logo
×

Kamis, 16 April 2020

Presiden Disandera Korporasi Besar?

Presiden Disandera Korporasi Besar?

Kita banyak sekali berhutang budi pada hari-hari awal itu kepada keberanian dan inspirasi Winston Churcill. Yang tanpa rasa gentar menghadapi kesulitan dan kerugian, memberikan contoh yang menular kepada rekan-rekannya, yang tidak seperti dia banyak memikirkan, kalau memang memikirkan masalah perang (Maurice Hankee, Sekretaris Kabinet Churchill)

By Margarito Kamis

Presiden beberapa hari lalu, mengirim orang-orangnya. Yang dikirim menteri, untuk bersama-sama DPR membahas Rancangan-Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja. Kecuali Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra. Partai-partai yang lain terlihat lebih dari jelas, menari dalam gairah yang sama dengan Presiden.

RUU ini, tidak jatuh dari langit. RUU ini datang dari Presiden. Sangat hebat RUU ini. Aransemennya asyik bangat. Itu mengakibatkan RUU ini menyuguhkan efek musikalitas reage yang mengasyikan. Yang memungkinkan DPR menari sepanjang waktu. Lirik dan nadanya (pasal-pasal) begitu tepat dilantunkan dalam suasana sekarang. Tidakkah sekarang sedang krisis corona yang memerlukan penanganan?

Bisa apa rakyat terhadap korporasi? Mau apa bangsa besar ini terhadap politik? Kedaulatan rakyat? Pemilu telah megalihkan sebagian besar kekuasaan itu kepada Presiden dan DPR. Rakyat tak lagi mempunyai kekuasaan apapun setelah pemilu usai. Presiden dan DPR yang paling berkuasa. Mereka yang paling benar mendefenisikan hitam-putih bangsa ini.

Politik  tak selalu tahu tentang hal jorok, jijik dan sejenisnya. Tidak. Jorok, jijik dan sejenisnya itu, terlalu rumit untuk dibincangkan dalam politik. Itu hanya indah dan manis, semanis madu dalam filsafat. Politik harian hanya berputar di sekitar siapa dapat apa? Kini atau esok? Di sini atau di sana?

Omnibus Law Dibahas

Selalu begitu dalam politik liberal kapitalistik. Politik ini teranyam rumit dalam urusan siapa dapat apa? Bagaimana dan seterusnya? Agar semua yang diperoleh mengandung elemen legitim, maka harus diberi bentuk hukum. Diatur dalam produk bernama undang-undang (UU). Begitu politik bekerja melahirkan hukum-hukum baru, untuk kepentingan-kepentingan praktis, yang satu dan lainnya saling terkait.

Postur kerja politik yang menghasilkan UU. Apapun sifat dan substansinya, kelak dikenal dengan politik hukum. Ilmu ini bukan hukum. Ilmu ini bekerja dengan lensa diskriptif. Dengan lensa ini, hukum tidak akan terlihat sebagai cara terbaik. Namun tercanggih menyembunyikan pernak-pernik kepentingan partisan.

Lensa diskriptif dapat keluar dengan segala macam gambar. Itulah kehebatan lensa diskriptif ini. Begitulah bawaan alamiah politik dan hukum liberal kapitalistik. Kritikan beralasan berbagai kalangan atas pasal-pasal RUU paling binasa ini, namun akan dilihat hanya sebagai salah satu gambar. Gambar yang lainnya bisa lebih indah, sesuai ritme musikalitasnya.

Politik tidak menyediakan politisi yang dapat dengan cepat mengenal kesahalan. Cukup hanya dengan politisi yang sedang-sedang saja. Yang sering terperangkap dalam banyak urusan, baik maupun buruk. Bagi politisi sedang-sedang saja, dunia terlalu luas untuk cepat mengenal kelemahan, apalagi kesalahan. Apa yang dilihat salah pada hari ini, kata mereka, bisa jadi akan menjadi hal benar pada saat lain. Politisi sedang-sedang saja selalu merupakan gudang terbesar dari sikap yang mencla-mencle.

Tapi pesan saya jangan pernah bilang Pak Presiden, Pak Jokowi, dalam sejumlah aspek politik RUU ini sebagai yang mencla-mencle itu. Sejauh ini tidak terlihat pernyataan darinya yang satu dan lainnya saling menyangkal. Yang terlihat malah konsisten dan konsisten. Kalau tak salah, Pak Presiden bahkan menghendaki agar RUU ini bisa cepat selesai pembahasannya di DPR.

Konsistensi Pak Presiden itu kini sedang bekerja. Saat ini, di tengah gempuran Corona, RUU yang dalam analisis berbagai kalangan lebih mewakili, bahkan menguntungkan korporasi itu, sedang dibahas. Boleh jadi pembahasannya akan sangat produktif. Bisa cepat selesai dalam wektu dekat. Bisa segera menjadi UU. Menjadi hukum positif yang berlaku bagi semua warga untuk patuh dan tunduk kepadanya.

Bagaimana dengan Demokrat, Gerindra dan PKS yang pada hari-hari ini terlihat mengambil jalan berbeda? Yang terlihat jinak atas pembahasan RUU ini? Sejinak apapun sikap mereka saat ini, Demokrat, PKS dan Gerindra telah muncul menjadi bukan hanya penyeimbang. Namun hanya menyuguhkan “sisi manis” dalam kehidupan bernegara kita.

Mereka, paling tidak telah “mengintrupsi” potensi besar DPR telah beralih fungsi menjadi, (meminjam diskripsi Kisman Latumakulita, jurnalis senior asal Ambon Manise itu) “Kantor Cabang Presiden”. Dalam perspektif saya, sikap tiga partai ini sama dengan “menginterupsi” menginjak pedal rem untuk memperlambat pontensi laju Presiden muncul menjadi “center of legislative policy”. Sikap ini bagus. Juga sehat.

Soalnya, apakah tiga partai ini memiliki kemampuan untuk nyaman dengan sikapnya itu? Konsisten selalu menjadi perkara yang paling sulit diminta kepada partai politik. Itu persoalan paling besarnya. Tetapi harus diakui juga, dimana-mana politik selalu menyediaan kemungkinan untuk berpindah dari satu sikap ke sikap lain, yang bisa saja berbeda. Mungkin bisa konsisten pada satu hal. Namun bisa berubah sikap pada hal lain. Sikap seperti ini telah menjadi panorama kehidupan politik yang menarik dan wajar.

Winston Churcill menunjukan dengan sangat jelas sebagai politisi yang paling cepat berubah di tengah konsistensinya. Churcill hanya konsisten pada tujuan. Bila terjadi perubahan fakta, dan perubahan itu teridentifikasi mengacaukan tujuannya, maka Churclill akan mengubah keputusannya. Berubah untuk mendekatkan dirinya pada tujuan awal.

RUU Cipta Kerja, yang terlalu sulit dimengerti dengan akal sehat itu, sedari awal tidak dikreasikan sebagai bagian dari skenario penanganan corona. Benar-benar tidak. Skenarionya adalah “menggairahkan iklim investasi.” Ini skenario untuk keadaan yang normal. Investasi adalah pekerjaan para investor dan korporasi.

Stimulus Terbesar Untuk Korporasi

Impian itu terlihat tak mau dibiarkan jadi kenangan yang disesali, hanya karena corona menggempur Indonesia. Malah terlihat corona justru menjadi amunisi baru untuk mempercepat RUU ini. Hipotesisnya begini, ekonomi ambruk, dan harus diperbaiki. Dalam rangka memperbaikinya, diperlukan berbagai kebijakan. Kelak RUU yang cilaka ini bakal tersaji sebagai salah satu insentif terhebat. Terkesan sepertinya diperlukan mengobati dampak corona buruk itu.

Kebijakan itu boleh sangat diperlukan krisis berakhir. Entah kapan? Seperti krisis hebat di Amerika tahun 1933. Saat ini pemerintah telah  membuat Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Judulnya panjang sekali. Perpu ini menjadi fundasi terkuat atas kebijakan penambahan anggaran untuk stimulus sebesar Rp. 405,1 trilyun.

Dari jumlah itu, sekitar Rp. 110 triliun dialokasikan untuk yang disebut Social Safety Net.  Dalam sejarahnya kebijakan dengan nama yang sama, dipraktikan pertama kali di Amerika pada tahun 1933 oleh Franklin Delano Rosevelt. Presiden Rosevelt mengambi sikap ini diambil atas nasihat John Meynard Keynes.

Sekitar Rp. 75 triliun lagi dialokasikan untuk belanja alat-alat kesehatan. Bagaimana dengan sisa yang Rp 220 triliun lagi itu? Kalau tak salah, dialokasikan untuk membiayai relaksasi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Terus yang lain lagi? Digunakan sebagai untuk biaya berbagai bunga dari kredit berbagai entitas usaha. Termasuk UMKM? Siapa tukang kredit ini?

Tepatkah kebijakan itu? Dalam sejarahnya, krisis akan semakin buruk bila tidak tepat menanganinya. Sejarah menunjukan dengan jelas bahwa krisis selalu menyediakan momentum percepatan melipagndakan kekayaan dari korporasi besar dalam sejumlah aspek. Berapa sih jumlah mereka korporasi besar itu dibadingkan yang UMKM? Pasti mereka korporasi besar hanya segelintir saja. Masih yang itu-itu juga.

Penanganan krisis tahun 1998 dapat dijadikan sebagai ilustrasi kecil dan pembelajaran. Bahwa usai krisis itu, Indonesia menemukan kenyataan korporasi besar yang dinilai terpukul, sekaligus menjadi bagian dari sebab utama krisis 1998 itu, ternyata tetap saja besar. Semantara yang kecil tetap saja kecil.

Cara penanganan ini, khas Amerika. Dipraktikan pertama kali pada krisis keuangan tahun 1907. Krisis ini mengonsolidasi korporasi besar di satu sisi, dan tetap besar. Sementara di sisi lain, yang kecil tetap saja kecil. Cara ini digunakan lagi, dengan sedikit modifikasi pada krisis tahun 1933. Kali ini master mind pemecahannya adalah John Meynard Keynes. Cara yang sama digunakan lagi di Indonesia pada krisis keuangan tahun 2008.

Instrumen politik dan hukum bekerja dengan nada yang sama. Politik bekerja melipatgandakan propaganda efek negatif dari krisis, dan keperluan untuk memecahkannya. Supaya legitim dan aman dari segala bencana hukum kelak, maka dibuatlah berbagai UU. Pola ini telah mendunia di berbagai negara. Rantai pengikatnya adalah World Bank dan IMF.

Itu sebabnya, sulit untuk tak menandai ilmu tata negara dan administrasi negara, yang diandalkan mengatasi krisis, sebagai fotocopyan ilmu tata negara dan administrasi negara Amerika. Ini ilmu tradisional. Paling tidak konvensional. Ini bukan ilmu canggih. Ilmu ini biasa-biasa saja.

Skandal TKA China & Staf Khusus

Terlepas dari itu semua, menarik melihat sikap diam Presiden atas sejumlah soal belakangan ini dalam penanganan efek ekonomi corona. Presiden diam terhadap masuknya tenaga kerja China yang heboh beberapa waktu lalu. Apakah tanpa tenaga kerja China ini, korporasi-korporasi yang sedang menambang di Weda Halmahera Tengah dan Obi, Halmahera Selatan di Maluku Utara  bangkrut? Entahlah.

Belangan muncul kebijkakan lain. Kebijakan realisasi kartu prakerja. Tetapi  penerima harus mengikuti pelatihan online. Itu menarik. Sama menariknya dengan diskount Pertamina kepada Ojek Online.

Kebijakan ini menarik pertanyaan kritis Pak Dipo Alam, Sekertaris Kabinet pada Pak Susilo Bambang Yudhoyono, periode kedua. Mengapa ojek non online? Mengapa juga angkot-angkot, tak masuk skema itu? Begitu kurang lebih pertanyaan Pak Dipo Alam?

Apakah ojek biasa dan angkot  tidak terkena dampak buruk ekonomi corona? Apakah mereka sedang berkibar dengan keuntungan melimpah di tengah merebaknya virus corona? Apa hanya karena mereka tidak terikat dengan satu korporasi besar? Sehingga mereka tidak dilibatkan?

Belum terlihat sikap  Pak Presiden megenai soal itu. Pak Presiden juga tampak diam dalam kasus Surat Staf Khususnya yang ditujukan kepada para Camat di seluruh Indonesia. Dalam esensinya, surat itu meminta Camat menyertakan relawan-relawan sebuah perusahaan. Entah punya siapa perusahaan itu, diminta Staf Khusus Presiden untuk ikut dalam menangani corona.

Akankah sikap Presiden itu, yang pada setiap aspeknya mengundang tanya. Mengeras menjadi sikap pemerintahannya dalam menangani keadaan ekonomi corona lebih lanjut? Krisis, kapan dan dimanapun selalu menyediakan momentum menginjeksi ide-ide segar. Beralasankah bangsa Indonesia menunggu kemungkinan muncul ide segar dari Presiden menangani krisis ini?

Dikenang Sebagai Bapak UMKM

Korporasi besarkah, yang sering ditandai membiayai sebagian operasinya, produksinya atau apapun namanya dengan hutang, kredit bank, yang akan  muncul menjadi center of presidential mind and policy? Beranikah Presiden mengubah paradigma klasik itu, dan menggantikannya dengan, kalau bukan paradigma baru, ya setidaknya ide baru?

Cukup bernyalikah Presiden menempatkan, menjadikan dan melambungkan UMKM sebagai master ekonomi baru menggantikan korporasi besar? Toh korporasi-korporasi besar itu, tidak sepenuhnya hebat karena kecanggihan inovasi semata. Mereka hebat dan besar, setelah berkah kebijakan-kebijakan pemerintah yang bekerja untuk mereka.

Kebijakan melambungkan UMKM tidak dapat dinilai diskriminatif, dalam semua skala pemikiran konstitusi. Mengapa? Bukankah mengutamakan korporasi besar di satu sisi, dan membantu UMKM apa adanya atau sekadarnya saja di sisi lain, dalam sifat dan bentuknya adalah diskriminatif?

Mengutamakan atau mengistimewakan korporasi besar, yang telah menjadi trade mark kebijakan pemerintah dimanapun, terutama Amerika, ternyata hanya mempertahankan, malah memperparah ketimpangan struktural usaha. Praktis kebijakan khas Wall Street itu tidak lebih dari metode “pendalaman ketimpangan” struktur usaha.

Akankah Presiden bisa diharapkan memunculkan kebijakan berbeda dalam menangani kelompok-kelompok usaha terdampak corona ini? Akankah keberanian tertanam dalam benaknya, sehingga Presiden berpihak secara istimewa pada UMKM? Ini bukan soal pilihan paradigma. Ini soal keberanian yang dibalut kecerdasan berkadar tinggi. Sehingga akan dikenang sebagai “Bapak UMKM”?

Hentikan proyek ibu kota baru, bisa menjadi awal yang menjanjikan. Sikap ini pasti dikeroyok oleh korporasi besar. Mereka tak tinggal diam menghadapi sikap itu. Tetapi sejarah akan lahir dengan catatan atas sikap itu selamanya sebagai sikap hebat, bermartabat dan berkelas, sehingga yang pantas dikenang sebagai kenangan terindah.[]

*) Penulis adalaha Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: