
DEMOKRASI.CO.ID - Revisi UU 30/2002 tentang KPK pernah mengandung salah ketik sebelum diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kini, giliran draft omnibus law Cipta Lapangan Kerja yang salah ketik.
Ingatan publik tentu masih hangat tentang kesalahan pengetikan dalam Revisi UU 30/2002 tentang KPK. Saat ketik itu baru ketahuan, setelah draft RUU KPK ini telah disahkan menjadi UU KPK lewat sidang Paripurna DPR pada 17 September 2019.
Adapun kata-kata yang typo atau salah ketik ada di bagian penulisan Pasal 29. Pimpinan KPK ditulis harus memenuhi persyaratan paling rendah 50 tahun (tertulis dalam angka). Namun angka dan keterangan di dalam kurung tidak ditulis sama. Keterangan dalam bentuk tulisan menyebutkan 'empat puluh tahun'.
Akibatnya, UU KPK ini sempat tertahan di Istana dan belum diteken oleh Presiden Jokowi. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menyebut UU itu belum diteken karena masih ada typo.
"Sudah dikirim, tetapi masih ada typo, yang itu kita minta klarifikasi. Jadi mereka sudah proses mengirim katanya, sudah di Baleg," Pratikno di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2019).
Ketua Baleg DPR periode 2014-2019 Supratman Andi Agtas menilai salah ketik dalam undang-undang adalah hal biasa. Supratman menyebut pembahasan soal salah ketik itu tidak bisa dilakukan secara sepihak.
"Jadi typo itu sesuatu hal yang biasa ya, biasa. Itu kan cuma satu aja typo-nya, menyangkut soal angka dan huruf. Cuma mekanismenya walaupun saya sudah tahu apa yang menjadi isi yang sebenarnya, tapi kan tidak boleh saya mengambil keputusan tindakan sepihak sebagai Ketua Baleg atau Ketua Panja," kata Supratman di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Namun tanggapan berbeda disampaikan oleh Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode M Syarif. Laode menyebut salah ketik itu bisa muncul karena UU KPK dibuat terburu-buru.
"Ya itulah misalnya, bahkan ada kesalahan ketik karena ini memang dibuat terburu-buru dan dibuat sangat tertutup," kata Laode di gedung ACLC, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2019).
DPR lantas melakukan perbaikan dan menyerahkan kembali UU KPK ini. UU ini kemudian resmi berlaku 18 Oktober 2019. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia resmi mencatat revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) ke Lembaran Negara sebagai UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.
Kesalahan ketik UU KPK ini ternyata berulang pada draft RUU Cipta Lapangan Kerja. Ada kesalahan ketik dalam pasal omnibus law itu yang membuat maknanya berubah. Presiden disebut bisa
Sebagaimana dikutip sebelumnya, dalam RUU Cipta Kerja disebutkan kewenangan presiden mengubah UU lewat PP. Regulasi itu tertuang dalam BAB XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja, dalam Pasal 170.
Bunyi Pasal 170:
Pasal 170
Ayat (1)
Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
Ayat (2)
Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah," demikian bunyi pasal 170 ayat 2.
Ayat (3)
Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyebut Perppu memang sejak dulu. Namun, UU diganti dengan PP itu menurut Mahfud tidak bisa.
"Kalau lewat Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) kan sejak dulu. Kalau undang-undang diganti dengan Perppu itu sejak dulu bisa. Sejak dulu sampai kapan pun bisa tapi kalau isi undang-undang diganti dengan PP, diganti dengan Perpres (Peraturan Presiden) itu tidak bisa. Mungkin itu keliru ketik," kata Mahfud di Universitas Indonesia (UI), Depok, Senin (17/2/2020).
Namun Mahfud mengaku belum tahu pasti apa isi dari RUU Omnibus Law itu. Bilamana ada kekeliruan, Mahfud memberi saran agar siapa pun melaporkannya ke DPR.
"Atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada begitu. Oleh sebab itu, kalau ada yang seperti itu disampaikan saja ke DPR dalam proses pembahasan. Coba nanti dipastikan lagi deh saya tidak yakin kok ada isi UU bisa diganti dengan Perppu. kalau bukan produk hukum, itu konteksnya ke atas ya. Konteksnya lain, bukan masalah ketentuan-ketentuan teknis barangkali," kata Mahfud.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin keheranan terkait pasal dalam omnibus law RUU Cipta Kerja yang memberikan kewenangan kepada Presiden Jokowi mengubah undang-undang (UU) melalui peraturan pemerintah (PP).
"Wah nggak bisa ini, nggak bisa. Secara hukum normatif, PP nggak bisa ubah UU," kata Azis saat ditemui di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2020).
Namun Azis enggan menyalahkan pemerintah sebagai pihak yang menyusun RUU Cipta Kerja. Ia memprediksi terdapat kesalahan pengetikan.
Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dia menyebut PP tidak bisa melawan UU.
"Ya, ya, nggak bisa dong PP melawan undang-undang. Peraturan perundang-undangan itu," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020).
Namun Yasonna memastikan eksekutif tidak perlu kembali merevisi pasal. Perbaikan bisa dilakukan di DPR karena draf RUU sudah disetor ke legislatif.
"Itu tidak perlu karena nanti di DPR nanti akan diperbaiki," ujar Yasonna.