logo
×

Senin, 13 Januari 2020

KPK Hidup Ambyar, Disebut Mati Tak Mau

KPK Hidup Ambyar, Disebut Mati Tak Mau

DEMOKRASI.CO.ID - "Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang tidak disertai penggeledahan pada waktunya," kata Ketua KPK periode 2011-2015 Abraham Samad via Twitter, "tidak saja menyimpang dari SOP, tapi membuka peluang hilangnya barang bukti, petunjuk, dan alat bukti lain. Ini sama dengan memberi waktu pelaku kejahatan buat hilangkan jejak."

Samad sedang mengomentari peristiwa yang baru saja terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) batal menggeledah dan menyegel salah satu ruangan di Kantor DPP PDIP, Kamis (9/1/2020) lalu. Penggeledahan akan dilakukan pekan depan, setelah penyidik mengantongi izin dari Dewan Pengawas KPK.

Penggeledahan terkait kasus dugaan suap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan beberapa tersangka lain.

Kasus ini bahkan menyeret nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Hasto, kata Tempo, memerintahkan tim hukum mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung pada Juni 2019 agar menyerahkan kewenangan mengganti calon legislatif yang meninggal ke partai.

PDIP akhirnya memilih Harun Masiku menggantikan Nazarudin Kiemas, yang meninggal dunia. Terpilihnya Harun janggal karena dia ada di urutan kelima, sementara urutan kedua--yang sebenarnya paling berhak--adalah Riezky Aprilia. Harun kini juga sudah jadi tersangka dan kabur ke luar negeri.

Banyak yang mengaitkan kasus ini dengan revisi UU KPK, termasuk Samad yang dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (13/1/2020). Dalam UU KPK hasil revisi, penggeledahan hanya dapat dilakukan jika persetujuan dari Dewan Pengawas sudah dikantongi. Mekanisme ini terbukti membuat gerak KPK jadi birokratis.

Menurutnya tak ada istilah lain yang paling tepat untuk menggambarkan mekanisme baru tersebut selain "pelemahan KPK." Dan, katanya, "jalan keluarnya kembali ke undang-undang lama" atau Perppu yang diterbitkan Presiden Joko Widodo.

Semuanya untuk "menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi," tegasnya.

Selain sepakat dengan Samad, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman juga mengatakan kasus ini membuktikan bahwa pernyataan pihak-pihak yang pro UU KPK direvisi tak terbukti sama sekali.

Kasus ini membuktikan bahwa "revisi UU melemahkan KPK. KPK menjadi sulit dalam melakukan OTT atau bahkan bisa dikatakan KPK semakin mustahil untuk melakukan OTT."

Zaenur juga mengkritik sikap internal KPK dalam penindakan. KPK, katanya, tidak profesional karena meninggalkan lokasi penggeledahan. Ia juga menyebutkan ada kabar burung yang mengatakan "penyelidik KPK dimarahi atasannya, kemudian tim yang melakukan pengejaran diganti dengan tim yang lain."

"Menurut saya ini melemahkan moral penyelidik KPK," tegasnya.

Zaenur lantas mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) mengesahkan gugatan koalisi masyarakat sipil terhadap revisi UU KPK. Tanpa itu, katanya, "sulit kita berharap KPK mampu menangani kasus-kasus dengan dimensi politik."

Dimensi politik yang dimaksud adalah ketika KPK "menghadapi partai politik penguasa, PDIP."

PDIP sendiri menegaskan "menyerahkan sepenuhnya proses penegakan hukum tanpa intervensi."
Jawaban Normatif

Juru Bicara Jokowi Fadjroel Rachman menjawab normatif saat ditanya soal lambannya KPK saat ini.

Di kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin (13/1/2020), Fadjroel menegaskan pihak Istana menyerahkan semua kepada Dewas dan Komisioner KPK. Tak ada sedikit pun niat mengintervensi, katanya.

"Tidak akan [mengintervensi] karena negara ini negara hukum, bukan negara kekuasaan. Jadi negara berdiri dan berlaku untuk semua pihak, siapa pun itu," kata Fadjroel.

Terkait desakan untuk mengeluarkan perppu, Fadjroel menegaskan apa yang sudah berkali-kali dinyatakan Istana: mereka tak akan mengabulkan keinginan masyarakat tersebut.

"Undang-undang yang sekarang adalah undang-undang berdasarkan politik hukum. Pemerintahan Jokowi menghormati hukum positif yang ada," katanya.[tirt]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: