
Oleh: Chusnatul Jannah - Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Saat perusahaan mengalami kerugian, langkah termudah untuk menekan biaya agar kerugian tak
membengkak adalah efisiensi. Efisiensi ini biasanya diterapkan dengan pengurangan karyawan alias PHK massal. Inilah yang dilakukan perusahaan operator seluler, Indosat Ooredoo. Diketahui Indosat
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 677 karyawannya. Alasannya, pengurangan
karyawan tersebut merupakan kebijakan perusahaan, dalam rangka perubahan organisasi agar bisnis
lebih lincah dan berfokus kepada kebutuhan pelanggan.
Mengacu laporan keuangan per September 2019, Indosat Ooredoo diketahui memiliki sekitar 3700
karyawan. Sementara melihat kinerja bisnisnya, dari laporan keuangan per September 2019, atau 9
bulan, Indosat Ooredoo masih menderita rugi bersih Rp 284,59 miliar, menyusut 82 persen dari rugi
bersih periode sama sebelumnya, Rp 1,54 triliun. Rugi bersih yang berhasil ditekan itu terjadi seiring
dengan pendapatan perusahaan yang naik pada periode tersebut. Total pendapatan ISAT pada periode
tersebut naik 12,40 persen menjadi Rp 18,85 triliun dari sebelumnya Rp 16,77 triliun. Pendapatan
terbesar dari bisnis selular naik menjadi Rp 15,08 triliun dari sebelumnya Rp 13,18 triliun. (Kompas.com, 17/2/2020).
Meski kerugian bisa ditekan dan pendapatan perusahaan mengalami kenaikan, tetap saja PHK itu
dilakukan. Dan lagi-lagi korban PHK tentulah rakyat kebanyakan. Belum kelar RUU Cipta Kerja dibahas, bayang-bayang PHK sudah menghantui para pekerja. Serikat pekerja sendiri menolak keras RUU Cipta Kerja yang berpotensi memuluskan jalan PHK massal. Ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan memiliki perbedaan dengan RUU Cipta Kerja yang sedang dibahas dalam DPR. Dalam Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, terdapat ketentuan bahwa: "Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja."
Pasal selanjutnya menyebutkan bahwa PHK hanya dapat dilakukan setelah itu dirundingkan dengan
serikat buruh, dan jika tak menemui kata sepakat juga, maka itu diselesaikan lewat pengadilan
hubungan industrial. Pasal-pasal diubah dalam draf RUU Cilaka (PDF, hlm. 568). Pasal 151 ayat (1)
diubah menjadi sekadar: "Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan pengubahan dan
penghapusan pasal-pasal terkait PHK di atas akan mengakibatkan buruh lebih gampang dipecat.
Pengusaha, misalnya, tak perlu bersitegang dengan serikat. Pemerintah juga tak perlu lagi bersusah
payah "mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja." Selain karena pasal-pasal di atas, RUU Cilaka juga mempermudah pengusaha mem-PHK pekerja karena ia memperluas jenis-jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa perundingan. (Tirto.id, 17/2/2020).
Peran serikat pekerja dihilangkan, napas liberalisme makin kentara dalam pasal-pasal tersebut. Negara tak lagi menjadi pelindung bagi kaum buruh. Bukan hanya itu, Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga berpotensi memperlakukan pekerja layaknya sapi perah. Salah satunya adalah menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b). Ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).
Slogan kerja, kerja, kerja begitu nyata diterapkan. Pekerja diminta totalitas bekerja hingga
menanggalkan sisi kemanusiaan. RUU Cipta Kerja yang sedang dalam pembahasan banyak ditolak
berbagai kalangan, utamanya buruh dan pekerja. Bukankah aturan dalam RUU ini justru berpotensi
meningkatkan angka pengangguran? Mempermudah PHK dengan dukungan Undang-Undang hanya
akan memicu negeri ini sedang membuka lebar pintu kemiskinan.
Sebelumnya PHK massal sudah pernah dilakukan beberapa perusahaan. Diantaranya, Krakatau Steel,
NET TV, Buka Lapak, PHK massal di Batam, Industri Tekstil, hingga ancaman PHK massal oleh perusahaan rokok Sigaret Kretek Tangan di Kletek Sidoarjo. Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib pekerja. RUU Cipta Kerja mengancam keberlangsungan pekerja. Tak menjamin kehidupan di masa tua. Terlebih era disrupsi yang serba teknologi. Tenaga manusia tergantikan dengan mesin industri. Alhasil, bayang- bayang PHK massal bakal marak terjadi. Jika pemerintah tak segera mengantisipasi, bukan tidak mungkin gelombang tinggi pengangguran bakal naik tajam.
Hal seperti inilah yang nampaknya tak menjadi perhatian utama pemerintah. Mencipta Omnibus Law
RUU Cipta Kerja, isi pasal-pasalnya hanya peduli dengan peningkatan investasi. Menyederhanakan
regulasi hanya untuk menarik investasi. Sementara terhadap buruh dan pekerja tak mau peduli.
Sudahlah terancam PHK, kompensasinya dikurangi pula.
Penanganan terhadap pekerja dan angka pengangguran di sistem kapitalis liberal begitu dangkal.
Maunya menurunkan pengangguran, malah bikin RUU yang memicu meningkatnya pengangguran.
Maunya bikin sejahtera para buruh, malah membuat mereka susah dengan regulasi baru. Apa maunya?
RUU Cipta Kerja sejatinya hanya untungkan pengusaha bukan pekerja. Satgas RUU ini saja para
pengusaha. Alhasil, draf RUU yang dihasilkan jelas menguntungkan para kapitalis pengusaha.
Dalam Islam, angka PHK dan pengangguran bisa ditekan. Prinsipnya, negara akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya dengan mengoptimalkan SDM dalam negeri. Teknologi digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia, bukan menggantikan peran manusia. Negara juga akan
mengoptimalkan penyerapan pasar domestik untuk memenuhi kebutuhan individu masyarakatnya.
Pengelolaan SDA secara mandiri untuk memenuhi hajat hidup masyarakat, bukan diserahkan kepada
asing. Rakyat tak akan pusing memikirkan biaya pendidikan, kesehatan, kebutuhan dasar. Sebab, negara berkewajiban memenuhi itu. Tidak seperti sekarang. Bekerja totalitas karena tuntutan ekonomi. Tak ada jaminan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar dari negara. Bahkan mereka justru dibebani dengan berbagai tarif dan iuran yang tinggi. Posisi negara dengan rakyat bagai penjual dan pembeli.
Negara hanya berpikir untung rugi.
Era disrupsi haruslah disikapi dengan bijaksana. Tidak anti teknologi, tidak pula menihilkan peran
manusia. Teknologi dibuat untuk membantu kerja manusia. Manusia memiliki peran dalam
memaksimalkan tenaga dan pikiran untuk memberi maslahat bagi umat manusia. Dan negaralah yang
menjadi penyokong utama agar keduanya berjalan seimbang dan berkeadilan.

