DEMOKRASI.CO.ID - Sikap Presiden Joko Widodo dalam menggunakan hak prerogatif dengan cara mengurusi karir di internal Polri akan berdampak menganggau profesionalisme di kepolisian.
Demikian disampaikan pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (26/12).
Menurut Khairul, pengangkatan seorang perwira tinggi (Pati) Polri merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, jika terlalu ikut campur akan berdampak pada profesionalisme Polri sendiri.
"Kalau sampai level di bawah pimpinan Kapolri dan Wakapolri masih diatur-atur terlalu dalam, saya kira juga kurang baik, karena itu kan sebenarnya menganggu, jelas itu berpotensi menganggu profesionalisme Polri sendiri," ucap Khairul.
Padahal, lanjut Khairul, karir di tubuh Polri sudah memiliki sistem sendiri yang menjadi acuan atas pengangkatan seorang Polri.
"Mestinya promosi, mutasi itu kan ada sistem sendiri yang menjadi acuan. Dasar-dasarnya jelas, kemampuan, kompetensi, prestasi segala macam, itu yang mestinya kriteria-kriteria yang ketat seperti itu mestinya ada," jelasnya.
"Tapi karena Presiden terlalu dalam mengikuti proses-proses mutasi di tubuh Polri itu menjadi kesannya sistem diabaikan, itu yang kesan yang tampak, kriteria-kriteria ini jadi cuma klaim-klaim yang tidak jelas ukurannya," sambung Khairul.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane sebelumnya berpandangan, penunjukan Irjen Nana Sujana sebagai Kapolda Metro Jaya menunjukkan Jokowi semakin hendak menonjolkan "geng Solo" di Polri.
Selain Nana, mantan Kapolrestabes Solo yang langsung melejit karirnya adalah Brigjen Ahmad Luthfi. Dan yang paling anyar diangkatnya Irjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kabareskrim.[rmol]