logo
×

Senin, 18 Mei 2020

Nekat Relaksasi PSBB, Kurva Corona Indonesia Diprediksi seperti 'Gunung Gede'

Nekat Relaksasi PSBB, Kurva Corona Indonesia Diprediksi seperti 'Gunung Gede'

DEMOKRASI.CO.ID - Pemerintah kini sedang gencar-gencarnya menyuarakan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar. Belum usai pandemi virus corona diatasi, sejumlah menteri telah membuat rencana untuk pembukaan kembali aktivitas sosial secara bertahap. 

Setelah Menteri Perhubungan, Budi Karya, mengizinkan kembali operasional moda transportasi umum, kini giliran Menteri Koordinator PMK, Muhadjir Effendy, yang berencana melakukan relaksasi PSBB, salah satunya dengan mengizinkan warga berumur 45 tahun untuk kembali bekerja.

Relaksasi ini mengacu pada terjadinya penurunan kasus COVID-19 di Indonesia sebesar 11 persen. Akibat penurunan ini, pemerintah yakin relaksasi PSBB dapat diberlakukan. Padahal, sejumlah ahli epidemiologi menilai relaksasi PSBB yang direncanakan pemerintah belum saatnya diterapkan. Alasanya karena Indonesia belum memenuhi sejumlah indikator epidemiologi untuk melonggarkan pembatasan sosial. 

Hal itu juga disampaikan oleh Pandu Riono, ahli epidemiologi yang merupakan Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Menurutnya, jika pemerintah melakukan pelonggaran PSBB dengan alasan telah terjadi penurunan kasus corona, maka akan terjadi berbagai kemungkinan. Salah satunya terjadi kenaikan kasus corona yang tidak konsisten, persis seperti landscape ‘Gunung Gede’. 

“Jika pemerintah daerah dan pusat terlena dengan terjadinya penurunan kasus, kemudian mereka tidak ketat menerapkan PSBB, dan masyarakat juga ikut euforia dengan tidak lagi menerapkan protokol pencegahan, maka pola kurva COVID-19 di Indonesia bisa kaya Gunung Gede,” ujar Pandu saat dihubungi, Senin (18/5).

“Maksud kaya Gunung Gede tuh gini. Kurvanya naik turun, sudah sampai puncak, sudah turun bagus, belum sampai turun drastis, bisa naik lagi. Bahkan mungkin puncaknya lebih tinggi dari sebelumnya," jelasnya.

Dalam wabah flu Spanyol yang terjadi beberapa tahun silam, kurva kasus juga bergerak tidak beraturan. Ini terjadi karena ketika wabah pertama muncul, puncaknya sangat kecil. Pemerintah kala itu memberlakukan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya penularan. Tapi, melihat kurva yang sudah melandai, mereka melakukan pelonggaran. Terjadilah pandemi gelombang kedua.

Kasus kurva flu Spanyol juga terjadi di Singapura saat ini. Ketika kurva kasus virus corona masih tergolong kecil, mereka langsung memberlakukan lockdown. Kasus kemudian melandai, pemerintah dan masyarakat tidak waspada serta tidak memprediksi kemungkinan adanya penularan di daerah yang sangat potensial menjadi lebih besar. 

“Karena kan di daerah juga ada permukiman padat, rumah susun, dan pekerja migran. Ini tidak diantisipasi, dan terjadilah kenaikan yang lebih dahsyat dari pandemi pertama. Mereka alami kemarin,” ujarnya.

Dalam hal ini, Indonesia sangat berpotensi mengalami kurva seperti flu Spanyol, jika pemerintah melakukan relaksasi PSBB tanpa memerhatikan hal-hal yang sangat krusial. Bagaimanapun, kata Pandu, virus masih berada sekitar masyarakat. Jika masyarakat tidak waspada dan pemerintah tidak berhati-hati dalam mengambil kebijakan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pandemi gelombang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. 

“Jadi kita harus tetap konsisten meningkatkan kewaspadaan walaupun kita sudah melakukan pelonggaran. Kurva-kurva itu lah yang kemungkinan terjadi secara teoritis sangat tergantung dari pada apa yang kita lakukan,” kata Pandu. []
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: