DEMOKRASI.CO.ID - Peneliti Lembaga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot, mengkritik cara Pemerintah Indonesia dalam melawan radikalisme. Meski memang membahayakan, tapi cara yang dipakai pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) - Ma'aruf Amin dinilai ikut memberengus aspirasi publik.
Berenschot menjelaskan, pemeritah Jokowi-Amin melawan radikalisme tanpa sasaran yang jelas. Definisi radikalisme yang dipakai terlalu luas sehingga juga menyasar kelompok masyarakat sipil yang berbeda pendapat dengan pemerintah.
"Definisi radikalisme (yang dipakai pemeritah) adalah semua orang yang punya pendapat berbeda. Mereka yang punya gagasan tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah," kata Berenschot lewat sambungan telepon dari Belanda saat peluncuran buku 'Outlook Demokrasi LP3ES: Menyelamatkan Demokrasi Indonesia' di Gedung ITS Tower, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12).
Lebih lanjut, ia juga melihat bahwa Pemerintahan Jokowi-Amin kali sedang menggunakan Pancasila sebagai ideologi untuk melawan orang-orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah. "Orang yang berbeda pendapat akan dibilang anti-Pancasila," ucapnya.
Berenschot pun berkesimpulan, kampanye melawan radikalisme dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi akhirnya malah mematikan debat publik dan kekuatan masyarakat sipil. Ia pun menyarankan agar pemerintah lebih fokus menghentikan kelompok-kelompok yang memang ingin melakukan kekerasan.
Dalam pemaparannya, Berenschot juga menyoroti keberadaan kekuatan oposisi dalam sistem politik Indonesia. Dengan bergabungnya Prabowo Subianto ke koalisi pemerintah, kata dia, akhirnya membuat kekuatan oposisi melemah.
Walaupun saat ini ada PKS dan Demokrat, tapi dalam pengamatan Berenschot kedua partai itu tidak cukup kuat untuk mengawasi Pemerintahan Jokowi-Amin. "Mereka tidak punya banyak kursi di parlemen. Parlemen bisa diprediksi tahun depan tidak akan efektif mengwasi pemeritah," ucapnya.(*)