DEMOKRASI.CO.ID - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai selidiki dugaan penetapan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM) oleh lima pelaku usaha di sektor tersebut.
Dugaan tersebur diawali dari tidak adanya penurunan harga BBM non subsidi oleh para pelaku usaha sektor tersebut sejak Maret 2020, walaupun harga penyediaan BBM dunia telah mengalami penurunan sejak awal tahun.
"Saat ini KPPU telah mengantongi satu jenis alat bukti yang menjadi dasar penegakan hukum tersebut," ujar Komisioner KPPU, Guntur Saragih lewat keterangan tertulis, Jumat (15/5).
Adapun pelanggaran pasal yang diduga adalah Pasal 5 tentang larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penetapan harga secara bersama-sama.
Sebagaimana diketahui, formula dasar harga jual eceran BBM diatur melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (Kepmen 62K/2020).
Aturan itu berlaku mulai 1 Maret 2020. KPPU menilai kebijakan pemerintah tersebut mampu mendorong kompetisi dalam penjualan BBM non subsidi, khususnya dengan dihapuskannya marjin minimum dari formula.
Berdasarkan formula tersebut, kata Guntur, harga kompetisi yang ditetapkan pelaku usaha dapat dikaitkan dengan besaran marjin penjualan. Pasalnya, tiap perusahaan seharusnya memiliki biaya penyimpanan dan distribusi, serta preferensi marjin penjualan sendiri yang membedakan kemampuan mereka dalam menentukan besaran harga jual eceran BBM.
Namun kondisi yang ada menunjukkan harga BBM non subsidi oleh pelaku usaha tersebut cenderung stagnan sejak Maret 2020 di kisaran rata-rata Rp 9.850 untuk RON98, Rp 9.000 untuk RON95, dan Rp 7.650 untuk RON90.
Sementara harga BBM serupa di ASEAN, seperti di Vietnam dan Malaysia, telah mengalami penurunan hingga 38 persen sejak Februari 2020. KPPU menduga terdapat koordinasi antar pelaku usaha di Indonesia secara bersama-sama untuk tidak menurunkan harga BBM non subsidinya.
"Dalam mendalami dugaan koordinasi penetapan harga, KPPU juga memperhatikan sifat struktur pasar oligopolistik di sektor BBM tersebut," tambahnya.
Dengan jumlah pelaku usaha yang terbatas, potensi pelanggaran persaingan usaha cukup tinggi di sektor tersebut.
"KPPU juga akan memperhatikan apakah kondisi ini disebabkan oleh fenomena price leadership Pertamina," bebernya.
Sebagai catatan, Pertamina menguasai pasar penjualan BBM secara keseluruhan hingga 98,3 persen, berdasarkan kemampuan distribusi atau jumlah stasiun pengisian bahan bakar umum yang dimiliki.
"Angka tersebut masih jauh dibandingkan pemain lain yang tidak mencapai dua persen secara keseluruhan," tandasnya.(rmol)