DEMOKRASI.CO.ID - Sebanyak 3 negara Islam yakni Iran, Malaysia, dan Qatar mempertimbangkan pembayaran perdagangan internasional menggunakan emas melalui sistem barter.
Pada akhir pertemuan Islamic Summit di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Muhammad memuji Iran dan Qatar karena berhasil bertahan dalam embargo ekonomi. Menurutnya, penting bagi dunia Muslim untuk mandiri dalam menghadapi ancaman di masa depan.
"Dengan dunia menyaksikan negara-negara membuat keputusan sepihak untuk menjatuhkan tindakan hukuman seperti itu, Malaysia dan negara-negara lain harus ingat bahwa hal itu dapat diberlakukan juga pada kita," kata Mahathir, seperti dilansir dari Reuters, Sabtu (21/12/2019).
Negara-negara Arab yang bersekutu dengan AS yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Qatar sekitar 2-1/2 tahun yang lalu atas tuduhan mendukung terorisme. Iran, sementara itu, mendapat pukulan telak setelah Amerika Serikat menerapkan kembali sanksi terhadapnya.
"Saya menyarankan agar kita melihat kembali gagasan perdagangan menggunakan dinar emas dan perdagangan sistem barter di antara kita," kata Mahathir, merujuk pada koin emas abad pertengahan Islam.
"Kami serius melihat ini dan kami berharap bahwa kami dapat menemukan mekanisme untuk menerapkannya."
KTT juga diperkirakan membahas masalah-masalah besar lain yang mempengaruhi umat Islam, termasuk Palestina, Kashmir, dan nasib Muslim Rohingya di Myanmar, juga kamp-kamp China untuk Muslim Uighur di wilayah barat Xinjiang.
Tanpa menyebut nama negara mana pun, Mahathir mengatakan ada kekhawatiran bahwa Muslim di negara-negara non-Muslim dipaksa untuk melakukan asimilasi.
"Kami mendukung integrasi, tetapi asimilasi sampai batas penumpahan agama tidak dapat kami terima," katanya.
Pada konferensi pers, dia mengatakan para peserta pertemuan telah diberitahu bahwa warga Uighur ditahan di China.
"Kita harus mendengar negara, kita harus mendengar orang-orang yang mengeluh, maka itulah yang adil," katanya.
Dia menyebut tindakan UU kewarganegaraan baru India juga tidak menguntungkan. Tindakan ini memfasilitasi naturalisasi non-Muslim yang lebih cepat dari Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan yang menetap di India sebelum 2015. [cnbc]