menjanjikan penghasilan yang lebih.

"Ternyata malah kerjanya seperti ini, jadi PSK. Tapi mau bagaimana lagi, demi menutupi kebutuhan," ungkap melati saat ditemui, Jumat (27/12/2019) lalu.

Setiap malamnya, Melati harus melayani banyak pria hidung belang, bahkan di momen libur panjang seperti Natal dan tahun baru dia bisa melayani hingga belasan orang.

Tidak jarang dia juga melayani tamu saat datang haid. Ia terpaksa minum obat khusus untuk menahan darah haid keluar sebelum bekerja.

Meskipun ampuh membuat dia terlihat tak sedang haid, tetapi efek sampingnya cukup menyiksa. Salah satunya dia harus mendatangi layanan kesehatan untuk menguras darah yang tertahan keluar, serta merasakan sakit setelahnya.

"Kalau udah kerasa sakitnya dan sedang ada tamu terpaksa ditahan. Melayani sambil menahan perih di bagian perut. Tapi mau bagaimana lagi kalau tidak bekerja kan takut sama bosnya," terang dia.

Ternyata dengan tenaganya yang dikuras habis dan harus menderita ketika mesti melayani saat haid, tidak lantas membuatnya mendapatkan uang melimpah. Pasalnya dari hasil yang didapat dari setiap tamu, dia harus membaginya dengan calo dan bos tempatnya bekerja.

Sesekali dia mengaku ingin mencari pekerjaan yang jelas dan meninggalkan pekerjaannya sebagai PSK. Namun tidak adanya identitas kependudukan membuatnya belum memiliki pilihan.

"Kalau dapat Rp 250 ribu dari tamu, itu dipotong ke calo dan lainnya. Paling dapatnya hanya Rp 130 ribu. Inginnya bekerja di mana saja, mau dipabrik juga tidak apa. Tapi kan saya tidak punya KK dan KTP. Orangtua juga sudah berpisah, jadi tidak punya tempat untuk pulang," tutur dia.[dtk]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: