logo
×

Minggu, 12 Januari 2020

KPK Dinilai Blunder Jika tak Mampu Geledah Kantor Partai

KPK Dinilai Blunder Jika tak Mampu Geledah Kantor Partai

DEMOKRASI.CO.ID - Memasuki awal 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung membuat gebrakan. Setidaknya dalam waktu sepekan lembaga anti rasuah rersebut sudah dua kali menggelar operasi tangkap tangan (OTT), yakni terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Komisioner KPU Pusat Wahyu Setiawan.

Namun, pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai gebrakan KPK tersebut justru akan menjadi blunder, jika KPK tidak berani memasuki gedung salah satu partai yang kadernya terlibat dalam kasus korupsi. Seperti diketahui, dalam kasus Wahyu, penyidik KPK sempat tidak berhasil melakukan penyegelan terhadap kantor DPP PDIP.

"Menurut saya ini blunder bagi KPK. Kenapa dia sudah melaksnakan OTT, sudah menangkap delapan orang, empat orang tersangka. Tetapi masuk ke gedung partai tertentu tidak bisa," ujar Suparji dalam diskusi publik bertema 'KPK: UU Baru, Komisioner Baru, Gebrakan Baru' di Jakarta Pusat, Sabtu (11/1).

Menurut dia, jika gebrakan KPK dalam mengungkap kasus korupsi hanya berhenti pada OTT, akan membuat masyarakat tidak percaya lagi pada KPK. Misalnya, dia mencontohkan kasus suap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan yang ikut menyeret Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto ke dalam pusaran kasus.

"Itu artinya blunder. Kecuali setelah ini kemudian KPK secara sungguh-sungguh memanggil nama-nama yang tersebut dalam perkara tersebut. Misalnya, yang paling banyak disebut adalah Sekjen DPP PDIP," ucapnya.

Suparji mengatakan, dalam kasus suap tersebut seharusnya KPK berani memanggil Hasto untuk memberikan klarifikasi. Sehingga, tidak terjadi fitnah dan muncul spekulasi yang macam-macam di maayarakat.

"Lebih baik dipanggil untuk melakukan klarifikasi. Kalau memang tidak, clear. Tetapi kalau ada unsurnya harus ada pertanggungjawaban," kata Suparji.

Dalam forum diskusi yang sama, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Mudzakir meminta KPK untuk menunjukkan surat izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK dalam kasus yang menjerat komisioner KPU Wahyu Setiawan. Menurut dia, surat izin tersebut penting agar masyarakat percaya bahwa OTT yang dilakukan KPK sudah sesuai prosedur.

"Harus dibuktikan, publish, ini lho surat izinnya. Jadi kita tidak berpolemik. KPK sampaikan kepada umum. Ini urusannya penegakan hukum. Kalau salah langkah, sebut saja izin maka bisa menyalahi wewenang," kata Mudzakir.

Mudzakir kemudian menyoroti tindakan-tindakan hukum KPK yang melanjutkan kebijakan pimpinan KPK sebelum adanya Dewan Pengawas. Menurut dia, perlu adanya dasar hukum untuk melegitimasi tindakan OTT yang dilakukan KPK pada masa peralihan tersebut.

"Bahwa dia harus punya legitimasi dalam masa peralihan. Agar punya dasar hukum yang kuat," jelas Mudzakir.

OTT terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan memang sempat ditindaklanjuti tim penyelidik KPK dengan upaya penyegelan ruangan di kantor DPP PDIP, di Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (9/1). Namun, langkah penyegelan itu gagal dilakukan.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam keterangan persnya pada Kamis malam, menjelaskan ihwal gagalnya upaya penyegelan di kantor DPP PDIP. Menurut Lili, saat itu tim Satgas KPK hendak memasang garis KPK, namun karena lamanya birokrasi tim KPK meninggalkan tempat sebelum memasang garis KPK.

"Bahwa tim penyelidik tidak ada rencana menggeledah (belum masuk penyidikan) karena sementara itu masih penyelidikan. Kami mau membuat KPK line, jadi untuk mengamankan ruangan," kata Lili.

Lili menegaskan, Tim KPK, juga sudah dibekali dengan surat tugas. Hal itu sekaligus membantah pernyataan petinggi PDIP yang menyinggung masalah administratif, yakni surat perintah tugas Tim Satgas KPK yang mendatangi kantor DPP PDIP.

"Mereka juga sudah koordinasi dengan security di kantor dan terlalu lama sehingga kemudian ditinggalkan," terang Lili. [rol]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: