
DEMOKRASI.CO.ID - Draf Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) tengah disodorkan ke DPD pusat.
Dalam draf Omnibus Law Cilaka, tiga beleid mengenai ketenagakerjaan akan diubah.
Perubuhan itu menyangkut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), serta UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Dalam usulan perubahan UU itu turut disinggung mengenai upah yang terutang pada pasal 88C draft RUU.
Hal itu membuat penetapan upah minimum provinsi (UMP) sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji.
Tak hanya itu, lewat usulan Cilaka, pemerintah memangkas besaran pesangon yang wajib dibayarkan pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain upah, usulan Cilaka juga mengubah sejumlah ketentuan cuti khusus atau izin yang tercantum dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Draf usulan juga menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur tentang pekerja outsourcing.
Penghapusan ketentuan Pasal 59 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan juga akan dilakukan untuk mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Beberapa isinya menyangkut ketentuan PKWT hanya boleh dilakukan paling lama 2 tahun, dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Hal itu membuat sejumlah federasi buruh menyatakan penolakan terhadap usulan draf Cilaka.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi Dan Umum (FSP KEP) KSPI Jateng, Ahmad Zainuddin, penolakan dilakukan karena beberapa hal yang krusial dalam usulan Cilaka.
"Di antaranya tidak ada kepastian dalam bekerja, sistem kerja outsourcing juga tidak ada batasan waktu," katanya, Senin (17/2/2020).
Menurut dia, lewat UU itu pekerja asing tak memiliki skill juga diizinkan bekerja dan lebih mudah masuk ke semua sektor.
"Tak hanya itu, jaminan pendapatan dan jaminan sosial akan hilang karena penerapan sistem kerja per jam," paparnya.
Zainuddin menuturkan, usulan Omnibus Law sama sekali tidak berpihak dan mendukung kesejahteraan pekerja.
"Sama sekali tidak ada proteksi untuk pekerja. Kalau tetap diterapkan, kami akan lakukan aksi all out, kami siap bertaruh nyawa dalam aksi," ucapnya.
Ia berujar, aksi besar-besaran akan dilakukan, karena kebijakan itu bakal berdampak ke anak cucu.
"Di Jateng ada sekitar 200 ribu pekerja yang siap menggelar aksi jika pemerintah tetap mengesahkan aturan itu," jelasnya.
Proposional
Menanggapi hal itu, ekonom Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wahyu Widodo menyatakan, pemerintah harus melihat secara proposional terkait dengan usulan draf Cilaka, meski skenario dalam UU itu bertujuan menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih baik, dan memberikan win-win solution antara pekerja dan pengusaha.
"Draf itu dianggap lebih memihak pada pengusaha, dan muncul penolakan dari serikat buruh. Untuk itu harusnya pemerintah bisa melihat secara proporsional," tandasnya.
Dia menambahkan, dibandingkan dengan negara-negara lain, aturan ketenagakerjaan Indonesia paling berat dan rigid.
"Aturan Ini menyebabkan tidak kompetitifnya dunia kerja, dan menghambat masuknya investasi baru," tukasnya.
Wahyu mengungkapkan, selama ini yang keberatan dengan UU Ketenagakerjaan dari pihak pengusaha adalah soal aturan pesangon.
"Maka wajar jika Omnibus Law Cilaka yang dibuat pengusaha ditentang pekerja, karena ada kepentingan di dalamnya," ujarnya.
Ia menambahkan, kemungkinan besar presiden tidak akan membatalkan draf usulan Omnibus Law tersebut.
"Omnibus Law itu usulan eksekutif, artinya presiden sebagai wakil pemerintah, dan hal ini sudah lama digagas presiden," tuturnya. (jateng.tribunnews.com)

