Oleh: Prijanto
ANGGOTA Soekarno: “…Bahkan kemarin di dalam panitia soal ini ditinjau lagi sedalam-dalamnya di antara lain-lain, sebagai Tuan-Tuan yang terhormat mengetahui, dengan Tuan Wachid Hasyim dan Agoes Salim di antara anggota panitia. Kedua-duanya pemuka Islam. Pendek kata ini kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota yang terhormat Soekiman, ‘gentlemen agreement’, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Saya mengharap paduka Tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap panitia itu.”
(Sekneg RI, 1998. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI).
Kalimat tersebut di atas, penggalan jawaban anggota Soekarno selaku Ketua Panitia Kecil, setelah Dr. Radjiman, Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), meminta untuk menjawab usulan dari anggota Hadi Koesoemo, pada saat rapat BPUPKI, 14 Juli 1945, yang menghendaki kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan saja.
Mencermati apa yang disampaikan Bung Karno saat membicarakan bagaimana narasi “Menyatakan Indonesia Merdeka” di atas, sampai nantinya ketika sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membicarakan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, pada 18 Agustus 1945, dapatlah ditarik kesimpulan antara lain:
Pertama, kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-peluknya” dalam “Djakarta Charter, ketika pembahasan tentang narasi untuk “Menyatakan Indonesia Merdeka” dan “Pembukaan Undang-undang Dasar”, kalimat tersebut telah dihapus. Penghapusan justru usul dari pihak golongan Islam yakni anggota Haji Sanoesi (Al Ittihadiyatoel Islamiyah), Wachid Hasyim (NU), Agoes Salim (Centraal Sarekat Islam) dan Ki Bagoes Hadikoesoemo (Muhamadiyah).
Kedua, kompromi-kompromi baik dalam sidang BPUPKI maupun PPKI, merupakan kompromi dari kaum Islam dan kaum kebangsaan yang didasari atas pemahaman yang mendalam tentang agama dan pentingnya persatuan Indonesia, sebagaimana yang disampaikan keempat tokoh agama tersebut di atas.
Ketiga, ketika “The founding fathers and mothers” membicarakan apa Dasar Negara dan bagaimana Undang-undang Dasar, dalam BPUPKI dan PPKI, tidak ada seorangpun wakil dari golongan partai komunis (PKI) yang ikut. Artinya, tidak benar jika ada yang teriak bahwa PKI ikut mendirikan Negara Indonesia.
Artikel ini ditulis ketika di media seputar Mei-Juni 2020 merebak tulisan-tulisan yang mengingatkan dan kecurigaan adanya indikasi PKI atau neo-komunisme akan bangkit lagi. Pasalnya ada tulisan yang nadanya seperti (1) Komunis Indonesia ikut mendirikan Indonesia (2) Gerwani pembela kaum perempuan Indonesia (3) PKI adalah korban peristiwa 1965 (4) Tahun 1965, Suharto dan TNI membantai jutaan Rakyat (5) Suharto dalang G.30.S/PKI, makanya masih hidup (6) dll.
Tulisan-tulisan yang bernada pembelaan untuk PKI, tidak saja diungkapkan oleh pejabat, bahkan sebagai upaya pembenaran PKI, dipakai juga penulis orang asing. Namun orang cerdas tidaklah lupa, faham komunis itu memiliki jaringan internasional, sehingga tehnik meminjam penulis asing adalah cara basi dan kuno. Celakanya, ada juga orang yang terkecoh, seolah-olah jika penulis asing itu mesti bener. Padahal tidaklah demikian. Generasi ke generasi tidak boleh lupa terhadap perilaku PKI.
Apa bukti PKI tidak ikut mendirikan Negara Indoesia? Dari keanggotaan BPUPKI dan PPKI, tidak ada wakil dari PKI. Bung Karno saat sebagai anggota BPUPKI dan Ketua PPKI, selalu menekankan hasil sidang di BPUPKI dan PPKI merupakan kompromi dari golongan agama dan golongan kebangsaan. Tidak menyebut adanya golongan komunis.
Mengapa wakil PKI tidak ada? Karena fasisme Jepang memahami, PKI sebagai kelanjutan dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), perkumpulan yang didirikan Sneevliet, orang Belanda totok, tokoh sosialis Belanda. Sejarah mencatat, perjuangan ISDV yang dilanjutkan dengan nama PKI, bukan untuk Indonesia Merdeka, tetapi ada kaitan dengan perjuangan komunisme internasional.
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, kalimat ini klasik dan bener. Di era milenial, lain bahasa, janganlah kita mengindap amnesia. Ingat, komunikasi massa salah satu alat propaganda, agitasi dan provokasi dalam manifesto komunis; kontrol media mereka gunakan. Tulisan bisa mengandung ketiga-tiganya, sehingga bagi yang memiliki kekuatan dan uang, hal ini bisa saja dilakukan untuk memutarbalikkan fakta sejarah, dengan bahasa yang dikemas manis.
Dengan demikian, pemikiran dan usul tidak perlu sejarah diajarkan di sekolah dan penghapusan peringatan peristiwa bersejarah, sesungguhnya bukan upaya berdiri sendiri, tetapi sejalan dengan tulisan yang sifatnya propaganda, agitasi dan provokasi. Padahal, sejarah sangat diperlukan bagi generasi ke generasi berikutnya, agar bisa menjadi pembelajaran dan kewaspadaan. Melalui sejarah, bisa ditanamkan nilai-nilai kebenaran, dan budaya bangsa sendiri, sebelum asing meracuni generasi muda.
Pertanyaan apakah Gerwani pembela kaum perempuan ataukah Gerwani sebagai bagian yang menganiaya 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya? Apakah Suharto dan TNI di tahun 1965 membantai rakyat ataukah bersama rakyat mengamankan Negara Indonesia dari upaya kudeta PKI? Apakah lolosnya Suharto karena sebagai dalang G.30.S/PKI atau PKI salah hitungan karena Suharto ketika itu hanya sebagai Pangkostrad?
Jawaban pertanyaan di atas tercatat rapi dalam sejarah Pemberontakan G.30.S/PKI yang tersimpan di Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, monumen-monumen bersejarah tingkat pusat dan monumen di daerah sebagai inisiatip rakyat untuk peringatan betapa kejamnya PKI. Apabila ada yang berpendapat dan melempar provokasi bahwa sejarah G.30.S/PKI adalah rekayasa Orde Baru, patut diduga mereka pasti dari anggota eks PKI atau simpatisannya.
Bagaimana mungkin disebut rekayasa ? Ada arsip dalam wujud siaran RRI, Persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili pentolan G.30.S/PKI, dokumen tertulis dan foto-foto, monumen-monumen dlsb. Semua menjawab, Gerwani adalah organ PKI yang ikut menyiksa 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Suharto memimpin TNI bersama rakyat menegakkan dan mengamankan negara dari kudeta PKI yang ingin mengganti Pancasila dengan faham komunisme, setelah PKI gagal dalam Peristiwa Madiun 1948.
Suharto lolos bukan karena dalang G.30.S/PKI. Suharto lolos karena tidak ada dalam daftarnya Letkol Untung Komandan G.30.S/PKI ; yaitu daftar para Jenderal yang harus dihabisi pada tanggal 30 September 1965. Mengapa tidak ada dalam daftar? Karena Suharto masih Pangkostrad, tidak pernah ikut dalam sidang Kabinet dan pertemuan lainnya. Suharto tidak pernah berhadapan langsung menentang konsep PKI yang ingin mempersenjatai buruh dan tani. Dengan demikian luput dari lirikan para Menteri dari PKI kala itu.
Persidangan Mahmilub terhadap pentolan G.30.S/PKI merupakan bukti kuat bahwa PKI melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Sidang yang dilakukan terbuka, ada saksi dan bukti, bisa didengar dengan radio transistor sampai pelosok dalam negeri dan luar negeri, menjawab sejarah G.30.S/PKI yang ada saat ini bukanlah rekayasa. Dengan demikian tidak perlu ada versi baru tentang sejarah G.30.S/PKI.
Bagi generasi muda Indonesia, hati-hatilah jika membaca tulisan peristiwa masa lalu. Kebebasan menulis, kadangkala ada yang suka menyalahgunakan untuk propaganda, agitasi dan provokasi. Jika ingin mencari kebenaran peristiwa masa lalu, atau sejarah, larilah ke tempat penyimpanan arsip-arsip milik pemerintah, seperti Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional dan Museum Nasional serta perpustakaan dan museum milik TNI-Polri.
PKI memang sudah tidak ada, tetapi faham komunisme dan komunisme internasional itu masih ada. Dendam politikpun kadangkala juga susah hilang, walaupun sesungguhnya dendam itu tidak perlu ada dan berkelanjutan. Apalagi ingin mengganti Pancasila dengan faham komunisme. Pancasila sebagai hasil pemikiran ‘The founding fathers and mothers” sebagai Dasar Negara dan falsafah bangsa, tidaklah perlu diutak-atik lagi. Mari bersatu untuk membangun bangsa dan negara. Hati-hati, jangan lupa perilaku PKI.
Penulis adalah Aster KSAD (2006-2007), aktivis Rumah Kebangkitan Indonesia