logo
×

Jumat, 10 April 2020

Covid-19 Dan Ancaman Virus Elektoral

Covid-19 Dan Ancaman Virus Elektoral

Oleh:  Gebril Daulai

PENYEBARAN wabah Covid-19 yang cepat dan masif mengejutkan kita semua. Covid-19 tidak saja berdampak pada aspek kesehatan masyarakat tapi dengan cepat memengaruhi multi sektor seperti ekonomi, sosial, politik dan keamanan.

The Economist (2020) memprediksi akibat Covid-19, hampir seluruh negara-negara G20 akan jatuh ke jurang resesi. Lebih dari setengah negara-negara G20 diprediksi mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Direktur Forecast Global EIU Agathe Demarais menuturkan pemulihan ekonomi bisa saja terjadi pada semester II tahun 2020. Namun tidak ada yang menjamin pertumbuhan akan terkontraksi lebih jauh jika muncul gelombang epidemi kedua dan ketiga.

Penyebaran Covid-19 tidak saja merapuhkan fondasi ekonomi, sirkulasi kekuasaan di tingkat lokal (pemilihan gubernur, bupati, walikota) di 270 daerah pun ikut terdampak. Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) dengan pemerintah dan DPR pada 30 Maret 2020 menyepakati penundaan tahapan Pemilihan 2020 demi keselamatan rakyat. Seterusnya mendorong pemerintah menyiapkan payung hukum baru berupa peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perppu).

Di luar berbagai ketidakpastian ekonomi dan keberlanjutan kontestasi politik, terdapat benang merah dari peristiwa kemanusian yang tengah kita alami saat ini. Paling nyata, muncul kesadaran multi pihak untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan.

Setiap orang, kelompok, organisasi dan negara proaktif untuk memastikan masyarakat terinformasi dengan baik (well informed) tentang gejala Covid-19, pencegahan dan penanganannya. Media sosial dibanjiri narasi edukatif tentang tata cara memilih (make a choice) sumber pangan yang dibutuhkan untuk memenuhi asupan gizi dan meningkatkan imunitas/daya tahan tubuh.

Akibat banjir informasi tersebut warga menjadi akrab dengan sejumlah istilah terkait Covid-19, di antaranya OTG (orang tanpa gejala), ODP (orang dalam pengawasan) dan PDP (pasien dalam pengawasan). Setidaknya memperkaya perbendaharaan masyarakat tentang istilah (term), kriteria (criteria), pencegahan (prevention) dan penanganan (handling) gejala akibat covid 19.

Pada akhirnya masyarakat makin teredukasi dan menggunakan pendekatan rasional (rational choice) untuk menentukan pilihan terkait sikap dan tindakan dalam melindungi diri dari wabah penyakit mematikan tersebut.

Virus Elektoral

Jika dikaitkan dengan upaya kita membangun demokrasi substantif, penyebaran Covid-19 semestinya menyadarkan kita bahwa bukan dunia kesehatan saja yang sedang mengalami gunjangan. Demokrasi elektoral juga belum sepenuhnya terbebas dari sejumlah 'virus' mematikan. Politik identitas, politik transaksional/politik uang dan penyebaran hoax (informasi bohong) masih bekerja dalam ruang kontestasi politik kita.

Jika penyelenggara, peserta dan pemilih tidak memiliki imunitas yang kuat akan terpapar oleh virus tersebut. Akibatnya output pemilihan untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas dan memenuhi unsur akseptabilitas sebagaimana mandat UU pemilihan jauh panggang dari api.

Politik identitas sebagai 'virus elektoral', menurut Agnes Heller adalah gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan sebagai satu kategori politik utama. Donald L Morowitz (1998) mengatakan politik identitas memberikan garis yang tegas tentang siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.

Lebih jauh Burhanuddin Muhtadi (2019) menerangkan agama dan etnis yang menjadi bahan bakar politik identitas merupakan faktor yang penting dalam pemilihan kepala daerah. Politik identitas bekerja terutama ketika komposisi etnik dan agama suatu wilayah tidak terlalu timpang serta tergantung identitas primordial para pasangan calon yang bertarung.

Sadar atau tidak, politik identitas dapat merusak rasionalitas pemilih. Isu-isu programatik dan teknokratik akan tengggelam oleh narasi primordialisme. Kampanye pemilihan sebagai ajang untuk menguji kelayakan visi, misi dan program pasangan calon menjadi kehilangan makna.

Eksploitasi politik identitas sekecil apapun dosisnya akan mengikis kohesivitas sosial, memicu potensi konflik horizontal dan terbentuknya kelompok oposisi yang destruktif paska pemilihan. Akibatnya pemerintahan terpilih tidak mampu membangun refleksi, interaksi dan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders) untuk memajukan daerah.

Virus berikutnya adalah politik transaksional/politik uang. Daya rusaknya tidak kalah hebat dibanding politik identitas. Peneliti Lembaga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) Ward Berenschot (2019) mengatakan fenomena politik uang secara tidak langsung dapat merusak tata kelola ekonomi daerah karena menghambat pembangunan.

Dia mengatakan praktik politik uang kerap memicu ketimpangan dalam pembangunan karena proyek tidak dialokasi kepada mereka yang paling membutuhkan.

Indonesia Corruption Watch (2014) menyatakan manifestasi paling mencolok dari korupsi politik pada saat pemilu/pemilihan adalah menyuap pemilih secara langsung. Meskipun demikian, pemilih sebagai subjek dari politik uang memiliki tingkat kerentanan yang berbeda, tergantung gender, usia, pendidikan dan pekerjaan.

Riset Dian Permata (2016) menunjukkan perempuan, kelompok usia 35 sampai 39 dan 15 sampai 19 tahun, mereka yang tidak pernah sekolah, mereka yang tidak bekerja/menganggur dan berstatus sebagai ibu rumah tangga, paling rentan terhadap godaan politik uang.

Dian Permata menyimpulkan 3 (tiga) faktor yang menyebabkan pemilih terlibat dalam politik uang, yaitu kemiskinan, rendahnya pengetahuan dan kebudayaan.

Faktor kemiskinan berkaitan dengan fungsi pemerintahan sehingga tidak dapat diintervensi oleh penyelenggara pemilu/pemilihan. Sementara faktor pengetahuan dan kebudayaan dapat diintervensi melalui fungsi sosialisasi dalam bentuk penyebaran informasi dan edukasi/pendidikan politik bagi pemilih.

Tantangan berat dalam mengatasi politik uang adalah sikap masyarakat. Survei paska Pemilu 2019 yang dirilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan 46,7 persen responden memaklumi politik uang dan 37 persen responden mengaku pemberian uang menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan.

Data empiris ini menegaskan pemilih cenderung permisif terhadap praktik politik uang. Kesukarelaan (volunterism), rasionalitas (rational) dan kebebasan individu (individual freedom) dalam menentukan pilihan sebagai dasar psikologi demokrasi menjadi bias akibat politik uang.

ICW menggarisbawahi bahwa relasi politik uang tidak hanya terjadi antara kandidat-pemilih tetapi dapat melibatkan kandidat-penyumbang dana kampanye, bahkan kandidat-penyelenggara pemilu/pemilihan.

Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pemilihan 2015, 2017 dan 2018 menunjukkan sebagian besar atau 82,6 persen calon kepala daerah/wakil kepala daerah menyatakan pembiayaan kontestasi tidak sepenuhnya berasal dari kocek sendiri, tetapi melibatkan donasi dari para sponsor.

Menariknya sumbangan tersebut bukan tanpa pamrih. Sebanyak 76,3 persen sponsor pemilihan berharap ada balasan dari donasi yang mereka berikan. Harapan tersebut tidak bertepuk sebelah tangan karena 83,8 persen calon kepala daerah/wakil kepala daerah bersedia untuk memenuhinya.

Terdapat 3 (tiga) hal yang paling diharapkan oleh penyumbang dana dari donasi yang digelontorkan, yaitu kemudahan perizinan bisnis, kemudahan ikut serta tender, dan keamanan dalam menjalankan bisnis. Praktik pemberian donasi dan pembayaran balas jasa donasi tersebut turut menyuburkan korupsi dan pada akhirnya menghambat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan. 

Virus ketiga yang tidak kalah mematikan adalah penyebaran hoax. Kontestasi elektoral sangat rentan tercemar oleh 'penyakit' yang kini menjadi pandemik di era demokrasi yang sedang bertransformasi menuju digital. Hoax dengan cepat dan massif menyebar melalui media sosial, aplikasi chating dan website.

Hoax tidak saja mencemari percakapan di ruang publik tapi masuk dan meracuni ruang yang lebih privat seperti aplikasi chating di smartphone yang keanggotaannya terbatas sehingga sulit dipantau dan dikendalikan.

Isu sosial politik, SARA, dan pemerintahan masih mendominasi penyebaran hoax. Bentuknya makin beragam tetapi yang paling dominan adalah tulisan, foto dengan caption palsu dan berita/foto/video lama diposting kembali.

Survei Masyarakat Telematika Indonesia (2019) menunjukkan masyarakat makin sadar bahwa hoax dipergunakan untuk menggiring opini publik, termasuk kampanye hitam. Tetapi di lain pihak bentuk hoax semakin bervariasi dan samar sehingga sulit dikenali.

