logo
×

Sabtu, 15 Februari 2020

Foto Perempuan Disamarkan: Potret Anti-Kesetaraan Gender di Kampus

Foto Perempuan Disamarkan: Potret Anti-Kesetaraan Gender di Kampus

DEMOKRASI.CO.ID - Beberapa hari terakhir ramai unggahan foto pengurus perempuan yang disamarkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik dan FMIPA Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Bukan hanya satu-dua orang saja, tapi semua pengurus yang perempuan disamarkan. Sangat kontras dengan semua pengurus laki-laki yang tidak disamarkan wajahnya.

Ketua BEM Fakultas Teknik UNJ, Ibrahim Katoni Baurekso, membantah telah memblur foto pengurus perempuan. Hal itu disampaikan Ibrahim dalam keterangan tertulis yang diunggah di akun Instagram @bemftunj.

"Bahwa tidak benar adanya foto BPH perempuan diblur, melainkan diturunkan opacity," tulis Ibrahim.

Ibrahim juga membantah adanya feminisme, patriarki, dan seksisme di tubuh BEM FT UNJ. Ia mengklaim pemasangan foto yang diturunkan intensitas gambarnya merupakan hasil keputusan bersama.

“Sebelumnya, ada pihak BPH wanita yang tidak menginginkan fotonya untuk dipublikasikan, namun beberapa BPH wanita yang ingin tetap memublikasikan foto mereka," kata dia.

Sementara BEM FMIPA lewat keterangan tertulis menyampaikan bahwa foto pengurus perempuan yang diganti dengan gambar anime merupakan kiriman lama.

“Kiriman tersebut adalah kiriman periode 2017 dan 2018. Kami kepengurusan periode 2020 tidak berhak memberikan penjelasan terkait kiriman tersebut,” tulis keterangan pers BEM FMIPA UNJ.

Lewat keterangan tertulis, Rabu (12/2/2020), pimpinan UNJ menyatakan kampus mengedepankan nilai-nilai kesetaraan gender dan menentang semua bentuk diskriminasi. Pimpinan UNJ pun telah memanggil pengurus BEM Fakultas Teknik dan FMIPA untuk meminta klarifikasi.

Kasus foto diblur tak hanya terjadi di UNJ. Salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta juga demikian. Jamaah Muslim Geografi (JMG) memburamkan foto para mahasiswi pada struktur organisasi yang diunggah di akun Twitter @JMG_UGM.

Hal tersebut menimbulkan polemik. Bahkan Rektor UGM, Panut Mulyono pun angkat bicara. Panut juga menegaskan dirinya akan menasihati dan mengimbau kepada JMG.

Kampus Harus Progresif Setara Gender

Koordinator Bidang Sosial dan Kebudayaan Fatayat Nahdlatul Ulama (NU), Ufi Ulfiah, mengaku sangat menyayangkan tindakan memburamkan foto oleh mahasiswa UNJ dan UGM. Apalagi bila itu adalah kesepakatan dengan alasan membatasi ruang ekspresi perempuan atau alasan ideologis seperti wajah perempuan tak boleh ditampakkan.

“Kami sangat menyayangkan, apalagi institusinya kampus. Satu institusi yang harusnya progresif dalam konteks pemikiran dan hal-hal yang mendukung keadilan dan kesetaraan gender,” kata Ufi saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (14/2/2020).

Padahal, kata Ufi, Indonesia merupakan salah satu negara yang justru menjadi rujukan beberapa negara Islam di dunia dalam ranah kesetaraan gender.

"Bahkan kita menjadi contoh karena kerap mengkampanyekan kesetaraan gender, baik di dalam ruang domestik hingga ke ruang publik, sampai isu pembangunan," kata Ufi.

Ufi mengaku skeptis dengan dalih "kesepakatan bersama" tersebut. Menurut dia, jika didasarkan pada pembatasan ruang ekspresi perempuan, maka hal tersebut sudah bias dan diskriminatif.

"Masak lelaki boleh, perempuan tidak? Itu sudah biner. Itu menjadi salah satu pandangan yang mendiskreditkan perempuan. Itu alarm buat kampus. Kasus UNJ dan UGM ini harus jadi alarm. Ini UGM lho, yang kemarin bangga dengan kampus Pancasila. Ini harus menjadi kesadaran bersama," kata dia.

Ia menambahkan, “Perempuan-perempuan di Indonesia, ayolah, kita harus keluar, kita harus progresif, kita harus mendukung kebebasan ekspresi dan keadilan perempuan di ruang publik. Bukan malah mendomestifikasinya.”

Kritik senada diungkapkan Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad. Ia menilai tindakan membuat blur foto perempuan di UNJ dan UGM membuktikan bahwa itu masih kentalnya paradigma yang menempatkan perempuan tidak setara dengan laki-laki.

“Akibatnya, perempuan selalu dipersalahkan dan dituduh sebagai penyebab atau biang keladi dari kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Karena itu, sebagian masyarakat berpandangan bahwa menyembunyikan atau menutupi bagian tubuh perempuan akan mengurangi potensi terjadinya kekerasan seksual pada perempuan,” kata Bahrul saat dihubungi pada Jumat (15/2/2020).

Ia juga menilai blur foto perempuan menunjukan bahwa betapa masih rendahnya tingkat literasi generasai muda Indonesia terhadap teks-teks keagamaan.

Menurut Bahrul, mudahnya para anak muda mengakses informasi keagamaan secara online, tidak dibarengi dengan pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama.

“Meskipun sekarang ini banyak beredar informasi keagamaan yang mudah diakses, namun informasi tersebut hanya sepotong-sepotong dan kebanyakan hanya kulitnya. Tidak banyak anak muda yang mampu dan punya kesempatan mengakses khasanah teks dan sumber ajaran keagamaan yang otoritatif yang di dalamnya juga banyak informasi yang mendukung dan menjamin kesetaraan perempuan,” kata dia.

Paradigma Anti-kesetaraan Gender

Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan menilai kejadian yang terjadi di UNJ dan UGM adalah bentuk menguatnya konservatisme keagamaan di perguruan tinggi. Menurut dia, dua fenomena tersebut hanya puncak dari gunung es konservatisme keagamaan di lingkungan kampus.

Halili menduga banyak faktor yang mempengaruhi fenomena macam itu. Ia merujuk survei yang dilakukan lembaganya pada tahun lalu, bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi adalah orang tua atau keluarga.

“Lingkar sosial terinti dari mahasiswa [bahkan siswa SMA] kita ternyata mendorong pola keagamaan yang lebih konservatif," kata Halili saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (14/2/2020).

Yang kedua, kata Halili, adalah faktor guru mereka waktu di SMA. Ia menilai guru pendidikan agama tingkat SMA kedalaman pengetahuan keagamaannya terbatas.

"Faktor lain, media sosial atau eksposure mereka pada pengajian-pengajian keagamaan eksklusif dan konservatif di internet. Kita harus jujur akui pengajian konservatif di dunia maya jauh lebih aktif dan intensif dibandingkan yang moderat,” kata dia.

Menurut Halili, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan sivitas akademika --dalam hal ini termasuk pihak kampus dan mahasiswanya: perbanyak forum akademik yang terbuka, tanamkan kekritisan di kalangan mahasiswa, hingga ciptakan lingkungan ormawa yang lebih terbuka untuk seluruh latar belakang.

“Dan juga transformasikan tempat ibadah serta pengurus organ keagamaan di kampus agar lebih inklusif,” kata dia.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: