Oleh:Shamsi Ali
BEBERAPA hari lalu saya mendapat kiriman video dari seseorang tentang seorang warga Indonesia ikut orasi dalam sebuah demonstrasi di sebuah kota di Amerika. Ketika itu saya tidak kenal siapa gerangan dia, dan di kota mana acara itu terjadi.
Yang pasti awalnya saya bangga. Selama 23 tahun lebih saya tinggal di Amerika hampir belum pernah menemukan warga yang menonjol dalam acara-acara publik atau kemasyarakatan, apalagi menjadi seorang pembicara. Tentu bagi saya hal seperti ini harus didukung dan membanggakan sebagai sesama diaspora Indonesia di Amerika.
Sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan konten pidatonya. Entah kenapa saya lewatkan begitu saja. Barangkali karena saya terlalu terobsesi untuk melihat putra-putrì bangsa ini tampil di garda depan untuk mengharumkan nama bangsa dan negara.
Dan saya tidak terlalu membeda-bedakan siapa saja yang punya kapabilitas untuk itu. Tidak peduli ras, etnis, asal daerah, maupun agama apapun yang mereka anut. Saya akan bangga melihat teman-teman Muslim Indonesia maju dan dikenal di Amerika. Saya juga akan bangga melihat teman-teman Kristiani, Hindu atau Budha untuk maju dan memainkan peranannya di Amerika.
Tiba-tiba saja kemarin hari media sosial saya, baik WA, FB, maupun Twitter di bombardir oleh pertanyaan tentang siapa orang di video itu. Terus terang saya tidak kenal dan tidak juga tahu di kota mana.
Akhirnya sekali lagi saya dengarkan video itu dengan baik dan teliti. Tiba-tiba pendengaran saya seperti tertusuk oleh pidato itu. Isinya begitu menyinggung perasaan, karena di depan warga Ameriia yang marah, Indonesia di sebutkan sebagai negara yang prejudice, diskriminatif dan tidak memberikan kebebasan kepada minoritas.
Sejujurnya pidato orang tersebut secara umum bagus. Karena mendukung Saudara-Saudara warga minoritas Amerika, khususnya warga hitam dalam perjuangan mencari keadilan dan kesetaraan. Sayangnya di awal pidato itu nama Indonesia ditampilkan dengan wajah buruk.
Isi awal ceramahnya kira-kita berikut:
“Saya datang dari Indonesia. Dan saya sangat tahu Bagaimana rasanya diperlukan dengan prejudice dan diskriminasi. Saya hadir di Amerika bukan untuk ini (diskriminasi warga minoritas di Amerika). Saya kira saya meninggalkan Indonesia, melarikan diri dari negara yang menjadikan saya tidak bisa bernafas....dan seterusnya”.
Mendengarkan pidato itu seolah meruntuhkan kegembiraan dan rasa bangga saya Sebagai sesama diaspora Indonesia di Amerika. Kenapa Indonesia harus digadaikan untuk tujuan yang mungkin baik?
Saya katakan baik karena bertujuan untuk membela mereka yang termarjinalkan. Memberian dukungan perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan. Tapi Kenapa harus Indonesia dikorbankan sebagai negara prejudice dan diskriminatif?
Saya pun kembali kecewa. Kecewa bukan karena presentasinya yang disampaikan dengan bahasa Inggris yang jauh dari harapan. Dan itu dia akui. Tapi karena awal pidato yang menjelekkan Indonesia itu.
Saya pun mencari tahu siapa orang tersebut dan di kota mana. Ternyata di pidato itu dia menyebut kota Portland, sebuah kota di negara bagian Barat Amerika.
Tapi siapa gerangan orang tersebut? Baru hari ini saya mendapat informasi bahwa sosok itu adalah seorang pendeta bernama Pendeta Oscar Suriadi. Dia adalah pendeta gereja City Blessing di kota Portland sejak tahun 1998.
Kecewa dan Harapan
Saya sebagai Diaspora Indonesia di Amerika, dan tentunya sebagai seorang Muslim dan Imam, sangat kecewa dengan potongan pidato Pendeta Oscar itu.
Kekecewaan saya tentunya bukan pertama kali ini. Tapi sudah beberapa kali saya menemukan adanya pihak-pihak tertentu yang secara sengaja memburuk-burukkan negaranya sendiri. Kalaupun sudah berpindah warga negara, minimal negara asalnya.
Saya masih ingat beberapa tahun lalu ketika Presiden SBY mendapat penghargaan dari Conscience Foundation, Pimpinan Rabbi Arthur Schneier. Ketika itu ada beberapa organisasi Yang kebetulan berafiliasi ke warga Indonesia di NY mengirimkan surat ke Rabbi Arthur memburuk-burukkan Indonesia sebagai negara intoleran.
Saya tahu betul siapa mereka dan apa isi suratnya karena Rabbi Arthur Schneier adalah Pendeta Yahudi yang cukup dekat dengan saya. Bahkan di acara itu sayalah Yang memimpin doa pembuka. Beliaulah yang memberitahu ke saya siapa yang mengirim surat dan apa isi suratnya.
Maka dengan kejadian di Portland ini semakin menjadikan saya gerah dan kecewa. Bahwa ada saja pihak-pihak yang tidak tahu berterima kasih kepada negaranya atau negara asalnya.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa dengan segala kekekurangannya, Indonesia adalah negara yang paling toleran terhadap kaum minoritas. Saya menyampaikan ini karena saya sudah diberikan kesempatan untuk tinggal atau minimal mengunjungi banyak negara.
Di Indonesia dari dulu semua warga bebas beragama dan menjalankan agamanya. Pernahkah Indonesia melarang agama, selama memang sejalan dan diakui dengan Konstitusi?
Di negara manakah yang mayoritas non Muslim semua agama diberikan hak liburan nasional keagamaannya? Sungguh beruntung saudara-Saudara minoritas di Indonesia. Kami di New York berjuang tujuh tahun lebih untuk mendapatkan hak libur sekolah di saat Idul Fitri dan Idul Adha. Itupun hanya di kota New York.
Karenanya kalaupun ada kasus-kasus gesekan antar masyarakat agama di Indonesia itu bukan berarti Indonesia sebagai negara yang prejudice dan diskriminatif.
Selain itu, kasus-kasus diskrimanasi terjadi kepada semua pihak. Siapa yang bisa mengingkari kekerasan dan diskriminasi kepada Umat Islam di Papua misalnya?
Lebih penting lagi di Indonesia ada masa-masa di mana kaum minoritas mendapat posisi yang upper hand (lebih beruntung). Mereka misalnya menduduki posisi-posisi publik yang strategis dan penting di negara ini.
Apalagi jika kita berbicara tentang penguasaan perekonomian. Yang pasti sebagian besar kue negeri ini dikuasai oleh sekelompok kecil warga dari kalangan tertentu. Warga mayoritas pun hanya menerima itu seolah sebuah kenyataan semata.
Saya hanya ingin mengatakan: hentikan memburuk-burukkan Indonesia demi mencari nasib baik di negeri orang. Jangan sebuah, dua buah kasus anda pakai untuk mencampakkan wajah bangsa/negara di depan mata orang lain.
Belajarlah berterima kasih dan tahu diri!
(Diaspora Indonesia di kota New York)