DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo dianggap mengabaikan prinsip good governance jika mengangkat mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Kepala Otoritas Ibukota Negara (IKN) baru.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (11/3).
Menurut Ubedilah, prinsip good governance yang sering digaungkan Jokowi sapaan akrab kepala negara, akan luntur jika memaksa mengangkat Ahok sebagai 'gubernur' IKN.
"Jika Jokowi memaksakan kehendak mengangkat Ahok sebagai gubernur ibukota baru, itu menunjukkan Jokowi telah mengabaikan salah satu prinsip good governance, yaitu prinsip partisipasi," ucap dia.
Karenanya, kata analis politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, Jokowi harus memperhatikan aspirasi publik dalam mengambil keputusan tersebut.
"Pandangan publik tentang Ahok itu kontroversial, ada pro dan kontra, tetapi cenderung dipandang berpotensi negatif," jelas Ubedilah.
Yang kontra terhadap Ahok bukan hanya karena Dirut Pertamina itu telah terbukti dimuka hukum melakukan penistaan agama, melainkan adanya dugaan terlibat kasus korupsi semenjak di ibukota.
"Tentu bukan sekedar karena Ahok pernah terbukti dimuka hukum telah melakukan penistaan agama sehingga dia dipenjara, tetapi berdasarkan laporan tahun 2017 ke KPK terkait Ahok masih melekat perkara dugaan korupsi yang belum ditindaklanjuti oleh KPK," jelas Ubedilah.
Dengan demikian, Ubedilah menyarankan agar Jokowi untuk membuka mata terhadap sosok anak bangsa lain yang memiliki peluang yang berkualitas untuk mengisi jabatan 'gubernur' IKN.
"Saya menyarankan kepada Jokowi untuk membuka mata dan pikiranya bahwa di luar lingkaran Istana masih banyak anak bangsa ini yang kualitas kepemimpinannya setara Ahok, bahkan melebihi Ahok," pungkasnya.
Ahok masuk sebagai calon kuat 'gubernur' IKN. Selain mantan suami Veronica Tan, ada nama Bambang Brodjonegoro, Tumiyono, dan Abdullah Azwar Anas. (rm)