Sama halnya dengan politik identitas dan politik transaksional, penyebaran hoax di arena konstestasi elektoral akan meminggirkan gagasan substansial dari para kandidat. Isu-isu publik serta visi, misi dan program kandidat tenggelam di tengah lautan hoax.

Kontestan, pendukung maupun pemilih sibuk memperbicangkan hoax. Akibatnya media sosial sebagai ruang publik baru di era digital yang semestinya memediasi kepentingan individu yang berbeda dengan kepentingan kandidat melalui diskursus yang kritis dan bebas untuk mencapai konsensus atau opini publik berubah menjadi media penyebaran hoax yang pada akhirnya merusak rasionalitas, otonomi dan kehendak bebas pemilih dalam menentukan pilihan.

Obat Mujarab

Mengatasi tiga jenis ‘virus elektoral’ yang berpotensi jadi pandemik pada pemilihan, maka penting menyiapkan sistem imunitas/daya tahan yang kuat agar penyelenggara, peserta dan pemilih tidak terpapar.

Pada level penyelenggara, perlu memperkuat jangkar integritas melalui pelembagaan kode etik dan kode perilaku. Piranti-piranti integritas yang telah ada seperti zona integritas menuju wilayah bebas korupsi (WBK), sistem pengendalian internal dan unit pengendalian gratifikasi (UPG) harus terus disemai dan dipupuk agar berkembang dan berurat akar ke semua jenjang kelembagaan penyelenggara pemilu. Dengan demikian, etika sebagai jangkar integritas tidak saja menjadi ciri individual tetapi menjadi identitas kolektif/kelembagaan.

Dalam proses pelembagaan etika, sosialisasi dan internalisasi secara teratur dan terus menerus kepada semua satuan kerja mutlak diperlukan. Sosialisasi dilakukan melalui motivasi dan instruksi dari unsur pimpinan, sementara internalisasi diperkuat melalui kegiatan orientasi untuk meningkatkan kompetensi personal. Pengujian terhadap hasil orientasi tersebut dapat dilakukan melalui pemberian tugas dan tanggung jawab dalam mengelola tahapan maupun non-tahapan pemilu/pemilihan.

Dari keseluruhan aktivitas sosialisasi dan internalisasi etik tersebut, keteladanan pimpinan (komisioner dan sekretariat) adalah hal yang utama. Etika akan menginspirasi dan memiliki pengaruh besar pada orang lain jika perilaku pemimpinnya sesuai dengan pesan etika organisasi. Maka tugas pimpinan penyelenggara pemilu di setiap jenjang untuk menjadi role model dan pusat gravitasi untuk menarik dan menggeser keadaan jajaran Penyelenggara Pemilu dari level kesadaran dan kepatuhan yuridis menuju kesadaran dan kepatuhan etis.

Pada level pemilih untuk menangkal politik identitas, politik transaksional dan hoax, obat mujarabnya tidak lain memperkuat pendidikan politik bagi Pemilih. Tujuannya untuk memastikan setiap pemilih memahami hak, kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar kegiatan pendidikan politik bagi pemilih dapat terlaksana secara terstruktur, sistematis dan berkelanjutan maka pos anggaran untuk pendidikan politik bagi pemilih harus dikeluarkan dari anggaran tahapan dan ditempatkan pada anggaran rutin.

Jika anggaran pendidikan politik bagi pemilih masuk dalam struktur anggaran rutin dan berkelanjutan maka penyelenggara pemilu dapat membuat rancang bangun pendidikan pemilih yang programatik. Kerja-kerja kolaboratif dengan pihak lain seperti dunia pendidikan, komunitas, lembaga swadaya masyarakat, media dan lainnya penting dilakukan untuk memperluas jangkauan kegiatan pendidikan pemilih.

Pendekatan melalui jalur pendidikan merupakan salah satu pilihan yang relevan dalam jangka panjang untuk membentuk pemilih berintegritas. Guru memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman anak tentang peran mereka sebagai warga negara dan pemilih masa depan. Kerja sama dengan otoritas pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk pengembangan paket pengajaran dan pembelajaran pemilu berbasis kelas yang menarik.

Di samping kerja sama dengan lembaga pendidikan, penting mengoptimalkan pemanfaatan media sebagai saluran pendidikan pemilih. Kolaborasi dapat dilakukan dengan kreator konten untuk membuat program pendidikan pemilih yang kekinian, menggunakan saluran multi platform media seperti kanal radio dan televisi daring, youtube, IGTV dan lainnya, sesuai kebutuhan pemilih. Pengelolaan programnya dilakukan layaknya media profesional.

Pemanfaatan multi platform akan memperluas jangkauan pendidikan pemilih. Dengan demikian, publik dalam skala yang lebih luas dapat terinformasi dengan baik (well informed) tentang nilai-nilai fundamental demokrasi seperti kebebasan, keadilan, persamaan dan kejujuran.

Pendekatan komunitas penting untuk membentuk karakter pemilih berintegritas. Desain kegiatan komunitas menitikberatkan pada penyadaran bahwa gerakan melawan politik identitas, politik uang dan hoax merupakan milik masyarakat dan kebutuhan semua pihak, bukan penyelenggara pemilu saja.

Langkahnya dapat dilakukan melalui pemetaan tipologi kasus (politik identitas, politik uang, dan hoax) di setiap daerah, pemetaan komunitas yang dapat dijadikan mitra serta menyusun rencana aksi bersama baik jangka pendek maupun jangka panjang agar masyarakat memiliki daya tahan dan strategi perlawanan untuk melumpuhkan tiga virus elektoral tersebut.

Advokasi pemilih tidak terbatas pada isu pemilihan tetapi mencakup keseluruhan dinamika politik di daerah, terutama penguatan partisipasi pemilih dalam tata kelola pemerintahan agar cita-cita kesejahteraan dan keadilan terwujud.

Riset kolaboratif Australian National University (ANU) dengan Polgov JPP Fisipol UGM tentang Politik Uang di Indonesia (2015) menunjukkan politik patronase dan klientelistik berkembang di dalam negara yang absen memberikan perlindungan pelayanan kesejahteraan. Karenanya, gerakan pendidikan politik bagi pemilih harus sebangun dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik. Sepanjang pemilih kita masih dalam kubangan kemiskinan, selama itupula mereka rentan dengan politik uang.

Pada level peserta pemilihan, pendekatan koersif melalui penegakan hukum adalah hal yang utama. Terdapat 2 (dua) paradigma penegakan hukum politik uang dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, yaitu paradigma pemidanaan (penjara dan denda) dan penerapan sanksi administratif.

Dalam konteks pemidanaan, UU Pemilihan menegaskan calon atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Pasal 187A menegaskan perbuatan hukum politik uang dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Pemberlakuan pidana politik uang bukan saja kepada calon dan/atau tim kampanye, tetapi pidana yang sama juga dapat diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja menerima pemberian atau janji politik uang. Regulasi ini kurang relevan karena jika tidak disikapi dengan tepat maka pemilih dapat menjadi korban.

Semestinya pemilih yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah mereka yang aktif melakukan politik uang. Jika diberlakukan secara universal justeru akan menyulitkan untuk membongkar kasus politik uang. Pemilih yang mengetahui atau bahkan menerima uang dari kandidat dan/atau tim sukses yang kita harapkan berpartisipasi untuk 'bersuara' akan diam karena khawatir menjadi terpidana penerima politik uang.

Dalam konteks penerapan sanksi administratif, Pasal 73 ayat 2 UU 10 Tahun 2016 memberi sedikit harapan. Calon yang terbukti melakukan politik uang berdasarkan Putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Harapan itu menjadi kurang realistis ketika Pasal 135 ayat 1 menerjemahkan bahwa politik uang yang dapat dikenai sanksi pembatalan sifatnya harus terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Ke depan penguatan instrumen hukum harus dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Politik uang semestinya ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa sehingga pelapor maupun sanksi dapat diberi perlindungan oleh negara.

Namun pendekatan hukum yang tegas tidak cukup tanpa partisipasi masyarakat. Inisiatif dan kerja-kerja kolaboratif semua elemen masyarakat seperti lembaga keagamaan, lembaga adat, dunia pendidikan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan media untuk melawan politik uang mutlak diperlukan. Strategi kultural diperlukan untuk memperkuat pendekatan struktural.

Fatwa haram politik uang yang pernah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sesungguhnya bisa dipromosikan kepada publik secara luas dan terus menerus untuk membentuk kesadaran masyarakat. Sebagai negara yang religius terkadang fatwa, apalagi disampaikan oleh pemuka agama yang berpengaruh dapat lebih ampuh dari hukum positif.

Karena itu, kita butuh peran endorser dari berbagai kalangan dan menggunakan multi platform media untuk membantu membentuk kesadaran masyarakat melakukan perlawanan terhadap politik uang.

Inisiatif masyarakat membentuk desa anti politik uang juga patut diapresiasi, dijadikan model dan dikembangkan sebagai gerakan baru yang bersifat bottom up untuk membentengi masyarakat dari godaan politik uang yang nikmatnya sesaat tetapi mematikan untuk jangka panjang.

(Anggota KPU Provinsi Sumatera Barat.)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: