
Omnibus Law terus membuat kejutan setelah diserahkan pemerintah ke DPR RI. Terutama dalam bidang hukum tata negara. Kali ini terkait kewenangan Presiden Joko Widodo yang akan diberi kewenangan mengubah UU lewat Peraturan Pemerintah (PP). Omnibus Law seperti nuklir yang mampu ‘mengkudeta’ tatanan aturan tata negara, terutama wewenang DPR RI.
Menurut aturan konstitusi lebih tinggi yakni UUD 1945 selama ini DPR memiliki tiga fungsi, yakni memuat perencanaan anggaran, membuat aturan, serta melakukan pengawasan. Dalam Undang-undang Dasar 1945 telah mengatur bahwa pembuatan UU dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Kewenangan Presiden hanya berhak mengubah UU menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu). Sedangkan Presiden juga diberikan wewenang untuk membuat Peraturan turunan berupa Peraturan Presiden untuk teknis. Inilah makna negara hukum.
Sedangkan dalam Draf ada klausal yang tertuang dalam BAB XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja pada Pasal 170 ayat 1 disebutkan Presiden berwenang mengubah UU berbunyi “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.”
Ada beberapa keanehan ‘kudeta konstitusi’ yang dalam proses penyusunan draf Omnibus Law:
Pertama, Penyusunan ini tidak diketahui naskah akademik dan tim pakar yang menyusun. Seperti lazimnya, Draf Undang-Undang apapun mesti masuk dalam tahap kajian akademik dan juga sumbang saran dari berbagai praktisi dibidangnya. Biasanya bersifat tetutup dan tidak rahasia, tanpa diketahui ahli hukum dari universitas mana.
Kedua, Omnibus Law yang digadang gadang menjadi Undang Undang yang memudahkan investasi dan karpet merah bagi investor, ditolak oleh organisasi buruh seperti KSPI yang dikomandoi oleh Said Iqbal dan mengancam untuk melakukan pemogakan massal. Termasuk juga protes Insan Pres yang turut serta mendapatkan dampaknya.
Ketiga, Pernyataan Menkopolhukam Mahmud MD yang menyebut kemungkinan ada kekeliruan dalam pengetikan dan belum mengetahui pasti apa isi dari RUU Omnibus Law. Menurut beberapa sumber ada lebih 2000 halaman draf Omnibus Law yang akan digodok oleh DPR RI. Dan draf tersebut tidak beredar luas dikalangan akademisi hukum, termasuk wartawan.
Sebelumnya, ‘kudeta konstitusi’ ini berjalan mulus dengan lahirnya UU KPK baru. Presiden Jokowi melalui Menteri Yasonna Laoly mampu menyembunyikan draf RUU KPK dan sukses memuluskan menjadi UU KPK baru, dengan menambah Dewan Pengawas KPK. Penyelesaian ini ada dimasa injuri time DPR RI periode 2014-2019. Publik pun melakukan protes yang mengorbankan anak bangsa dan melibatkan pelajar STM mendukung pergerakan mahasiswa mendesak Presiden menerbitkan Perpu KPK.
Sampai disini jelas indikasi-indikasi pola RUU KPK juga dimainkan untuk RUU dalam payung Omnibus Law. Melakukan aksi senyap ‘kudeta konstitusi’ diawal dengan memanfaatkan waktu yang pas. Publik merespon dengan protes keras. Dan Undang-Undang tetap berjalan yang memperkuat Jokowi dengan segala kebijakan selaku Kepala Negara dan Pemerintahan dibawah bayang-bayang terang Petugas Partai PDI Perjuangan.
Apalagi saat ini, Ketua DPR RI Puan Maharani juga berasal dari PDI Perjuangan, dan petinggi DPR RI berasal dari Partai Koalisi seperti Nasdem, Golkar, PPP, PKB, PBB dan insya Allah menyusul PAN. Semua kuat dugaan bisa menjadi kekuatan memuluskan ‘kudeta konstitusi’ untuk kedua kalinya.
Menelaah skema memuluskan draf Omnibus Law serupa RUU KPK menjawab setidaknya 4 dugaan publik yang perlahan terjawab.
Pertama, Pemerintahan Jokowi lebih berpihak mengamankan aktor koruptor yang bersembunyi dibalik zirah Partai yang menjadikannya Presiden, berikut dengan jejak-jejak korupsi sebelumnya.
Kedua, Pemerintah Joowi lebih memberikan karpet merah kepada pemilik uang dan modal. Menguasai kekayaan Indonesia ketimbang mensejahterakan rakyat, terutama buruh yang menghasilkan barang dan jasa.
Ketiga, melemahkan kekuatan pegawasan dan legislasi DPR RI, sebagai wakil rakyat yang dipilih dalam sistem demokrasi lewat pemilu.
Keempat, menciptakan sistem Presidensial bercitarasa Raja Adikuasa melalui mekanisme pemilu demokratis konstitusional. Dan DPR RI menjadi ‘abdi dalem’ yang bertugas mengamankan aturan pendukung dan menjadi karang menjinakkan kemarahan rakyat.
Oleh: Bujaswa Naras, Penggiat Kajian Politik & Pemerintahan.