logo
×

Jumat, 14 Februari 2020

Masuk sekolah PAUD Sebelum SD, Wajibkah Bagi Anak?

Masuk sekolah PAUD Sebelum SD, Wajibkah Bagi Anak?

DEPOK -  Pada 2020, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok mengeluarkan aturan baru terkait Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Keputusan yang didasarkan pada instruksi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini mewajibkan anak-anak di Depok ikut PAUD selama satu tahun. Kepala Disdik Depok, Mohammad Thamrin mengtakan bahwa kebijakannya bersifat nasional. Hampir di semua kabupaten dan kota menuangkan kebijakan tersebut di daerahnya masing-masing. Mulai  tahun 2020 anak diwajibkan mengikuti PAUD minimal satu tahun. Walaupun ada yang hingga dua atau tiga tahun, menurutnya tidak apa-apa.

 Menurut Thamrin, dengan kebijakan ini diharapkan anak-anak sudah mengenal terkait pengelolaan pendidikan sejak usia dini. Ia menerangkan dengan demikian, diharapkan tumbuh kepercayaan dirinya serta saat beranjak di jenjang TK atau SD sudah terbiasa dengan lingkungan satuan pendidikan.  Dia menambahkan, setelah menempuh PAUD selama setahun ini, barulah anak tersebut bisa mendapatkan sertifikat yang nantinya sertifikat tersebut sebagai database bagi Disdik Depok terkait jumlah anak-anak yang menempuh pendidikan PAUD di tahun tersebut. (republika.co.id. Selasa 20/01/2020)

Setiap kebijakan baru yang diambil oleh pemerintah dalam sistem sekuler ini selalu mengundang banyak tanya. Karena pada faktanya, kebijakan yang diambil akan menimbulkan masalah baru bahkan terkadang lebih dari satu masalah. Hingga masyarakat semakin bingung bagaimana cara menyikapi kebijakan-kebijakan baru tersebut. Inilah salah satu contohnya.  Kewajiban mengantarkan anak ke PAUD minimal setahun sebelum SD. Lalu, kalau tidak PAUD, apa masalahnya? Rasanya perlu dilihat dari berbagai sudut pandang sebelum menyimpulkan terima atau tolak kebijakan tersebut. Karena pendidikan anak usia dini adalah pendidikan masa golden age yang sangat penting.

Pertama, Kepala Disdik Depok benar, ia pasti melakukan sesuatu karena sudah merupakan keputusan pemerintah yang konsekuensinya harus dijalankan. Sebagai kepala Disdik, ia tidak akan melanggarnya. Partinya ia akan mengupayakan agar program-program yang sudah dicanangkan pemerintah sebagai betuk kebijakan, terealisasi dengan segera dan sukses. Kewajiban anak untuk mengikuti PAUD baru diwajibkan tahun 2020 menurut Thamrin. Namun anehnya di daerah lain seperti Sumatera Utara, terdapat beberapa tempat yang telah mewajibkan anak-anak PAUD agar nanti bisa mendaftar ke SD. Dan sudah diberlakukan 3 tahun lalu. Saat pendaftaran masuk SD, petugas penerima siswa baru akan meminta sertifikat PAUD anak-anak agar bisa didaftarkan. Bagaimana dengan anak-anak yang tidak mengenyam PAUD? Apakah lantas otomatis mereka tidak boleh masuk SD?

Kedua, pemerintah pusat seharusnya memikirkan sebelum memutuskan kebijakan. Meskipun dengan alasan kemajuan pendidikan, tetapi fakta di lapangan terlihat bahwa tidak semua PAUD berkualitas dan berpengaruh positif bagi tumbuh kembang anak-anak. Lalu kenapa harus diwajibkan? Masih banyak terdapat PAUD dengan guru yang seharusnya bukan bidangnya. Artinya bukan guru PAUD professional. Padahal anak-anak PAUD adalah anak-anak dengan masa keemasan yang tidak akan terulang lagi jika salah dalam mendidiknya di usia tersebut. Apakah pemerintah mau disalahkan dengan ini?  Belum lagi bicara kurikulumnya yang tidak konsisten dan sesuka hati sekolahnya. Jika berbasis aqidah Islam, tidak amasalah. Dan itu yang diharapkan menjamur. Tetapi persoalannya, PAUD yang menjamur adalah PAUD yang sekedar tempat mengumpulkan anak, bermain-main, bernyanyi-nyanyi, menari lalu dipaksa menulis dan membaca. Sejak usia dini mereka sudah dibuat lelah karena memasukkan kurikulum membaca atau menulis. Nanti yang tidak bisa dan menulis akan dianggap lamban dan bodoh. Oh my God! It is very irrasional. Padahal tidak ada anak yang bodoh. Semua punya potensi yang sama.

Ketiga, dilema masyarakat yang memilih pendidikan bagi anak-anaknya terkait biaya. Saat ingin memasukkan anak ke PAUD terpadu yang berkualitas unggul, biayanya sangat mahal. Bagaimana rakyat kecil menjangkau uang sekolah anak PAUD jika mengeluarkan biaya200-500 ribu/bulan? Rata-rata gaji seorang ayah di Indonesia hanya berkisar 1 jt-2 jt/bulan. Bagaimana dengan biaya lain? Anak lain yang sekolah menengah dan PT? Akhirnya asal masuk PAUD saja dengan biaya 50000/bulan tetapi jauh dari kualitas. Guru butuh gaji juga bukan? Jika hanya 50/bulan, darimana lagi gaji guru diambil? Makin kompleks masalahnya.

Keempat, jika kebijakan mewajibkan PAUD tersebut dikaitkan dengan membangun kepercayaan diri anak, hal itu tidak terbukti 100%. Anak-anak yang tidak masuk PAUD juga banyak memiliki kepercayaan diri. Jadi, tidak bisa dikatakan punya relasi secara langsung dan itu juga tergantung model PAUD yang dimasuki anak. Tidak bisa pukul rata hasilnya.

Hadirnya sekolah PAUD sebenarnya hanyalah pengalihan tugas utama orangtua khususnya kaum ibu untuk mendidik anaknya di rumah. Padahal dengan peran utama kaum ibu mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang diajarkan Islam, jauh akan memberikan dampak positif dan pembangunan mental bagi sang anak.

Sekolah PAUD jadi trend awal di Amerika dan Negara-negara maju lainnya. Karena di negara maju, perempuan adalah bagian dari aktifitas ekonomi yang didorong perannya sama dengan lelaki. Jadi, ketika perempuan-perempuan itu punya anak, maka dibuttuhkan suatu lembaga untuk menjaga dan mendidik anak-anaknya yang masih kecil, disaat yang sama ia harus bekerja. Terlepas apakah ia bekerja demi memenuhi tuntutan ekonomi, ataupun semata-mata hanya mengejar gengsi dan karir.

Sebagai Negara yang selalu melihat congkak ke Barat, Indonesia juga sangat tergiur mengambil program-program feminisme dan pemberdayaan perempuan di sektor public, agar terus berperan aktif tanpa mempertimbangkan lagi fitrahnya sebagai wanita. Walhasil, kaum perempuan semakin semarak bekerja, dan menitipkan anak-anaknya ke PAUD. Rasanya, PAUD sudah jadi kebutuhan. Padahal peran ibu lah yang dibutuhkan anak-anak itu.

Islam menuntun kaum ibu untuk menjadi madrasul ula dan ummun warabbatul bait. Ia bertanggung jawab untuk pendidikan anak-anaknya di usia dini. Peran utamanya adalah mendampingi tumbuh kembang mereka yang harus selalu mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang. Pendampingan untuk mengenal hal-hal baru dan juga menjadikan ibu sebagai contoh yang layak baginya. Oleh karena itu, ibu harus memiliki pengetahuan dan keridoan untuk tugas mulia ini. para ibulah yang harus dituntut memenuhi dirinya dengan bekal ilmu menddik anak. Dibantu ayah yang sesekali harus turut bergabung untuk memberikan beberapa materi pelajaran dan kontrol. Yang wajib itu adalah memberikan pendidikannya bukan ke sekolah PAUD nya.

Dengan melepaskan tanggung jawab ibu, anak-anak akan tumbuh rapuh dan tidak percaya diri. Orangtuanyalah yang bertugas menanamkan kepercayaan dirinya. Mengenalkan ia pada Tuhannya, adab menuntut ilmu, berbicara dan bersosialisasi dengan yang lain. Bahkan ia juga butuh penguatan dari orangtua agar berani mempertahankan dirinya dari serangan opini –opini negatif. Misal, pakaiannya yang berbeda dengan anak-anak sepermainannya karena berjilbab, bertudung dan berkaos kaki. Tidak mencuri dan berani mengakui kesalahannya saat di luar rumah kepada orangtuanya serta memilik kepedulian seperti ringan tangan berbagi dengan orang lain. Semua itu hanya anak dapatkan dari orangtua.

Maka pendidikan anak terbaik di usia dini adalah di rumah bersama orangtuanya. Namun jika ada sekolah yang mampu memadukan antara peran sekolah dan kedua orangtuanya dalam memberikan pendidikan kepada anaknya, itu sangat membantu sekali. Dan seharusnya minimal seperti itulah bentuk PAUD yang diharapkan. Hingga orangtua tetap menunaikan kewajibannya dan anak-anak tetap mendapatkan hak nya bersama orangtuanya.

Para ualam-ulama besar dulu tidak terlepas dari pendidikan awal orangtua khususnya ibu. Peran ibu yang diwajibkan Islam menjadi modal utama bagi mereka dalam mendidik calon-calon ulama besar yang sangat besar sumbangannya bagi ummat Islam hingga hari ini. dan ketika mereka akan beranjak remaja (usia 7-12) tahun, ibu dari ulama-ulama zaman dulu akan mengantar anak-anaknya kepada seorang guru agar dididik dengan ilmu dan adab. Tetapi sebelum itu, para ibu tersebut sudah membekali anak-anak mereka dengan ilmu-ilmu yang harus anak-anaknya dapatkan di usia dini.
Kerjasama yang mampu menghasilkan sinergi antara orangtua, sekolah dan Negara dalam membentuk kepribadian yang mulia untuk anak-anak sejak dini, hanya jika Negara menerapkan Islam dan menjadikan aqidah Islam sebagai krikulum semua sekolah. Wallahu  a’lam bissawab.

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: