
DEMOKRASI.CO.ID - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan siap mengklarifikasi jika pengacara Djoko Tjandra, Otto Hasibuan menempuh halur hukum terkait status penahanan terhadap kliennya. Sebab, penahanan terhadap terpidana kasus hak tagih Bank Bali itu berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Nomor: 12K/Pid.Sus/2008 tanggal 11 Juni 2009.
“Kalaupun ada yang berpendapat itu tidak sah atau batal demi hukum, maka kami siap jika memang hal tersebut akan dipermasalahkan dalam tataran ranah hukum,” kata Kapuspenkum Kejagung, Hari Setiyono di kantornya, Selasa (4/8).
Hari menegaskan, penahana terhadap Djoko Tjandra merupakan eksekusi putusan PK dua tahun penjara. Jadi berbeda pada ranah tuntutan.
“Perlu kami sampaikan, bahwa setelah tertangkapnya terpidana Djoko Tjandra pada Kamis 30 Juli 2020 kemarin, maka pada Jumat 31 Juli 2020, Jaksa eksekutor telah melaksanakan eksekusi terhadap putusan MA dalam perkara PK terhadap terpidana Djoko Tjandra. Jadi pelaksanaan eksekusi dilakukan oleh Jaksa,” jelas Hari.
Terpidana kasus hak tagih Bank Bali itu dijatuhkan hukuman pidana dua tahun penjara. Selain itu, Djoko Tjandra juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 15 juta subsider tiga bulan kurungan.
Oleh karena itu, Hari menegaskan penahanan terhadap Djoko Tjandra merupakan eksekusi putusan MA pada 11 Juni 2009.
“Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” tegas Hari.
Hari menuturkan, apa yang dilakukan oleh Jaksa adalah melakukan eksekusi hukuman badan untuk menjalankan putusan hakim PK, bukan melakukan penahanan.
“Hal ini tentu berbeda dengan pengertian penahanan yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang,” tandasnya.
Sebelumnya, Otto Hasibuan berencana bersurat kepada Jaksa Agung Sianitar Burhanuddin terkait penahanan kliennya. Sebab, Otto menilai penahanan terhadap Djoko Tjandra terkesan janggal.
“Sekarang yang ingin saya jalankan, saya akan tulis surat kepada Kejaksaan Agung, klarifikasi atas dasar apa pak Djoko ditahan. Karena dalam amar putusan tidak ada kata-kata itu (penahanan),” kata Otto dikonfirmasi, Minggu (2/8).
Otto menyatakan, putusan dua tahun pidana terhadap Djoko Tjandra deklarator bukan bersifat kondemnator. Hal ini yang mendasari akan meminta klarifikasi terhadap Kejaksaan Agung.
Otto mengklaim, Djoko Tjandra pun telah membayarkan denda sebesar Rp 15 juta dan mengembalikan uang senilai Rp 500 miliar yang dirampas oleh negara.
“Jadi tidak ada putusan yang sifatnya kondemnator, menghukum atau memerintahkan Djoko Tjandra harus ditahan. Sekarang pertanyaan saya kenapa dia ditahan, atas amar putusan yang mana? Itu menjadi masalah hukum, apa boleh seseorang ditahan padahal dalam amar putusan tidak ada perintah menahan,” tutup Otto.