logo
×

Sabtu, 29 Februari 2020

Kapitalisme Atasi Diabetes dengan Cukai

Kapitalisme Atasi Diabetes dengan Cukai

Oleh: Mutiara Putri Wardana

Baru-baru ini usulan yang dicanangkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengenai penerapan cukai minuman berpemanis cukup menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, perhatian publik teralihkan pada salah satu tujuan dibalik wacana tersebut yaitu untuk mencegah penyakit diabetes yang mematikan.

Rencananya ada tiga kategori produk minuman yang akan dikenakan cukai, yaitu teh kemasan dengan tarif cukainya Rp 1.500/liter. Saat ini produksi minuman teh kemasan adalah 2,191 miliar liter, dan setelah pengenaan cukai diproyeksi akan turun jadi 2,015 miliar liter. Potensi penerimaan cukainya adalah Rp 2,7 triliun.

Minuman berkarbonasi. Tarif cukainya Rp 2.500/liter. Saat ini produksi minuman teh kemasan adalah 747 juta liter, dan setelah pengenaan cukai diproyeksi akan turun jadi 687 juta liter. Potensi penerimaan cukainya adalah Rp 1,7 triliun.

Minuman lainnya (energy drink, kopi konsentrat, dll). Tarif cukainya Rp 2.500/liter. Saat ini produksi minuman teh kemasan adalah 808 juta liter, dan setelah pengenaan cukai diproyeksi akan turun jadi 743 juta liter. Potensi penerimaan cukainya adalah Rp 1,85 triliun. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200219162232-4-139071/sri-mulyani-akan-tarik-cukai-minuman-konsumen-yang-tanggung)

Meskipun baru sekedar usulan dan belum pasti disetujui, tapi sontak terdengar seperti sebuah lawakan yang memprihatinkan. Tujuan yang digembar gemborkan dari usulan tersebut sekilas ingin menarik perhatian masyarakat sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap kesehatan hidup rakyatnya.

Tapi justru kepedulian tersebut tak lain hanyalah sebuah framing untuk mengalihkan fokus masyarakat agar pemerintah tak terkesan dzalim. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa pengenaan tarif cukai pada minuman kemasan tersebut tujuan utama dan satu-satunya hanyalah untuk memperbesar pendapatan negara.

Baik cukai yang notabene nya merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang dengan karakteristik tertentu yang diantaranya dapat menimbulkan dampak negatif sehingga perlu diawasi dan dikendalikan, maupun pajak yang dipaksakan kepada rakyat sebagai sebuah kewajiban untuk berperan serta dalam pembangunan negara hanyalah dalih yang dipakai oleh penguasa di sistem kapitalis untuk memalak rakyat.

Usulan ini tentu bukan membuat sehat, namun justru semakin membuat masyarakat melarat karena menarik cukai dari minuman kemasan tersebut, yang artinya sama saja dengan menaikkan harga jualnya. Padahal dengan mengenakan cukai terhadap minuman kemasan tersebut akan berimbas hingga kepada pedagang kecil yang menjualnya, sebab daya beli masyarakat akan menurun.

Apakah ini yang dinamakan kerja cerdas? Saking cerdasnya sampai sampai tak masuk di akal sehat, bahwa untuk mencegah penyakit diabetes maka diberlakukanlah cukai terhadap minuman kemasan yang berpemanis tersebut.

Sungguh miris penguasa saat ini, bukannya mengatasi masalah dengan solusi, tapi yang ada mengatasi masalah dengan menimbulkan masalah baru.

Sistem kapitalisme seperti ini hanya akan terus menerus membuat rakyat sebagai objek bagi para penguasa. Yang seharusnya penguasa bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyatnya, tapi nyatanya rakyat lah yang melayani kebutuhan para penguasa. Negara dijadikan alat bagi penguasa untuk memeras rakyat baik melalui cukai maupun pajak dalam hampir setiap aspek kehidupan.

Pajak adalah sebuah bukti kedzaliman yang dikemas dengan berbagai peraturan sehingga negara merasa berhak untuk mengambil harta yang sebenarnya bukan menjadi miliknya.

Padahal memungut pajak tanpa alasan yang syar’i sama halnya dengan tindakan memungut cukai (al-maksu), yang telah jelas dilarang oleh Allah,  sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai”. (HR. Ahmad, ad-Darami dan Abu Ubaid).

Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam yang mana untuk menambah pendapatan negara tentunya tidak dengan memalak rakyat melalui pajak, akan tetapi memanfaatkan kekayaan Sumber Daya Alam yang ada sebaik dan seoptimal mungkin demi kesejahteraan rakyatnya.  Karena dalam Islam SDA merupakan harta milik umum yang tidak boleh diperjual belikan apalagi dikelola oleh asing (swasta), sehingga hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat untuk pemenuhan kebutuhan seluruh rakyatnya. Adapun pemungutan pajak hanya dikenakan terhadap kafir dzimni (jizyah) itupan bagi yang mampu saja.

Adapun ketika negara mengharuskan membayar iuran, yakni pada saat kas di Baitul Mal benar-benar dalam keadaan kosong sementara adanya kebutuhan dana yang bersifat darurat yang harus dipenuhi untuk kemaslahatan umum.

Namun demikian negara juga tidak bisa semena-mena dalam memungut iuran tersebut dari kaum muslimin, pemungutan iuran tersebut hanya diberlakukan kepada orang-orang kaya saja atau orang yang mempunyai kelebihan harta. Dan ini pun sifatnya sementara,tidak diterapkan secara terus menerus. Bahkan besarannya pun harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada saat itu.

Islam mengharamkan negara menguasai harta benda rakyat dengan kekuasaannya. Jika negara mengambilnya dengan menggunakan kekuatan dan cara paksa, berarti merampas. Padahal, hukum merampas adalah haram.

Islam telah melarang seluruh bentuk pungutan dengan apapun nama dan alasannya. Pungutan yang diambil oleh negara dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Secara umum keharaman memakan harta sesama muslim dengan cara yang bathil terdapat dalam firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”(An-Nisa : 29)

Keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya juga terdapat di dalam hadist di antaranya bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7)

Dengan demikian, negara yang menerapkan sistem Islam tidak akan memberlakukan pungutan seperti cukai, pajak atau yang sejenisnya jika Baitul Mal penuh dengan harta. Sebab, pungutan yang tidak syar’i adalah kedzaliman apalagi sampai bersifat paksaan seperti halnya pajak dalam sistem kapitalisme saat ini. Negara yang berlandasakan sistem Islam tidak akan berdiri dan menari di atas kesengsaraan warga negaranya. Tapi justru dengan sistem Islam lah kemaslahatan dan keadilan itu bisa terwujud. Wallahu a'lam
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: